Rabu, 29 Februari 2012

AKAD CACAT

Padamu diriku berakhir
Dalam tubuh tanpa jiwa
Terbalut lebam kekejaman
Dan tersungkur tanpa nama

Aku...
Jiwa mati tanpa teriakan
Rela tak berarti menelan pilu
Hanya menyisa nyala dendam

Disini aku menguburmu,
Ketika rahimku pecah penuh darah
Pada dada tanpa ruang yang kau tendang
Tak satu pun butir air mataku luruh berseru

Aku bukan lagi perempuan penuh doa,
Menantimu kembali setelah kemaluanmu berpaling
Yang kau setubuhi dengan akad cacat berpeluh khianat
Aku mati, terbunuh kesetiaan dengan tubuh penuh duka
Baca Selengkapnya - AKAD CACAT

Senin, 27 Februari 2012

PENARI TAK BERKAKI

Pada sukanya langkah,
Aku menari mengisahkan hati
Membuang sampur dengan doa
Dalam senyum tipis teruntuk alam

Bunyi-bunyian gamelan canduku
Memoles pulas mata mereka dalam buaian
Aku memulai langkah dengan pinggul gemulai
Menari, terus menari...mengajak malam berbicara

Tarianku menua pada jaman,
Di hitung langkah satu demi satu
Tanpa merahnya gincu dan belahan dada
Tak harus dengan jamah dalam dengus nafas

Aku penari yang berhenti menari,
Membunuh langkah ketika di namai pengundang birahi
Membuang kaki ketika muara kakiku mengundang desah
Tetap menari, tanpa kaki, tanpa pinggul, tanpa dada...terus menari 
Baca Selengkapnya - PENARI TAK BERKAKI

Sabtu, 25 Februari 2012

MULUTMU YANG TERJAHIT DAN NERAKA YANG TERUS KAU TANYAKAN

     Kemarilah, aku merindukan cambukanmu pada kaki-kakiku. Cambuk kakiku lebih keras. Aku belum ingin berhenti, tidak untuk saat ini. Tidak untukmu. Kemarilah, biar kuceritakan lagi padamu tentang pahitnya manusia-manusia telanjang yang membawa kemaluannya kemana-mana, dimana-mana. Yah, seperti hari-hari kemarinku denganmu disini, di ranjang bisu tanpa selembar selimut pun. Hari ini masih sama, aku melihat mukanya penuh dengan kesulitan untuk memenangkan keberadaanmu. Kau tetap direbahkan pada mimpi-mimpi yang tiba-tiba terhenti karena kau seharusnya tidak boleh ada. Tidak diantara cinta dan pergumulan birahi yang kerap membuatnya kelelahan mengejar nikmat sekejap lalu dikejar paksa olehmu. Kau dikalahkan lagi,  harus rela mengalah dan bungkam.
     "Apakah mereka mencintaiku?" Lembut kau tanyakan itu padaku yang membelai halus rambut sebahumu dengan airmata yang meleleh.
     "Tidak, mereka tidak pernah mencintaimu. Tapi mereka pandai bercinta," Matamu menatap lurus padaku, menenggelamkanku pada kecewa. Dan kau jahit lagi mulutmu dengan tali senar dengan jarum dingin yang pelan-pelan berubah warnanya menjadi merah. Sedikit darah tumpah dari mulut mungilmu yang tertutup jahitan.
     Matamu terus mengajakku bicara, mengajakku melihat bukit hijau di belakang rumah. Bukit tempatmu biasa menghabiskan pagi dengan embun di ujung hidung dan nyanyian riangmu. Disana matamu terbeliak menikmati kupu-kupu berwarna kuning yang terbang mendekat dan menjauhimu. Dari bukit itu kau lihat kehidupan dengan kaki kecilmu yang tak pernah lelah mendakinya meski sering sekali teriakanku membuatmu berhenti, sekedar memberiku sedikit senyum dan menarik tanganku untuk ikut menghabiskan bukit itu denganmu.
    Hanya bukit itu yang bisa kuberikan padamu. Bukit yang rapat dengan rindangnya pohon-pohon tua, penuh dengan kebahagianmu. Kau pernah menggambarkan bukit itu pada selembar kertas putih ketika kita berdua berpelukan di teras rumah lama yang penuh dengan desas-desus tetangga tentang kotornya dirimu ; hitam seperti jelaga pada cerobong asap di dapur-dapur rumah mereka, rongsokan yang dibuang dan sesekali diludahi dengan penuh jijik, noda pada kemeja putih dan bibir bergincu mereka.
     "Ini cinta," Begitu saja kalimat yang keluar dari mulutmu ketika gambar itu kau tunjukkan padaku. Bongkahan pipimu menggumpal sekal, memaksaku menghentikan kesibukanku menampari satu persatu mulut para tetangga yang sibuk menguburmu hidup-hidup, untuk kemudian kuperhatikan gambarmu dengan seksama. Dan kubalas ucapanmu,
     "Ya, ini cinta. Ada tunas-tunas muda bermunculan pada tanah basah di musim penghujan, rapat di bawah pohon-pohon tua yang memayunginya dari musim,"
     "Kau pohon tuaku," Jawabmu, dan sejak itu kita pindah mendekati bukit itu, mendekatkanmu dengan cinta yang gambarnya kau tunjukkan padaku hari itu.

***

     "Bil, temani aku sore ini ke klinik itu ya? Jodie gak kuat mendengar tangisanku. Aku gak mau Jodie pingsan lagi seperti tahun kemarin,"
     "Gak ah, ajak Disti saja,"
     "Ayolah Bil, Disti selalu mau enaknya saja, mana pernah mau dia kalau diajak yang gak enak-enak begini. Mau ya?"
     "Gak mau,"
     "Please...ini yang terakhir deh, besok-besok aku pasang spiral deh biar gak nyusahin kamu lagi. Tapi kali ini mau ya? Nanti kujemput dikantormu pas jam makan siang,"
Tuuuuttttt....ttuuuuuutttt, dan telpon itu terputus begitu saja. Menyebalkan.
     Disinilah aku dan Shilla, duduk pada bangku pucat yang terisi beberapa perempuan dan laki-laki dengan wajah-wajah tegang. Hanya Shilla dan sepasang pasien yang terlihat lebih santai dengan canda dan obrolan ringannya. Satu persatu perempuan-perempuan itu masuk dalam neraka, dan laki-lakinya mondar-mandir di depan pintu neraka dengan muka merah dan raut muka yang sangat tegang. Tak lama setelah itu, tubuh perempuan tadi dikeluarkan dari dalam neraka, tergolek pucat dan lemas diatas ranjang dingin, mencari laki-laki perkasanya. Dan laki-laki resah tadi segera terbangun dari ketakutannya, buru-buru bertanggungjawab, menggenggam jemari perempuannya dan mengangkat dagunya yang sedari tadi terbenam di kerongkongannya.
     "Tampang laki-laki yang kau perhatikan itu jauh lebih enak dilihat dari muka Jodie sewaktu pertama kali kesini ya Bil, hahahaha....,"

****

     "Shilla membunuhnya lagi?"
    "Ya, meludahi dengan tawanya yang memenuhi klinik itu dan lagi-lagi, kalau Shilla tidak lupa, menjahit surganya dengan spiral,"
Kau menanyaiku pertanyaan yang sama, dan jawabanku juga sama seperti jawabanku yang dulu. Matamu terus mengikutiku sampai aku membersihkan tubuh di kamar mandi ; membuang aroma neraka, menghabiskan sisa muntahan yang masih tertinggal di kerongkongan, mengembalikan kaki-kakiku padamu.
     "Mereka saling mencintai?"
     "Tidak, mereka hanya pandai bercinta," Dan kau terdiam di ranjang, melebarkan tanganmu, menunggu pelukanku. Dan aku memelukmu dengan tubuhku yang tidak lagi berbau neraka. Menghangatimu dengan diriku yang lusuh dan muak.
     "Aku diperbolehkan hidup, berarti mereka mencintaiku," Kau merengek dalam pelukanku.
     "Tidak, mereka tidak pernah mencintaimu. Mereka hanya pandai bercinta,"
Isak tangismu pecah lagi. Selalu begitu tiap kali jawabanku untuk pertanyaan-pertanyaanmu membuatmu kecewa.
     "Maukah kau jahit mulutku malam ini? Jari-jariku terlalu gemetar untuk menjahitnya sendiri," Dengan tubuh gemetar dan airmatamu yang menetes deras, kau sodorkan jarum bersenar itu padaku. Dan aku mulai menjahit mulutmu tanpa airmata, hanya saja tubuhku tak kalah gemetarnya dengan tubuhmu. Matamu yang menghancurkan diriku. Matamu yang membuat tubuhku bergetar hebat.

*****

     "Billa, Billa...untuk apa sih terus-terusan membuat tubuhmu remuk dengan kelakuan Killi. Kembalikan saja dia pada ibunya, nikmati hidupmu sendiri," Shilla memandangku dengan jijik di luar pintu kamar mandi sewaktu kubersihkan pantat Killi dari sisa-sisa kotoran air besarnya.
     "Shilla benar Bill, kembalikan saja Killi ke ibunya, biar gak ada lagi laki-laki takut ngawinin kamu," Jodie menimpali keluhan Shilla dari dapur sambil mengaduk berisik secangkir kopi hitamnya. Aku hanya diam, sibuk merekatkan diapers pada Killi yang juga terdiam mencengkram leherku kuat-kuat. Shilla terus membuntutiku dengan racauannya,
     "Idiiiihhhh...Killi sudah 8 tahun, tapi masih saja pakai diapers. Mana gak juga bisa ngomong. Duhhhh...Bill, Bill....mau sampai kapan sih kamu terus-terusan menyusahkan hidupmu sendiri. Sebentar-sebentar susternya Killi nelpon gangguin kerjaanmu kalau Killi kambuh ngamuknya, sebentar-sebentar Killi kejang-kejang, sebentar-sebentar....aaaahhhhh, anak yang menyebalkan, gak tahu diri," Emosiku mulai terkumpul karena mulut kotor Shilla.
     "Killi itu bukan anakmu Bill, hanya anak haram! Ibunya saja membuangnya, kenapa juga kamu besarkan dia. Kembalikan saja dia pada ibunya, atau kembalikan lagilah Killi ke panti asuhan itu,"
     "Jodie benar, nanti aku anterin deh kamu kalo' ngembaliin Killi ke panti. Kawin saja kamu sama temen Jodie yang naksir kamu itu Bill, ntar kalo' emang cocok, nikahlah dengannya, hamil, punya anak sendiri. Kalau gak cocok, terlancur hamil, gugurkan, cari laki-laki yang lain. Hidup itu mudah Bill, gak serumit hidupmu sekarang. Gak harus memungut anak orang yang nyusahin begitu,"
   Terus saja Shilla dan Jodie bersahut-sahutan meracuni telingaku dengan kekerdilan dari mulut-mulut kotor mereka. Emosiku makin terkumpul, membuat mataku memerah. Dengan ujung mata kulirik Shilla dan Jodie yang masih terus meracau ; memasuki pagar halaman rumahku, menginjak-injak tunas-tunas baru pada tubuh Killi, menyayat ujung-ujung daun muda pada pot-pot yang tiap pagi kuhidupi dengan air jernih dari tubuhku. Aku terpancing. Killi makin erat memeluk leherku dalam gendongan. Tubuhnya hangat, hangat sekali. Jemarinya menyentuh lembut pipiku. Matanya mencariku, matanya ingin melihat mataku. Matanya memintaku,
     "Kau surgaku, kau cintaku..."
     Tidak ada lelahku menghidupimu dengan cintaku. Tidak akan ada. Sekotor apa pun mereka menjadikanmu cambuk untuk kaki-kakiku, tidak akan langkahku terhenti. Killi, kau tubuhku yang berkaca, Nak. Matamu adalah mataku, pertanyaanmu adalah pertanyaan-pertanyaanku yang pernah kutanyakan pada siapa pun yang ada di dekatku sejak tigapuluh tujuh tahun yang lalu. Kita sama, Nak. Aku yang dibuang dan ditinggalkan begitu saja di panti asuhan setelah pergumulan birahi. Kau yang juga diludahi ibu bapakmu setelah bercinta tanpa cinta. Aku yang berhenti bertanya ketika mendapatimu di panti dengan mulut terjahit, memilih bisu dan diam karena pertanyaan-pertanyaan itu sudah lebih dulu kau tanyakan dari dalam rahim ibumu yang biadab dan bapakmu yang hanya bisa mencipta laknat. Kau yang terus berteriak penuh marah dan membuat suster pengasuhmu kebingungan dan panik memintaku pulang ketika kau ketakutan kutinggalkan selagi bekerja. Aku yang juga takut kehilangan ketika laki-laki mendekatiku hanya ingin bercinta, lalu membuatku hamil dan membuang janin ; membuka pintu neraka. Kita sama, Nak...dari hari ke hari sama-sama melihat pintu-pintu neraka dibuka paksa dari mereka yang kotor meski selalu kita yang dinamai kotoran. 

                                                                       ******
Baca Selengkapnya - MULUTMU YANG TERJAHIT DAN NERAKA YANG TERUS KAU TANYAKAN

Rabu, 22 Februari 2012

MENCANDU PONGAH

Teramat jalang untuk memaki
Ketika dalam gelap kau menjulang
Menggenggam kepala yang teremas
Terhempas, begitu saja berlalu

Perburuan itu terus memburu
Mencari apa saja yang entah berupa apa
Entahlah itu tentangmu, ataukah tentang batu
Tetap kupagutkan mata buta ini pada rerimbun malam

Melangkah dan berlari tak pernah lagi berbeda
Terus menghitung, terpedaya rantai merantai kaki
Dan masih saja melepas senyum dalam wangi cendana
Hening memburumu dalam perburuan bisu, mencandu pongah
Baca Selengkapnya - MENCANDU PONGAH

Selasa, 21 Februari 2012

AKU MATI KARENAMU, MAK

Ingatkah kau Mak,
Saat aku tak lepas menyusu
Terus memintamu mengaliriku
Lalu kau hentikan tanpa pamit
Dan aku terpaksa menelan pahit
Sendiri menendang dunia tanpa otak

Lupakah kau Mak,
Sewaktu kau membisu tiap kali kutanya
"Seperti apa dunia di luar sana?"
Dan kau tinggalkan aku sendiri
Tanpa telunjukmu memagari hari
Hingga aku tersungkur, lupa berontak

Aku mati di tanganmu Mak,
Tak menahu arti di jamah ketika akhirnya berdarah
Terlambat marah pada gelap, terus ditingkahi gairah
Dan kau masih tetap angkuh berdiri diatas kepalaku
Mentertawakan noda dengan mata tertutup kelambu
Menyudahikku seperti ketika puting susumu kau jauhkan
Baca Selengkapnya - AKU MATI KARENAMU, MAK

Senin, 20 Februari 2012

BICARA PADA POHON BERCABANG

Retak sudah telapak kaki
Tak ada jejak yang mampu di pijak
Bumi mengeras tanpa perasaan
Sendu senja pun sulit di ajak bicara

Lihatlah di sana,
Segelintir anak-anak jaman bertutur
Mengumpulkan rinai hujan satu-satu
Bernyanyi lirih pada doa-doa Desember

Ini secawan persembahan
Bicara tanpa tingkah di bawah cabang
Tertelungkup pada selimut akar berakar
Rindang tapi meranggas ketika kemarau

Lindungi benih-benih tanpa akar ini
Biarkan airmata dan darah membasahi
Jadikan kami tanah yang mendekati langit
Agar kembali kami pada rahim bumi dalam khidmat
Baca Selengkapnya - BICARA PADA POHON BERCABANG

Minggu, 19 Februari 2012

TERDIAM MENJAHIT KENANGAN

Kita bukan penikmat rasa
Tak pernah mencintai belukar rindu
Tak juga mengikat bisu dengan tingkah
Kita hanya buih, lindap setelah gemuruh

Terkadang membakar cerita
Tak kurang meniadakan resah
Kau kesana, dan aku kesana kemari
Mencari untuk di cari, lalu kelelahan

Pintu-pintu itu sedikit terbuka
Sesempit diriku mencari adaku disana
Seperti mendiamkan kenangan tanpa pijak
Tak ubahnya mengasah belati pada lidah

Suara-suara itu menjauh
Hening dalam ruang mati tanpa kerlip
Tak menyisakan apa pun, kosong
Seperti menjahit kenangan dengan harap
Baca Selengkapnya - TERDIAM MENJAHIT KENANGAN

Jumat, 17 Februari 2012

LAKI-LAKI TUMBANG

Aku ada disana, Pak
Ada ketika Ibuku meludahi mukamu
Aku menggigil di balik punggungmu yang gemetar
Aku ada di hatimu yang hancur berkeping-keping

Sejak itu aku mati, Pak
Rebah bersamamu yang terus melukai mata
Denganmu mencari perempuan itu kesana kemari
Perempuan yang menghancurkanmu dengan kepergiannya

Aku masih di dekatmu, Pak
Untuk apa terus kau rapikan kenangan itu
Terus mendoakannya dengan tubuh gontai
Memanggil-manggil namanya yang membuatku muak

Aku tumbang sejak hari itu, Nak
Kepalaku kupersembahkan di kakinya
Mataku buta, tak lagi mampu memandangnya
Tapi terus kucarikan dia untukmu, Nak...agar tak tercabut akar-akarmu
Baca Selengkapnya - LAKI-LAKI TUMBANG

Kamis, 16 Februari 2012

AJARI AKU MEMPUISIKANMU

Kusiapkan jari-jariku untuk menuliskan puisi
Ajari aku menuliskan cintamu dalam puisiku

Seperti apa mempuisikan cinta,
Dengan matamu pada buah dadaku
Dengan jemarimu pada pahaku
Dengan nafas birahimu di telingaku

Seperti apa menuliskan cinta,
Ketika janjimu untukku, juga untuknya
Ketika datang dan pergimu tanpa salam
Ketika kemaluanmu disini, juga disana

Bagaimana caramu mengajariku mempuisikan cinta,
Kalau akadmu hanya pada kerasnya kemaluanmu
Kalau cinta yang katamu indah, tak pernah meninggalkan ranjang
Untuk apa mempuisikan cintamu, kalau cinta yang kau ajarkan hanya birahi?
Baca Selengkapnya - AJARI AKU MEMPUISIKANMU

Rabu, 15 Februari 2012

MENGINGATMU DALAM LUKISAN DENGAN MULUT ROBEK

     Dengan pandangan tajam, berpuluh menit kuhabiskan tenagaku untuk memandangimu lagi pagi ini. Seperti biasanya, seperti berpuluh minggu telah berlalu sebelumnya, setiap pagi kuhabiskan waktuku untuk berdiri tegak dengan kaki setengah gemetar. Gigi-gigiku selalu saling mengadu dengan penuh geram tiap kali aku memandangimu. Tapi terus saja ritual ini kulakukan setiap aku terbangun dari tidur dan beranjak hendak membuat secangkir kopi di dapur.
    Kau disana, diam terpaku pada dinding di ruangan kosong tanpa satu pun benda menemanimu. Tak ada sofa tempat dulu pernah kau benamkan dirimu dalam kenikmatan mencaci maki diriku berlama-lama. Tidak ada pisau yang biasa kau gunakan untuk mencabik-cabik jantungku. Tidak juga ada anjing yang menemanimu menggonggong. Tak ada apa pun denganmu sekarang. Kau sendiri, hanya diam memaku tanpa siapa pun menemanimu.
    Kau cantik, bahkan teramat sempurna buatku untuk ukuran perempuan berumur enam puluhan. Matamu indah dengan rerimbun hitam yang melukisi ketegasannya. Sehitam malam terakhirku denganmu. Dari keseluruhan tubuh rentamu, tak satu pun yang bisa mengundang orang lain untuk membicarakan kejelekanmu. Hanya saja, sedari aku mendengar suaramu berpuluh tahun lalu di dalam ruangan tanpa cahaya, aku tak pernah menyukai mulutmu.
   Bahkan sampai saat ini pun, saat kau hanya diam membeku sendiri disana, aku masih juga tidak menyukai mulutmu. Disana mulutmu tidak terkatup rapi, sedikit terbuka tapi tidak tersenyum. Kau masih memanggilku? Matamu begitu memilukan. Sebutir airmata itu tak pernah habis tumpah Hanya sebutir armata yang membeku, tapi entahlah…aku sangat menyukai airmatamu itu. Aku suka melihatmu merintih diantara mati dan perihmu. Aku suka airmatamu!
   Emosiku selalu terbangun tiap ada di hadapanmu. Setengah hatiku karam membentur kakimu yang terus menginjak-injak kepalaku dengan biadab. Tanganku mengepal menggenggam amarah kuat-kuat. Kakiku makin limbung di hadapanmu. Airmataku tak lagi tertahankan, tumpah lagi. Dan aku akan mengakhiri khidmatku di hadapanmu dengan meludahimu diantara airmata dan amarah yang menggunung. Aku membencimu!
**
   “ Untuk siapa kau berdandan seperti itu? Sudah seperti pelacur saja modelmu itu,”
Kuambil bola matamu dengan kedua tanganku. Kucongkel begitu saja, lalu kuremas keras-keras. Memang sedikit kenyal melawan dalam remasan tanganku, tapi ini menyenangkan. Sama menyenangkannya dengan menyayat matamu waktu itu. Kalau kau jijik melihatku, jangan lihat aku!
   “Gantilah bajumu itu! Dadamu keluar kemana-mana, cuma pelacur yang menumpahkan dadanya kemana-mana seperti itu,” Kali ini bola matamu memang tak bisa kuremas sampai hancur. Aku harus menginjak-injaknya. Ya, sepertinya memang lebih bagus begini, kuinjak-injak bola matamu dengan sepatuku. Uuugggh…! Biar runcing hak sepatuku menghancurkan bola matamu. Diam!
Malam ini aku tak bisa lagi di rumah ini. Mataku sudah berat, ingin rasanya tidur menyelimuti tubuh dan hatiku yang menggigil. Tapi memang lebih baik cepat-cepat kutinggalkan rumah ini. Lelah sudah mataku memeras airmata.
   Kukemasi selimut tebalku, sinar rembulan, semilir angin dan gelap gulitanya hatiku. Kuperiksa lagi dandananku di depan cermin. Bengkak mataku sudah tersamar dengan make up, syukurlah…berhasil lagi aku mengelabui diriku malam ini. Matamu sudah tak ada, tapi mulutmu tetap saja komat-kamit. Beruntungnya diriku karenan sudah memasukkan bongkahan batu ke dalam telingaku, jadi tak bisa lagi kudengar ocehanmu dengan wajah tanpa mata.
***
   Hah, berat sekali kepalaku. Semalam yang kurangajar. Kau menungguku pulang dengan wajah membeku dan serapah tanpa ampun yang memaksaku pingsan di depan teman laki-lakiku. Ya, teman laki-laki yang baru kukenal. Teman laki-laki yang tidak tahu siapa dan bagaimana diriku, yang hanya menemaniku duduk menghabiskan beberapa cangkir kopi dengan berpuluh batang rokok di café itu semalam. Laki-laki sopan itu hanya getol bercerita tentang kehadirannya di kotaku untuk urusan dinas dan sedang membunuh malam di café seorang diri, lalu menemukan aku yang sendiri melepaskan lamunan diantara temaramnya malam.
   Aku lupa namanya, mungkin Dharma, entahlah…Aku paling susah mengingat nama, terlebih waktu itu kupikir percakapan dengannya tidak akan berlangsung lama. Melihatnya pun hanya sesekali kucuri dari ekor mataku tiap kali kau panggil namaku.
   “Nay, kau dengar apa yang kuceritakan barusan?” Aku diam. Mataku masih menikmati asap rokok kami yang beradu menghiasi gelap.
   “Nay, maaf…apa aku terlalu banyak bicara ya? Mm…kalau begitu, ganti kau saja yang bercerita,”  Kau diam. Kami diam. Lalu kau mulai lagi pembicaraan seorang diri. Sesekali mulutmu tertutup. Sesekali juga kau minum kopimu. Aku mendengarnya, tapi aku memang sedang tidak ingin bicara apa pun.
Malam pun hendak habis. Dia pasti sudah tidur. Aku ingin pulang. Aku memanggil pelayan hendak meminta bill. Dan klasik, kau membayar tagihanku dengan senyum setelah aku memaksa membayarnya sendiri. Lalu aku berdiri, hendak berlalu.
   “Terimakasih,” Ucapku
   “Akhirnya bisa juga kudengar suaramu lagi, Nay,” Aku tersenyum sekenanya. Mulai melangkah meninggalkannya. Berat sekali rasanya kepalaku, hah…! Pusing kepalaku kambuh lagi. Jangan sekarang, please…Dan aku ambruk begitu saja.
****
   “Akhirnya aku bisa membuktikan kalau selama ini dia memang melacur,”
   “Naluriku memang tidak pernah salah. Dia kotor seperti yang sudah kuduga selama ini,” Mulutmu terus mengeluarkan bisa. Terus muntah tanpa jeda, sampai tak bisa kau perhatikan dengan matamu bagaimana laki-laki itu merapatkan alisnya karena tercengang dengan semua serapahmu.
   “Maaf Ibu, Nay tidak seperti itu. Saya baru mengenalnya tadi di café, dan kami tidak melakukan apa-apa, hanya ngobrol saja. Nay juga tidak…,” Laki-laki itu mencoba menggunting serapahmu. Tapi sudah bisa kuduga, kau terus saja mengubur laki-laki itu dengan mulut busukmu.
   “Bagaimana tidak, perempuan dengan dandanan seronok seperti itu, pulang menjelang pagi dengan laki-laki yang baru dikenalnya di café, hah…!” Terus menerus kau muntahi laki-laki yang tidak tahu apa-apa tentangku itu dengan semua sejarah hidupku yang kau ciptakan sendiri. Tidak, tentu saja aku bungkam dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku anakmu. Tabu untukku melawanmu. Aku diam, tak berani memandang laki-laki itu. Hanya airmata yang tiba-tba dan lagi-lagi menetes satu-satu. Laki-laki itu mencoba menjelaskan keadaan sesungguhnya padamu, bagaimana aku pingsan ketika hendak pulang dan akhirnya mengantarku pulang berbekal alamat yang ada di kartu nama dalam dompetku. Tapi tetap saja kau hujankan semua kata-kata kotormu sampai aku tak kuasa lagi berdiri mematung di hadapanmu. Dan aku ambruk lagi.
*****
   Aku disini, sibuk menempelkan mulut kotormu pada kanvas. Menimbunmu dengan bermacam warna cat minyak.Menguburmu dengan airmataku yang bercampur dengan warna-warni pewarna lukisanku. Mulutmu terus mengucurkan darah segar, merahnya begitu indah. Mulutmu tidak lagi komat-kamit., hanya sedikit terbuka, tapi tidak sedang tersenyum. Tidak ada lagi kata-kata kotormu yang sampai pada telingaku. Mulutmu saja yang sekarang kusimpan sebagai kenang-kenangan dan mainan baruku.
   Hampir tiap aku muak mengingatmu, kuturunkan lagi lukisanmu. Kutambahkan lagi pewarna disana. Dan masih saja airmataku menetes tiap kali ingatanku padamu menyakitiku. Aku tidak pernah melacur, tak sekali pun kujual tubuhku pada siapa pun. Tidak sampai pada malam itu. Ya, malam itu…malam aku diperkosa laki-laki peliharaanmu yang teracuni mulut kotormu. Laki-laki yang selalu tertawa genit di dalam kamarmu tiap kali mendengar ceritamu tentangku. Tentang anak semata wayangmu yang terus kau kotori dengan cerita-ceritamu. Anak yang kau lahirkan dari rahim kotormu yang membuatku ada tanpa nama bapak. Anakmu yang diperkosa laki-laki peliharaanmu karena aku pelacur yang menjual kemaluannya seperti ceritamu pada laki-laki kurang ajar itu.
   Aku mencintaimu Ibu. Hanya kau yang kumiliki di dunia ini, hanya kau. Dan hanya kau seorang yang membenciku dengan sekujur tubuhmu dari pagi hingga petang. Aku anakmu! Aku anak yang sedari terlahir tidak pernah merasakan putting susumu. Anak yang tidak pernah kau peluk dengan penuh cinta. Aku anak yang terus menerus kau benci sampai bencimu memaksaku menguburmu dengan amarahku. Aku harus membuatmu diam. AKu tak kuat lagi. Tak ada lagi dayaku untuk menggapai kasih sayangmu. Aku tak lagi mampu menikmati mulut kotormu yang pernah membuat kemaluanku dikoyak paksa laki-lakimu. Tak bisa! Aku tak bisa lagi mengharapmu menjadi ibuku ketika dengan sakit luar biasa janin dalam rahimku kupaksa keluar.
   Kau lebih indah disana, pada lukisan buatanku. Lukisan dengan mulutmu yang robek, mulut yang sedikit terbuka, tapi tidak sedang tersenyum, mulut yang merintih. Kau tetap di dekatku, di dalam rumah kita, mematung pada dinding beku. Sesekali aku mengingatmu dari lukisan dengan mulut robekmu. Tak ada ingatan indah, semuanya hanya luka. Jadi biarkan aku meludahi lukisanmu ketika amarahku benar-benar memuncak, dan membuatku pingsan lagi.
******
  
     
    
    
Baca Selengkapnya - MENGINGATMU DALAM LUKISAN DENGAN MULUT ROBEK

BIARKAN AKU CACAT!

Biarkan aku cacat!
Jangan beri aku buah dada
Buang bulat sekal pantatku
Jahit rapat saja pangkal pahaku

Buah dadaku membuat jemarinya nakal
Sekal pantatku meminta matanya cabul
Selangkanganku mengundang birahinya
Aku ingin cacat, aku tak mau dikotori tubuh perempuan jalang

Aku tak mau tubuh ini,
Tubuh ini menjebakku pada malam penuh desah
Tubuh ini terus memasungku dalam persetubuhan liar
Biarkan aku cacat, aku muak  ada pada tubuh yang menjadikanku pelacur!
Baca Selengkapnya - BIARKAN AKU CACAT!

PEREMPUAN HENING

Akhirku berujung disini,
Renta pada tubuh yang muak telanjang
Tersekap gelap di penghabisan heningnya malam
Lelah merajut harap dalam matinya tunggu dan nanti

Dahulu berpeluh nakal menanti cinta
Pada tubuhnya ketelanjanganku mencari rasa
Dengan geliat mendesah kugapai bahu labuhan
Padam dan luruh dengan deras airmata kekecewaan

Sendiri jiwaku disini,
Berteman tubuh kotor penuh nanah dan noda
Hening menghibur senyapnya masa dengan jemari beku
Tertunduk pada pangkuan dengan pangkal paha membusuk

Aku perempuan penuh puja di malam temaram pada ranjang semalam
Dulu terus melukis senyum mengharap satu pintu terbuka untukku berpulang
Aku perempuan hening, terlunta di kegelapan setelah usai pergumulan birahi
Menua diterkam noda dan caci, tersendirikan...menunggu mati mentertawakan
Baca Selengkapnya - PEREMPUAN HENING

Selasa, 14 Februari 2012

DATANGLAH PADA BATU BESAR ITU

Kelak, jika ada waktumu
Datanglah pada batu besar itu
Disana, di batas air laut dan pasirnya
Pada seharian yang jauh dari samarnya tubuhmu

Mungkin saat itu aku masih disana
Terus terpaku membelakangi pantulan cintamu
Menolak tarian bayanganmu yang sibuk mendiamkanku
Atau mungkin aku sudah tidak lagi pada batu besar itu

Datang saja,
Sempatkan sejenak merasakan hangat sisa tubuhku padanya
Semoga batu besar itu bisa banyak bercerita tentangku tanpamu
Tak usah membuka kata, biarkan batu besar itu membuatmu menangis

Semua sudah usai,
Aku kembali pada samudera, menyerahkan perih
Menumpahkan semua keluh pada bisu kesetiaannya
Datanglah, mungkin kelak ada waktumu merindukanku
Baca Selengkapnya - DATANGLAH PADA BATU BESAR ITU

Senin, 13 Februari 2012

PEREMPUAN-PEREMPUAN DALAM TANDA PETIK

Perempuan itu babu
Sedari pagi menjual peluh
Di ranjang pun memeras keringat
Suaminya hanya rajin menabur benih
"Kelak anak-anakku jadi TKW dan pulang dengan perut buncit,"

Perempuan itu janda
Seminggu dinikahi, setahun hidup sendiri
Tiap hari di tunggunya sang suami pulang
Banyak lelaki menawarkan bahu dengan jemari nakal
"Menunggumu pulang dalam ketakutan, menjadikanku pelacur,"

Perempuan itu perempuan baik-baik
Dinikahi sumpah pada sucinya altar
Merajakan suami di sekujur tubuhnya
Terus merunduk dalam sisa percumbuan lain
"Tubuhmu yang kau bagi dengannya menguburku hidup-hidup dalam akad,"

Mereka perempuan-perempuan yang menghadirkan kalian,
Terus mencambuk diri dengan pahit dan nestapa dalam keheningan
Mati terbunuh dalam diam yang mengoyak sekujur tubuh penuh luka
Mereka perempuan-perempuan dalam tanda petik, terkubur pada pusara tanpa nama
Baca Selengkapnya - PEREMPUAN-PEREMPUAN DALAM TANDA PETIK

Minggu, 12 Februari 2012

AKU MEMBENCI RANJANG KITA!

Dulu rakus kau lumat tubuhku
Lemas kita dengan rindu bercinta
Tubuhmu pada sebagian tubuhku
Di ranjang tempat kau mengikat akad

Seketika semua lenyap
Tergantikan berisiknya memamah biak
Di penjarakan tubuh tua tanpa pikat
Lalu semua berpulang pada dingin

Aku masih disini,
Melacur pada ranjang tempat kau memanggil namanya
Membeku ketika terus kau setubuhi dirinya dengan tubuhku
Aku mati disini, terbelenggu naifnya setia teruntuk ranjang kita yang memuakkan!
Baca Selengkapnya - AKU MEMBENCI RANJANG KITA!

KITA

Berserah duluku pada kita
Dalam sekelumit ikatan sumpah
Merajakanmu dengan segala belenggu
Terampas sudah langkah kaki demi kita

Aku tetap disini,
Dan kau kesana kemari
Menjauhi pagar, melepaskan kita
Aku masih terus disini, mencari kita

Kita di pudarkan tanya,
Menunggu tergapai lalunya dahulu
Tak juga beradu dada, terbuang kehilangan
Dan kembali menyendiri dengan awal yang kulupa
Baca Selengkapnya - KITA

LEGENDA MELUPA

Di serambi kita, kutanyai legenda
Dulu dia menangkapi rasa
Menampungnya pada bejana
Lalu gelombang lirih melantakkannya
Kita merepih, dan aku melupa

Kemarin dia menyambung kata
Melingkariku dengan lapangnya cerita
Bersembunyi di balik bilur-bilur tak nyata
Lalu luka itu menganga begitu saja
Kita menyerah, dan aku kembali melupa

Baru saja dia mengajakku bercanda
Melukis bibir dengan senyum tanpa mereka
Sejenak melupakan senja pada neraka yang menganga
Lalu panas membakar semuanya tanpa menanya
Kita kelelahan, dan sekali lagi aku melupa

Di serambi ini, aku menanyai kita
Kalau esok dia datang kembali memintaku melepas kita
Ketika seluruh laluku penuh berisi dengan dirimu dan kita
Saat kau diam dalam gagu, hendak melepaskan diriku padanya
Apakah boleh aku melupakannya dan memintamu menetap untuk kita?
Baca Selengkapnya - LEGENDA MELUPA

Jumat, 10 Februari 2012

MATAKU MATI

Aku ada di balik punggungmu, Pak
Sewaktu dia menginjak-injak mukamu
Sewaktu teriakan itu membuatku karam

Aku menggigil dalam genangan airmata, Pak
Sewaktu amarahnya melipat semua cintamu
Sewaktu tamparannya memaksaku tenggelam

Aku terkubur pilu hari itu
Ketika puting susunya di tarik paksa
Ketika mataku di paksa melihatnya memudar

Aku mencarimu seperti kau mencarinya dalam bisu
Aku kehilangan dirinya seperti aku kehilangan dirimu, ada tapi tak benar-benar ada
Pak, mataku sudah lama mati...jangan kau tinggalkan aku yang hampir lelah berujar
Baca Selengkapnya - MATAKU MATI

LIDAH BERTULANG GUNTING

Kepalanya di bawah kaki
Mendongak dengan ego
"Terus saja mendongak,
Jilatlah tanah tempatmu berakhir,"

Matanya menyasar luka
Terbeliak pada selaput-selaput berdarah
Menyayat yang tersungkur dengan keji
Buta teruntuk permohonan

Telinganya tertutup puji puja
Menganiaya tanya dengan serapah
Berpesan bisik pada khalayak,
"Aku pemilik semesta budak-budak cacat,"

Kutarik lidahnya,
Ada gunting bercabang karat padanya
"Peluk masamu kuat-kuat bidadari,
Nestapa bersiap menggunting-gunting pongahmu,"
Baca Selengkapnya - LIDAH BERTULANG GUNTING

Kamis, 09 Februari 2012

MERANGGAS DIBAWAH POHON TUA

Ini musim penghujan kesekian kita
Musimku lagi bersama rindang dedaunanmu
Dalam peluk teduhmu,
Bertingkah puluhan kisahku tentang kemarau

Kemarau ku di musim lalu,
Adalah pupusnya pucuk-pucuk kamboja
Gugur mewarnai tanah kering yang retak-retak
Berserak pada bumi, kembali pada tanah

Ku adukan semua tingkah kemarau padamu
Dengan segegenggam tanah retak pada telapak
Kini kita bertemu penghujan lagi,
Denganmu yang makin tua dan aku yang meranggas
Baca Selengkapnya - MERANGGAS DIBAWAH POHON TUA

Rabu, 08 Februari 2012

PELACUR DENGAN TUBUH TERBELAH

Disini kurebahkan resah,
Pada ujung malam penuh desah
Dengan tubuh berpeluh penuh kelu kesah
Disini aku rebah mencari kilau bintang dalam amarah

Aku menjual tubuhku untuk waktu,
Bukan untuk mulut-mulut penuh caci maki
Bukan untuk mata-mata yang melempariku dengan batu
Aku menjual tubuhku untuk membeli diriku yang terus dilucuti

Aku pelacur dengan tubuh terbelah,
Yang menendang kemaluannya dengan airmata darah
Yang mengingkari cinta dari selangkangan terajam jamah
Aku pelacur dengan tubuh terbelah dan dua air muka terjarah
Baca Selengkapnya - PELACUR DENGAN TUBUH TERBELAH

Senin, 06 Februari 2012

SELEMBAR AKTA CACAT

Kalian bertanya,
Dari sari pati siapa aku bermula
Dan dari rahim siapa aku terlahir

Mulut kecilku terkatup menjahit amarah
Bukan dari mulutku semua terbaca runut
Disana, pada mata beningku jawaban itu mengoyak

Aku berawal dari pergumulan tanpa ikat di malam biadab
Bapakku laki-laki perkasa, kemaluannya muntah di mana-mana
Ibuku perempuan dewasa, selangkangannya menanti siapa saja

Aku terlahir dan terbuang ketika kalian bertanya
"Buang saja dia, aku tak  pernah mau menamainya,"
Dari ketidakadaan aku bermula dan teruntuk selembar akta cacat aku terus ditiadakan!
Baca Selengkapnya - SELEMBAR AKTA CACAT

KETIKA KITA DAN DIA DI DALAM KAMAR MANDI

     Malam ini, sekali lagi, dalam pergumulan telanjangnya tubuhku dan tubuhmu, laki-laki yang kucintai dengan perih, kucari jawaban. Kuperhatikan mata liarmu yang penuh gairah, ketika dibawah tubuh telanjangmu kau menindihku dengan segenap birahi tertumpah. Matamu tak pernah lagi memandangku. Matamu hilang sejak aku mendapatimu tak pernah lagi merindukanku dengan hangat. Aku tak berada disana, tidak di dalam hal-hal yang kau lihat dengan hati. Tubuhku beku kau bakar dengtan gairah yang tak lagi kukenali. Dalam lecutan gairahmu, aku terpekur dalam pelarian berpuluh-puluh waktu yang lalu. Sejak aku tak lagi bisa menikmati persetubuhan denganmu, kubuang pandangan kosongku pada luas dadamu. Dada yang dulu selalu kupuja karena disana terus menerus kau miliki diriku dengan utuhnya rindu dan cintamu. Dulu.
        Setelah kewajibanku sebagai istri untuk melayanimu pada ranjang basah penuh peluh usai, kita selalu terpendar. Kau meninggalkanku begitu saja dalam tubuh telanjang yang menggigil. Tak lagi pernah memelukku hingga pagi. Dan aku terus terjaga hingga malam terbuang dalam penantian tanpa kehadiranmu di sampingku. Kau sembunyikan diri di ruang kerjamu hingga pagi mencurimu dariku dengan rutinitas kerjamu yang memuakkan. Tentu saja tidak sampai di situ, sering dan belakangan makin sering, dengan alasan meninjau proyek perusahaan tempatmu bekerja di daerah, berminggu-minggu kau tak pulang. Dan aku, persis seperti anjing penjaga yang menunggumu berhari-hari dengan setia, mengikuti arisan sosialita ini itu dengan tawa palsu, menikmati gratis rumah megah yang kau beli, membelanjakan uang bulanan darimu untuk ini itu sampai muak yang kurasa sampai pada tenggorokan dan memaksaku muntah di toilet mall.

**
     "Hahaha...betul! Memang seperti itu yang dia bilang padaku, bagaimana kau bisa tahu hal konyol itu Kay?" Mulut lebarmu menyemburkan tawa yang membuatku nyaris muntah di tempat. Secangkir kopi di depanku tak jadi ku minum. Ku ambil sebatang rokok dan membakarnya dengan mata tak sedetik pun terlepas dari wajahmu.
     Aku mengenalnya sewaktu dengan kesengajaan ku senggol lengan tangannya yang sibuk memilih milah tas di sebuah gerai tas terkenal pada satu mall, tempat aku sering mendapatimu dengannya, jauh hari sebelum kesengajaan itu kulakukan. Wajahnya tampak begitu murka, tapi langsung ditahannya. Dalam hitungan detik aku terkejut dengan caranya mengendalikan emosi yang begitu cepat. Dan selanjutnya, keterkejutanku bertambah lagi, ternyata wajahnya lebih cantik begitu kulihat lebih dekat. Aroma tubuhnya wangi semerbak, bau parfum mahal. Dengan angkuh yang tidak bisa disembunyikan, dia mengulas senyum seadanya dan berlalu beberapa langkah untuk menjauhiku. Kesempatanku hanya kali ini. Buru-buru aku mengejarnya dan meminta maaf dengan bertubi-tubi padanya. Dan mengajaknya untuk mencoba kedai kopi di mall ini sebagai permohonan maafku. Dari sanalah, pertemananku dengannya kumulai hingga hari ini. 
         "Dia juga bilang begini padaku Kay, "Aku menggumulinya dengan kemaluan yang kupaksa mengeras sayang," Dengan penuh emosi kuremas-remas taplak meja tempat kami makan dan meneruskan obrolan bodoh ini. Terus kudengarkan mulut tipisnya yang begitu semangat menceritakan diriku tanpa sadar. Semakin sering tawanya terlepas, semakin berat dadaku menahan letupan emosi. Aku membencimu dan membencinya!

***
       Sekali lagi kau menyetubuhiku dengan caramu menyetubuhinya. Kasar dan liar tanpa jeda. Berkali diantara desahmu dalam birahi, lirih kudengar namanya kau sebut diatas tubuh telanjangku yang meronta memintamu berhenti dengan airmata. Telingamu tuli. Telingamu pekak terbius bisikan-bisikan binalnya yang terus membuatmu membabi buta menyetubuhiku. Matamu tak mendapati airmataku, matamu sibuk melahap tubuh telanjangnya. Bukan diriku yang kau setubuhi! Aku tak mengenalimu. Kau teramat asing untuk bisa membuatku menikmati sekujur tubuhmu yang katamu merindukan dan menginginkanku.
        Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri dari tindihan tubuhmu. Hingga akhirnya kubiarkan diriku hilang dalam kamar mandi. Aku menangis dalam deras airmata tak tertahan diatas dudukan kloset. Kupukul-pukul dadaku dengan keras, aku sakit. Aku tak mau lagi memiliki cintamu! Kucakar-cakar tubuhku dengan amarah. Keras kutarik-tarik rambutku sampai beberapa helai rambut memenuhi jemari tanganku. Terus menerus aku meronta dan meratapi diri dan tubuhku di dalam kamar mandi ketika suara tawanya menyentakku. Tawamu tak mungkin kulupakan begitu saja, tawa perempuan yang sangat kubenci. Tawa perempuan simpanan suamiku. 
      Kau ada di telingaku dengan tawamu yang memuakkan. Tubuhmu yang tinggi semampai bergerak kesana kemari dengan gaun hijau lumut ketat dan sepatu runcing. Rambut hitammu yang tergerai indah, melambai-lambai seakan menunjuk mukaku dengan makian. Lagi-lagi tawamu bergema memenuhi kamar mandiku. Aku diam tersungkur ketika mendapatimu dengan angkuh menginjak-injak penderitaanku. Aku tak mau kau tertawakan lagi! Tangisku makin keras ketika tawamu semakin memenuhi amarahku. Berpuluh kali aku mencoba membuang benciku pada laki-laki yang kucintai dengan mengubur segala amarahku di dalam kamar mandi. Berpuluh kali aku merendahkan diriku dengan meronta dan menangis di dalam kamar mandi ketika berulang kali laki-laki yang kucintai selalu membawanya pulang dalam mata, telinga, mulut dan persetubuhan kami. Berpuluh kali aku mendapatinya mentertawakan diriku disini diantara airmata dan luka. 

****
    "Di kamar mandi ini saja Deb. Toilet tamuku sedang di perbaiki," Kubukakan pintu kamar mandiku untukmu. Sekilas matamu menikmati ruang tidurku, tempat aku melayani suamiku, laki-laki yang kau puaskan dengan gaya binalmu di ranjang.
       "Aduh, maaf jadi lancang masuk kamar pribadimu nih, Kay,"
      "Silahkan saja Deb, anggap seperti rumahmu sendiri," Toh kemaluan yang mengawini kelamin kita juga kemaluan yang sama, kemaluan suamiku! 
Dengan pembawaan dirimu yang selalu anggun, kau masuki kamar mandiku. Aku diam memaku diriku di depan pintu kamar mandiku. Mengumpatimu dalam hati dengan jari-jari tangan yang panas meremas-remas amarah, kebencian dan dendam. 
       Pintu kamar mandiku terbuka. Ini kesempatan terakhirku! Senyum manisnya kuhabisi dengan penuh kebencian. Kuterobos tubuhnya yang berontak. Matanya terbeliak menatapku dengan kekagetan luar biasa. Kubungkam mulutnya yang selalu mentertawakanku. tubuhnya bergerak semampunya dibawah tindihan tubuhku. Kubenamkan pantatku kuat-kuat dalam dadanya. Kuludahi mukanya. Kutampari wajah cantiknya yang basah dengan airmata. Kuteriaki telinganya dengan suara keras. Dan semua tak tertahankan. Tiba-tiba tanganku sudah menggenggam sebilah pisau. Mulutku terus menyerapahimu dengan pisau berdarah yang entah sudah berapa kali kuhujamkan pada tubuhnya. Kau memaksaku menikmati tubuhmu dengan darah yang menderas. 

*****
      "Sayang, jangan ganggu aku dulu ya?" Sekarang pertanyaan itu seringkali kali kau lepaskan ketika kau ingin berlama-lama di kamar mandi. Sepertinya kebiasaan berlama-lamaku di kamar mandi sudah menular padamu sejak kau tidak lagi pernah berminggu-minggu di luar kota untuk urusan kerja. Ya, sekarang kau lebih suka berlama-lama di dalam kamar mandi dan keluar dari sana dengan mata merah sembab. Selebihnya, setelah pulang kerja, kau lebih banyak menghabiskan waktumu di atas ranjang kita, menikmati berita-berita TV, memelukku, bercinta denganku dan sesekali melamun dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu kau masih merindukannya. 
      Aku pun sama denganmu, masih selalu suka berlama-lama di kamar mandi. Tapi aku tidak pernah lagi berlama-lama menangis di sana. Tidak sama dengan yang kau lakukan. Sekarang aku lebih suka bernyanyi dan tertawa di sana, dengan sebatang rokok di tangan dan mata yang terus waspada. Ya, mataku harus lebih jeli memperhatikan setiap detail di dalam kamar mandiku. Teliti mengamati lekatan keramik pada dinding dan lantainya. Jangan ada yang terbuka. Cermat mengamati lapisan semen yang merekatkan potongan-potongan tubuhmu dengan pasir dan keramik. Lalu aku tertawa keras-keras dengan sebatang rokok dan sisa airmata suamiku di ruangan ini.  
         Sempurna! Disini, di kamar mandi, tempatku dulu meratapi nasib perkawinanku dengan laki-laki yang mencintai dan kucintai, telah kupangkas petualangan tabu suamiku dengan perempuan simpanannya. Tawa perempuan simpanan suamiku, yang terus menerus membuatku sekarat, sudah kugantikan dengan senyum bahagiaku tiap kali suamiku mengencingi mulutmu di kakus. Tiap kali ku dengar suamiku menghantamkan kepalan tangannya, memukuli perutmu yang kutanam di dinding kamar mandi, hatiku berteriak gembira. Dan tiap aku menginjak-injak mukamu dengan kakiku pada lantai kamar mandi, tawaku pecah seketika. Ini betul-betul sempurna! 

 
       
      
Baca Selengkapnya - KETIKA KITA DAN DIA DI DALAM KAMAR MANDI

Sabtu, 04 Februari 2012

PELACURKU BERKHIANAT

Mataku berdarah
Penuh sesal pada jiwa terjarah
Wajahku memerah
Sesak dengan lebam amarah

Dalam tubuh telanjang,
Kau ludahi cintaku dengan tendangan
Pada ketelanjanganku yang gamang,
Terus menerus kau jejalkan aroma kematian

Aku tak lebih dari sekedar alas kaki

Terus kau tingkahi dengan caci maki
Tamparanmu pada mukaku
Kakimu pada mulutku

Pada mukaku, kau sisakan lebam
Dengan mulutku, kakimu ku basuh dengan darah
Lebam mukaku mencabik carut marutnya hidupku
Darah pada mulutku mengoyak semua mimpi-mimpiku

Aku sundal yang kau beli dengan kemaluan
Terpenjara pada ranjang lembab penuh laknat
Aku jalang, penentu harimu menjemput kematian
Tak lagi mau kau ludahi caci maki, "Aku pelacurmu yang berkhianat!"
Baca Selengkapnya - PELACURKU BERKHIANAT

KATA MEREKA MULUTKU TELANJANG

Kata mereka,
Aku tak boleh telanjang
Diam-diam saja meningkahi birahi di balik kelambu
Tak perlu berisik, biar mesum hanya tuntas pada ranjang
Mereka malu-malu tapi terus menerus mau!

Kata mereka,
Mulutku tak boleh telanjang
Pelan-pelan saja melagukan pergumulan di malam-malam tabu
Tak usah menggonggong, lagu birahi hanya untuk manusia-manusia jalang
Mereka tahu tapi pura-pura malu!

Tubuhku telanjang, tubuh jalang
Mulutku telanjang, mulut tanpa penghalang
Biarkan mulutku menyalak meneriaki tubuh kalian yang melacurkan pelacur
Biarkan tubuhku telanjang memaki kemaluan kalian yang dilacurkan pelacur
Baca Selengkapnya - KATA MEREKA MULUTKU TELANJANG

Jumat, 03 Februari 2012

MAK, AKU MENANGIS!

Tangannya meraba dadaku, Mak
Dia bukan laki-laki yang menjadikanku istri
Dia menghujaniku dengan uang dan air mani
Aku disini mencarimu, Mak

Mulutnya melumat tubuhku, Mak
Dia laki-laki beristri yang terus meniduriku
Dia yang memasungku dengan bujuk rayu
Aku sendiri disini, Mak

Mak,
Bolehkah aku pulang meminta surgamu terbuka?
Bisakah kau menutupi sekujur tubuhku dengan doa?
Jangan terus kau palingkan punggungmu, Mak

Aku muak telanjang dengan senyummu di luar kamar
Aku geram terus menerus ditindih mereka yang kau perkenankan datang
Aku sibuk mencari sisa-sisa dirimu pada malam-malam hambar
Mak, aku menangis lagi...terus menangis tiap kali kau menjadikan diriku wanita jalang!
Baca Selengkapnya - MAK, AKU MENANGIS!

Kamis, 02 Februari 2012

DINDING BEKU BERNAMA AKU

Aku debu,
Berterbangan menuju lalu
Hinggap di satu kumparan waktu
Mengetuk pintu-pintu huru-hara haru

Aku beku,
Ingin mencair di terpa galau
Berkutat dengan tawa-tawa sendu
Mencari nyala panasnya api berwarna biru

Aku tabu,
Berlarian kesana kemari dalam ambigu
Tiba pada jeda bertabur diam yang kelabu
Menanya satu ke lain masa, sedu sedan kacau

Aku dinding beku yang bertemu jemu
Menggapai semu di tiap labirin kosongnya rindu
Tanpa sesiapa...mungkin dulu pernah denganmu
Sewaktu aku menyerah malu pada jiwa yang membunuhku
Baca Selengkapnya - DINDING BEKU BERNAMA AKU

Rabu, 01 Februari 2012

MELEPASMU DENGAN TUBUH TELANJANG

Aku bersiap melepasmu,
Seperti melepasnya pada kemarin

Malam-malam kuhabiskan tanpa diri
Aku sibuk memilihmu dari sekian perjamuan birahi
Menunggu dan terus menunggu...
Gagu mulut teruntuk perih pada pangkal paha
Janjimu lekat di hati yang kupaksa membusuk

Aku masih menunggu,
Berharap pangkuanku penuh dengan kita
Sekali lagi menelan kemaluan mereka berselip mimpi
Nyeri rahim berkerak belatung tak membuatku runtuh
Bisikanmu terus membuatku menunggu

Ratusan tubuh telanjang mereka masih terus kupuaskan
Disini aku menunggumu memenuhi janji
Disini juga aku bersiap melepasmu
Terus menjual diri, berhenti mengharap diri kembali berarti
Baca Selengkapnya - MELEPASMU DENGAN TUBUH TELANJANG