Kamis, 31 Januari 2013

TUNJUKKAN SATU SAJA TEMPAT UNTUKKU BERTEDUH

Biar kuajak ketakutanku kesana,
ke tempat yang padanya legaku melarung lelah dan keterasingan tanpa dihitungi angkuhnya detik-detik waktu. Tak ada apa pun yang akan kubawa, tidak juga selembar pakaian. Sudah sekian lama tak ada pakaian yang mau menempel pada tubuhku, sejak merasakan serat-serat kain pun menjadi hal yang membuat masa laluku dimaki gatal, ruam, merah...dan perih di sekujur tubuh. Biar saja aku menghampirimu dengan tubuh telanjang, telanjang dilolosi nyali. Tidak juga kubawa senandung lirih lagu-lagu rindu yang dulu biasa kudendangkan pada lembabnya pagi di halaman belakang. Biar saja mulutku bungkam tanpa satu huruf pun bisa kubunyikan. Diam dalam gagu.

Hanya dengan kedua kaki tua ini aku menuju padamu,
kedua kaki yang kemarin sibuk kesana kemari mencari nama yang bisa kutuliskan di belakang namaku. Perkenankan di sisa langkah kaki terakhir ini aku pulang dalam kerinduan yang teramat panjang. Biarkan dua kaki ini melangkah, menggapai tempatmu untuk segera berteduh dan usai. Seperti ulat bulu yang menunggu menjadi kepompong dan ditakuti musim sampai akhirnya bisa terbang ke nirwana dalam warnanya yang entah apa. Seperti butir biji-biji sawi yang terbuang di tanah baru, merajuk pada liat tanah dan cacing, lalu tumbuh dan menghijau. Tunjukkan saja arahnya.
"Disana mereka bertarung memperebutkan mahkota," mulutnya mencumbu angkasa.
"Bintang-bintang itu ada di sekujur tubuhnya, semua berkilauan!" matanya berbinar.
Leherku menengok kesana kemari, mengikuti pembicaraan mereka. Kesana kemari lagi, memperhatikan bagaimana mahkota itu diperebutkan. Dengan bibir terkatup menikmati bias kilau bintang-bintang yang menerpa tubuhnya.Sorak sorai puja-puji begitu riuh memenuhi masa. Aku tersenyum. Tapi senyum untuk apa? Untuk siapa?

Aku pulang ke tempat biasanya aku pulang. Membawa nyeri di dada dan hening yang serupa dengan sepi yang sekian lama tinggal bersamaku. Mataku tak lagi mencarimu. Tidak seperti sekian tahun yang lalu, setiap pulang aku mencarimu. Berlarian dari pintu depan hingga ke halaman belakag, berharap menangkap keberadaanmu.Dulu..., sekarang tidak lagi. Kejenuhan mencarimu semakin memuncak sejak dirimu tak pernah ada untukku, untuk lukaku yang terus menganga. Sampai semua mulai terbiasa tanpamu.
Hujan yang rintiknya masuk begitu saja di dalam rumah, membasahi semua kenangan. Hanyut terbawa genangan berliter-liter airnya yang mengalir, mengambil dan membawamu entah kemana dan sejak kapan. Hilang, tapi seperti tidak benar-benar tidak ada.
"Sejarah itu kususun satu-satu disini, Sayang...agar segera menjulang menyentuh atap rumah," lambat laun suaramu tidak bernada, seperti angin saja, wuuuss....lalu sepi lagi. Selalu seperti itu. Tak lagi pernah matamu menatapku sekedar untuk berujar,
"Rambut panjangmu sudah sampai pinggang," ya, lebih tepatnya sudah sepanjang pinggang lagi, dan ini sudah yang ketiga kalinya ujung-ujung rambutku menyentuh pinggang setelah beberapa kali aku mengguntingnya. Ke sekian kalinya sejak banyak hal datang dan pergi tanpa bisa mengajak matamu memandangku. Terlebih luka dan kesunyian, tak mungkin lagi menarik perhatianmu.

Kemana arah yang harus kutuju untuk bisa berteduh dan usai...?
Aku ingin segera berada disana, diam mengatur nafas terakhir dengan butir-butir air mata yang kemarin tidak pernah lagi kuperkenankan menetes. Aku hanya ingin terdiam disana, mendengarkanmu bernafas di samping telingaku. Menemaniku memandang malam yang datang dengan syahdu dengan bintang-bintang berkilat menyapa kening. Menikmati alam raya yang memaklumi ketelanjangan dan kelelahanku saat datang berteduh, lalu sama-sama bersenandung dalam nafas satu-satu yang mengajak tersenyum. Tunjukkan saja arahnya, biar kubawakan kesederhanaan padanya dalam tubuh yang tak sanggup menyandang apa pun, selain lirih harapan...
"Aku pulang untuk berteduh, tak hendak beranjak. Hanya ingin selamanya disini dengan hening dan sepi yang menyelimutiku seorang diri, tanpa siapa pun. Tidak juga dirimu dan mereka yang kian merentang jarak untuk diri yang kelelahan menadah jenuh,",

Baca Selengkapnya - TUNJUKKAN SATU SAJA TEMPAT UNTUKKU BERTEDUH

Rabu, 30 Januari 2013

CERITAKAN TENTANG BINTANG PADAKU

Seperti apa sebenarnya bintang-bintang yang pernah kau ceritakan pada pohon-pohon tua yang kubawakan padamu sore itu?
Telingaku tak cukup menangkap semua kata dan tanda bacanya,

"Ada banyak dongeng yang kuceritakan padanya, sampai-sampai pagi malu-malu datang lebih dulu," pastilah dongeng itu melelapkan tidurnya; aku ingin dongeng itu.

"Seluas laut itu pun tak mampu membendungku untuk datang menikmati senyumnya dari sekian cerita tentang rindu tanpa jarak," alangkah liciknya laut itu sampai membuatmu menjadi pejalan kaki yang tangguh; aku ingin memangkas habis sekian tahun itu.

"Lalu seperti apa cerita tentang bintang-bintang yang kubawakan untukmu?"

"Entahlah...aku masih membakar dongeng dan lautan itu di dadaku," nantilah kau tanyakan lagi tentang malam-malam itu.

"Bukan malam yang kutanyakan, tapi bintang...,"

Bintang tak juga nampak malam ini, entah kemana

Baca Selengkapnya - CERITAKAN TENTANG BINTANG PADAKU

Selasa, 29 Januari 2013

SATU HARI YANG HILANG DI JANUARI

Dalam pagi yang melembabkan garis-garis takdir di telapak tangan,
aku mengetuk pintu rumahmu dengan mimpi semalam tentang satu hari yang hilang di Januari,
"Mataku tak dapat melihat satu pun kuncup bunga di dada bidangmu yang kemarin kugambari dengan jari tangan yang gemetar,"
Satu hari yang menghilang dalam angka-angka berderet yang menempel di dinding kamarku; hari dimana menghirup aroma tubuhmu dari udara pagi, menjadi hal yang mustahil untuk rinduku yang merunduk.
Baca Selengkapnya - SATU HARI YANG HILANG DI JANUARI

Senin, 28 Januari 2013

MANEKIN PESOLEK

Taburkan rasamu disini,
Pada wajah pucat tak bercorak
Pulas dengan maumu, "Aku hanya sebuah manekin,"
Nyalakan malumu untuk kaku tubuhku, biarkan terbunuh

Khabarkan pada duniamu,
Kaulah pemahat ulung pada kelam takdirku
Menyudahi cinta sesaat di atas ranjang terlacur
Dipaksa terpasung rasa dalam jiwa yang kehilangan nama

Lihat diriku, bersinar di malam-malam yang masih gulita
Mengemis cinta pada pemilikku untuk persemayaman terakhir
Bersolek untuk noda yang kau ingkari, terasing dalam riasan
Tambahkan lagi warna, sembunyikan sejarahku yang tak pernah kau maui,"

Baca Selengkapnya - MANEKIN PESOLEK

Minggu, 27 Januari 2013

CANGKIR KOPI KESEKIAN

Tandas lagi,
Seperti lenyapnya hangat semalam
Nyaris sempurna untuk puisi-puisi bisu
Terseduh pekat, menghitam untuk kelopak mata

Tak lagi berani berseru
Meski tetap hangat menggenggam rindu
Biar saja terdiam, sampai kelak berontak
Mengerak pada ceruk terdalam, berbekas sesaat

Ini cangkir kopi kesekian,
Nikmat menyabung rasa dalam lara yang panjang
Meragu untuk sekian cangkir dalam segenggam embun
"Aku hanya prasasti, setia pada keheningan yang kau rajah,"

Baca Selengkapnya - CANGKIR KOPI KESEKIAN

Sabtu, 26 Januari 2013

KETIKA HENING BERKALI MEMBUNUH

Hening lagi di hati
Rindu tertunduk dalam lirih memanggil
"Aku masih disini, berjalan sendiri menunggu kemudi,"
Tertatih untuk kenangan sewaktu lelah diperbudak sepi

Ini masih hening yang kemarin,
Ditinggalkan bunyi-bunyian dari resahnya rasa
Kian lirih meski masih terbata mengeja langkah
Bilakah pupus terbawa gemuruh petir yang menyalak?

Jangan dulu membunuhku!
Biar saja senyap sesaat, sebentar saja
Supaya rindumu sampai padaku yang kering
Terpinggirkan masa...berkali membunuh, tapi belum juga terkubur

Baca Selengkapnya - KETIKA HENING BERKALI MEMBUNUH

Jumat, 25 Januari 2013

PESAN TERAKHIR

Untuk wajah-wajah tanpa nama,
Hari ini kumulai lagi pertarungan
Membawa kasih ke tempat jauh, melarung nyali
Tetaplah tersenyum agar tak redup sinar mata

Demi jalan takdir yang entah kemana
Detik ini kududukkan mimpi di pelupuk mata
Meletakkannya pada punggung sebelum senja menghabisi
Teruskan berdoa, biar terpendar semua ketakutan di dada

Simpanlah pesan terakhirku,
Jaga pada denyut nadimu, biar terus berdenyut
Sejak saat ini semua langkah kaki teruntuk kalian
Biar kelak kita terbahak bersama, "Ini hanya sakit sesaat,"

Baca Selengkapnya - PESAN TERAKHIR

Kamis, 24 Januari 2013

PELACUR DALAM PUISIMU

Bawa lagi aku dalam puisimu,
Selipkan nikmat kemaluanku disana
Seperti saat ketelanjanganmu membeliku
Lalu bisikanmu membuatku muak, "Kau pelacur terindah,"

Puisikan lagi pelacurmu ini,
Dengan nafas memburu menagih kepuasan
Teriakkan dengan lenguh penuh kuasa atas tubuhku
Hingga terguncang tubuhku; meraung dalam jerit pilu

Khabarkan pada penikmat puisi-puisimu,
Bahwa sekali lagi kau berhak menelanjangiku
Menggumuliku seperti binatang tak bermata, puas memburu desah
Dan kian terlacur untuk keindahan yang hanya dikenali kemaluanmu!

Baca Selengkapnya - PELACUR DALAM PUISIMU

Rabu, 23 Januari 2013

WAJAH PUCAT BIDUAN MALAM

Namaku biduan malam,
Tak mampu mengenali pagi
Dijauhi doa-doa dari pintu surga
Terlahir untuk berisiknya pengkhianatan

Malam menghibur birahi,
Terlarang untuk setetes air mata
Terus bernyanyi dalam syair-syair merajuk
Mengajak mereka tertawa; terjamah untuk rupiah

Aku hanya biduan malam,
Semalaman bersolek dalam warna-warna terang
Terbungkus gaun-gaun seronok, menjamu syahwat
Menyembunyikan wajah pucat ketika pagi bertanya, "Siapa penghiburmu?"

Baca Selengkapnya - WAJAH PUCAT BIDUAN MALAM

Selasa, 22 Januari 2013

SETENGAH MERINDU

Kemarin tergopoh-gopoh kubawa,
Sekeranjang rindu dari dasar hati
Penuh dengan banyak cerita tentang diriku
Rapih tersimpan; tak kuasa memangkas jarak

Lelah kubawa kemana-mana,
Berharap terus dalam doa-doa panjang
Setia menunggu waktu menghadirkan kita
"Hari ini pun aku masih merindukanmu, sangat...,"

Hingga tinggal setengah tanpa jamah
Berpaling saat hujan membuatku meringkuk
Tersungkur ketika kemarau menumbuhkan tanya
Dihitung musim yang terus meminta sebaris jawab

Hanya tersisa setengah,
Setengah untuk menjagaku tetap tegak
Setengah lagi mengingatkanku akan kehilangan
Datanglah, sejenak mengajakku mengurai ketakutan

Baca Selengkapnya - SETENGAH MERINDU

Minggu, 20 Januari 2013

TENTANG MEJA NAKAS DI SAMPING RANJANG

Satu bungkus rokok, korek api, asbak, tissue, cottonbud, charger, karet rambut, obat-obatan, lampu baca, kamu, kamu...kamu,
"Aaahhh, tak cukup!"
Aku perlu satu meja nakas lagi di sisi kanan ranjang, satu lagi. Meja nakas di kiri ranjang terlalu penuh dengan kenangan, terlalu sesak untuk meletakkanmu lagi disana. Nyaris tiap hari kuletakkan kamu disana, di sekitar benda-benda yang tiap hari kugunakan. Rokok paling sering bertemu bibirku, mengajakku melamunkanmu berlama-lama. Sedangkan kamu hanya diam disana, tanpa ekspresi, diam menutup mulut. Kejamnya lagi, tak ada yang mampu membuatmu menyentuhku, memelukku. Saat aku mengajakmu bicara diantara asap rokok yang menjadikan kamarku mendung,
“Disana burung-burung Sriti berangkat sejak pagi. Apakah kamu pernah memperhatikan apa yang dilakukannya sepagi itu?” diam. Tak satu pun suara keluar dari mulutmu, kau masih sibuk memasukkan benda-benda itu ke dadamu; buku-buku usang yang dulu habis kau bacakan untuknya, peta-peta jalanan yang kau datangi dengan suka cita untuknya, semangkuk penuh sambal pedas buatannya dan semua yang lain.
Dan aku harus meletakkanmu disana, pada meja nakas di samping kanan ranjang. Penuh. Sampai-sampai lampu bacaku nyaris jatuh tiap kali kutambahkan kamu padanya. Kasihan meja nakas itu, sekian lama diam disana tak pernah berontak, terus terdiam menampung semua benda-benda yang kutambahkan padanya. Meja nakas itu hanya terbuat dari helai-helai rotan yang dijalin rapi oleh pengrajinnya, dipulas cat putih dan kuseimuti dengan taplak meja dari batik berwarna hijau. Sudah sekian lama meja nakas itu berdampingan dengan ranjangku, sejak aku belum berkenalan dengan cinta, sejak diatasnya tak pernah ada benda-benda selain yang kuperlukan.

Bunga-bunga kertas bermekaran di halaman, dari jendela kamar aku menikmati warna-warna terangnya dengan secangkir kopi panas. Sepagi ini pikiranku sudah begitu ramai dengan toko perabot di simpang tiga. Aku ingin mencari satu meja nakas disana. Tapi hatiku betul-betul ingin mendatangi tempat pengrajin rotan di pinggiran kota, tempat dulu aku membeli meja nakas rotan tuaku itu. Aku ragu kalau di tempat itu masih ada meja nakas serupa dengan yang kumiliki sekarang, tapi aku ingin meja nakas yang sama.
“Aku sudah menjelaskan seperti apa sebenarnya hubungan kita,” begitu katamu semalam. Suaramu mengganggu keasyikanku membaca novel lama yang berkali-kali kubaca. Sejenak aku melirikmu. Kau duduk di atas meja nakas dengan sebatang rokok kretek dengan mata kosong, entah menolak untuk melihat apa. Kulanjutkan melahap kata-kata dari halaman-halaman kertas yang mulai menguning, menunggu kalimat selanjutnya dari mulutmu.
“Cinta saja tidak cukup untukmu,” ini benar-benar menggangguku.
“Ingatkah kau waktu aku pergi sekian lama hari itu darimu? Saat aku mengumpulkan diriku yang terpendar dalam waktu yang semakin mencekik leherku dengan ini itu yang harus kupenuhi, segunung rinduku kusimpan rapat-rapat di dada,” tentu saja aku ingat betul sebulan penuh siksaan itu. Sekian hari tanpa khabar, seperti seketika menjanda tanpa talak. Teman-temanku bertanya tentang keberdaanmu setelah jengah aku menanyakan keberadaanmu pada diriku sendiri yang tidak pernah mampu menjawabnya sendiri. Hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan dari kebiasaan anehmu yang belum juga bisa kuterima setelah sekian tahun menjadi orang yang kau cintai.
Berkali-kali kau pergi tanpa khabar, menghilang begitu saja. Merampas semua jejak-jejak kaki yang kusimpan rapi untuk menghangatkan rasa. Terguyur derasnya hujan, tertimbun kerikil-kerikil yang dibawa angin di musim kemarau, lalu benar-benar tak berbekas. Dan sekarang kau mulai lagi kalimat yang sama persis dengan pembelaan dirimu saat tiba-tiba datang lagi mengajakku membakar cinta. Cinta yang entah seperti apa rasanya kalau harus terus ku benturkan dengan keheningan tanpa jawab. Kututup novel di tangan, kubuang nafas dan kumatikan lampu baca di atas meja nakas. Gelap. Aku tak ingin melihatmu yang masih masyuk dengan rokok kretek dan pandangan matamu yang menolak melihatku; memilih melihat entah.

“Meja nakas yang model seperti ini sudah tidak kami buat lagi, Non...,” begitu kata pengrajin rotan yang kukejar dengan pertanyaan sambil menunjukkan photo meja nakas rotan milikku dari layar handphone. Perkiraanku tidak meleset. Musim saja berganti dua kali dalam setahun, apalagi hanya untuk sebuah meja nakas yang tiap tahun akan terbuang modelnya dengan model-model baru yang sedang diminati. Pengrajin itu sibuk menunjukkan beberapa model baru meja nakas yang sedang laris di showroomnya, aku sibuk mengingkari diri. Aku membutuhkan meja nakas itu. Sekali lagi, aku masih belum tega untuk membiarkan meja nakas yang lama di samping kanan ranjangku menampungmu untuk waktu yang lebih lama lagi. Membiarkanmu diatasnya berlama-lama dengan keadaan yang masih sama persis dengan kemarin-kemarin. Meja nakas itu sudah terlalu tua kalau harus di sesaki lagi dengan ketidaktahuanmu atas diriku. Waktu tidak menjamin cintamu untuk tetap bisa bertahan di atasnya setelah banyak ketidakhadiranmu disini,
“Aku merindukanmu,” aku tak tahan untuk menelponmu. Aku mengering.
“Berisik sekali kota ini, dimana-mana orang berteriak. Aku muak!” baiklah, akan kusimpan rinduku di atas meja nakas.
“Kalau kau bisa lihat kota ini sekarang, kau pasti juga akan memaki kota ini. Panas, kotor, debu, aaahhh....!” ya, akan kusimpan saja rindu ini di atas meja nakas, mungkin nanti kita punya waktu yang lebih nyaman untuk menghapus rinduku dengan segunung cintamu sewaktu kau pulang.
Nanti..., mungkin nanti itu tidak akan terlalu lama, tidak harus menunggu lagi musim berganti. Akar-akar di hatiku mulai retas, kering dimakan panas, enggan tumbuh. Tapi aku masih menunggu hari membawamu pulang menanyakan rinduku dan membayarnya dengan kerinduanmu yang setimpal untuk menghidupi akar-akarku lagi.
“Saya pesan saja yang model seperti ini, bang. Saya tidak suka model yang lain. Boleh khan?”
“Hhhmmm...baiklah Non, tapi agak lama dan agak mahal ya?” begitulah, banyak yang harus kupertimbangkan hanya untuk sebuah meja nakas. Aku tidak suka model yang lain karena aku masih belum bisa menyukai laki-laki lain selain dirimu.
Dan aku sudah terlanjur setia pada firasat-firasat buruk yang terus berteriak ketika hatiku tak juga mau bergerak untuk membuangmu jauh-jauh dariku. Aku masih memberimu ruang; sebuah meja nakas model lama, meja nakas yang kupersiapkan untuk menampung semua pertanyaan-pertanyaanku yang mungkin kelak akan terjawab dengan kehadiranmu di suatu waktu.

“Ada yang hilang tiap kali aku pulang...,” kau mulai percakapan dari atas meja nakas yang baru seminggu ini kuletakkan di samping kiri ranjang. Masih dengan mata yang tidak memandangku karena kau sibuk mengeluarkan barang-barang bawaanmu dari tas ransel tuamu.
“Tidak ada lagi secangkir kopi panas untukku,” memang tidak ada, karena kulihat banyak juga yang berubah dari gerak tubuhmu yang semakin asing kukenali. Bisa saja kau sudah tidak suka kopi panas buatanku setelah sekian musim sibuk kesana kemari dengan dirimu sendiri.
Berkacalah..., kau akan mendapati dirimu sudah berbeda. Rambut ikalmu yang dulu sering kumainkan dengan jari-jari tanganku ketika kita duduk berdampingan dengan obrolan-obrolan panjang sudah kau pangkas habis, tidak lagi ikal, tak ada sehelai rambut pun disana. Kemeja katun yang dulu membuat tubuhmu nyaman berlama-lama dalam pelukanku sudah kau ganti dengan kaos oblong warna hitam yang gambar-gambar di bagian dadanya tak kukenali. Aroma tubuhmu juga berubah. Caramu berbicara, tatapan matamu yang tidak lagi tertarik denganku. Apakah harus tiap kali kau pulang, kukumpulkan lagi hal-hal baru darimu untuk kubaca agar akar-akar di hatiku bisa kembali mencengkram tanah basah di halaman rumah yang dulu kita tanami dengan banyak mau dan mimpi untuk bersama?
“Seperti ada jarak yang kau bentangkan begitu saja untukku?” tentu saja. Sejak diriku kesulitan untuk memberitakan khabarku padamu, yang terus berbalas dengan puluhan kalimat hanya tentang dirimu nun jauh disana. Aku merasa terbuang pada hari kau melupakan siapa diriku.Diriku yang sekian lama kau tinggalkan, tapi tidak pernah bisa membuatmu haus akan keberadaanku.
Dan akhirnya aku terbiasa membuang kekecewaan karenamu pada meja nakas di samping ranjang. Membiarkanmu tergeletak disana dengan benda-benda yang sering membuatku rindu dan menyambutku dengan rindu yang sama. Cottonbud itu ada di atas meja nakas, ketika aku ingin menggunakannya, beberapa batangnya selalu ada untuk kuambil. Lampu baca itu juga terus ada disana, tidak kemana-kemana ketika aku memerlukannya sewaktu gelapnya malam membuat rinduku padamu menakutiku. Seperti hari ini, aku kembali membuang kecewaku karenamu pada meja nakas di samping kiri ranjangku. Saat harapanku untuk mendapatkan jawaban-jawaban dari mulutmu atas semua pertanyaan-pertanyaanku kemarin tidak juga membuatmu panjang lebar menjelaskan.
“Aku masih mencintaimu, tapi....,” entah, apakah kita masih satu pikiran untuk meneriakkan cinta setelah sekian jeda begitu bisa membuat jarak diantara kita.
“Kita sudahi saja hubungan ini...,” kau selalu bisa membuatku ketakutan. Meski ketakutan ini terbaca begitu jelas sedari banyak benda-benda asing di tubuhmu membuatku ragu padamu. Ya, sejak kita sama-sama mengering di musim derasnya hujan dimuntahkan langit, sejak itulah sebenarnya masing-masing kita mencipta jarak. Sama-sama kembali pada garis aman pada sekian jengkal jeda untuk melindungi hati dari sakit yang pada akhirnya sangat jelas terasa.

Kembang-kembang kertas di halaman depan bermekaran lagi, menghormati gerimis yang datang menghidupi akarnya setelah kemarau membuat mereka muram. Tapi musim penghujan pasti akan datang dengan mendung di langit yang abu-abu, dengan titik-titik bening air yang mengguyur, dengan dingin yang sama. Pasti datang, dengan hal-hal yang sama. Selalu ditunggu kembang-kembang kertas meski lama, karena penghujan datang dengan bentuk yang tidak pernah berubah untuk dijamu akar-akar baru kembang-kembang kertas untuk mekar.
Dan aku disini, berdiri tegak menikmati gerimis di luaran dengan hati yang lapang, dalam senyum mengembang. Meja nakas di samping kanan ranjangku tidak lagi penuh dengan dirimu. Begitu juga meja nakas di samping kiri ranjangku, lapang, tak ada dirimu di atasnya. Aku sudah tidak lagi memperbolehkan diriku untuk mengingatmu, bahkan untuk serpihan kenangan yang hambar. Tidak perlu lagi ada banyak tanya di atas meja nakasku.
Mungkin aku tidak seberuntung kembang-kembang kertas di halaman yang sedang memagut rindu dengan hujan yang jatuh, tapi aku bahagia. Ada ruang lapang disini, di dalam hatiku, tempat nanti kutumbuhkan hidup dengan diriku yang kembali. Kembali pada hakikatnya manusia, menunggu pelengkap hati datang dalam hati yang sembuh dari luka. Mempersilahkan meja nakas di samping ranjangku libur panjang dari banyaknya beban yang kemarin kutimpakan pada mereka.
“Kita pernah hidup untuk rasa yang seharusnya tidak terbantah,” dari hal-hal kecil yang terus di diamkan; diperkenankan mencipta hening, risau dan ketakutan tanpa jawab. Bukan karena tidak mau menjawab, hanya jengah berusaha untuk menjawab karena kau dan aku tidak lagi menghuni jalan-jalan lurus di depan sana dengan “kita.”

Baca Selengkapnya - TENTANG MEJA NAKAS DI SAMPING RANJANG

Sabtu, 19 Januari 2013

SEJAK KATA-KATA BERHAMBURAN DARI TUBUHMU

Sejak kata-kata keluar dari buah dadamu,
Banyak mata memperhatikan halaman demi halaman cerita yang kau tulis dengan banyak cinta di atas ranjang;
dengannya sewaktu pulau cinta itu menutup matamu dari keberadaan hak yang memintamu pergi,
dengannya (yang lain) sewaktu malam begitu berisik dengan kehilangan yang kau ingkari,
"Akulah sang terpilih, tak pernah sekali pun mencari," hanya terus kecewa karena pencariku selalu kesalahan yang terbaca di akhir halaman.

Sejak kata-kata berhamburan dari kemaluanmu,
Sekian malam membuat kerongkongan terkejut dengan kerasnya arak yang kau telan dari puluhan wajah di bawah selimut kusam;
dengannya yang memintamu menetap di bawah pohon kering yang ringkih di musim derasnya hujan,
dengannya dalam ruang-ruang malam memabukkan, hilang tanpa nama meski (katanya) semua atas nama cinta,
“Akulah sang waktu, terus sibuk membacamu...,” sampai kulupakan siapa sebenarnya yang hendak mengenaliku di musim tanpa gerimis setelah ini.

Sejak kata-kata memilih ruangnya dalam hening dengan sedikit terang cahaya,
Aku memilih untuk bersimpangan arah denganmu, memilih untuk diam saja disini menadah kata-kata itu dari matamu yang memerah penuh amarah, memutuskan untuk membiarkanmu telanjang tanpa sebaris nasehat dan setia menatapmu dari kejauhan dengan ujung mata yang sesekali melirik akar-akarmu tercabut dari tanah yang semestinya menjadi tempatmu tumbuh menjulang karena sejak kau menutup telinga dan mata, sejak itulah mulutmu mempertontonkan kemaluanmu pada orang-orang yang meludahimu, disitulah kita meminta kata-kata membedakan kasta diantara kita.

Baca Selengkapnya - SEJAK KATA-KATA BERHAMBURAN DARI TUBUHMU

Jumat, 11 Januari 2013

TAWA DI SIANG HARI DAN SEKARUNG BATU-BATU KERAS

Sudah pernah kuceritakan pada kaki-kaki mereka yang riang berlibur ke tempat-tempat yang (katanya) membuat suka,
"Di bawah kaki bukit itu, pagi mengawali senyum di bibir yang semalaman mendewakan rindu...,"

Seperti kaki-kakimu yang selalu gegap gempita mempelajari arah langkah penari-penari berwajah ayu, juga sempat kutitipkan sekarung batu-batu keras yang kemarin rontok begitu saja dari helai-helai rambutku,
"Di bawah kaki bukit itu ada rumah tua dari kayu yang tak kunjung roboh diguncang angin kencang di musim tak sabarnya waktu berganti kulit,"

Dan terus kuhibur kaki-kaki yang menancap dalam pada lembut tanah di belantara sepi; tak juga mau pergi mencari pesta suka citanya tawa-tawa riang, seperti kebanyakan mereka.
"Sejak dulu keramaian selalu membuat telingaku pekak, dada lembab dan lihatlah...," aku hanya tak pernah mau tertawa di siang hari dan memasukkan kepalaku ke dalam seember penuh keheningan yang menderas dari kedua mataku.

Baca Selengkapnya - TAWA DI SIANG HARI DAN SEKARUNG BATU-BATU KERAS

Kamis, 10 Januari 2013

SIAPA YANG KAU PUISIKAN?

Pernah kutanyakan pada puisi yang lewat di keningnya sore itu,
"Siapa yang hendak kau bawa ke desa di bawah sana dengan raut muka berlipat-lipat seperti itu?"
Tak satu pun suara sampai pada tipis telinga dan lapang dadaku, hanya mataku yang sibuk bergerak kesana kemari mengikutimu kian kemari.

Nyaris selalu begitu ketika senja mulai mengajak awan-awan hitam bermain di pelupuk mata.
"Hei, siapa yang kau puisikan dalam mata terpejam dan dada bergumuruh hari ini?" masih tak ada jawaban, sebentar....

Dari sini kulihat kau mengumpulkan huruf demi huruf itu ke dalam dadamu, merangkainya dalam mata berbinar dan....kau menangis??
"Sejak pagi kukumpulkan huruf-huruf itu agar bisa kubaca, tapi tak pernah terbentuk satu kalimat pun....," aku menyesal kenapa tidak sedari pagi kemarin kuhabiskan saja waktu untuk menjawab mulutmu yang berisik dan matamu yang selalu mencariku,"

"Aku menyesal tidak mengenalimu sedari pagi hingga petang menghadang,"

Baca Selengkapnya - SIAPA YANG KAU PUISIKAN?

Rabu, 09 Januari 2013

HARI INI NAMAKU KEKASIH

Rasakan dengus nafasku, Sayang
Sekujur tubuhku menegang, memburumu
Mendekatlah..., dekati kaku kemaluanku
Hari ini namamu kekasih, kekasih untuk birahiku yang mengamuk

Peluklah tubuhku erat-erat
Sandarkan kepalamu di bahu, biar kulihat belah dadamu
Kemarilah..., aku ingin melumatmu dalam ketelanjangan
Hari ini namamu kekasih, pemuas dahagaku di atas ranjang berderit

Seharian ini namaku kekasih,
Telanjang menghadapmu, kau maui ketika telanjang
Tak menahu kenapa birahimu mengamuk di atas tubuhku
Kudapati cinta dari pangkal pahamu, cinta untuk birahi

Untuk hari ini saja namaku kekasih,
Terbeliak mencari Tuhan di bawah tubuh telanjangmu
Menangis dalam lenguh panjang, tersedu ditertawakan cinta
"Namaku kekasih, memunguti rasa dalam doa dengan tubuh terlacur,"

Baca Selengkapnya - HARI INI NAMAKU KEKASIH

PEREMPUAN YANG MENIDURKAN MIMPI

Hitam rambutku memanggil malam
Tergerai menutupi luka di ceruk mata
Semalam lagi membayar tunai lakon hidup
"Kemarilah, nikmati lekuk tubuhku...bunuh mimpiku,"

Lelapkan lagi kelam mataku
Samar tersembunyi dalam pulasan kepalsuan
Biar malam membantah kantuk, membentak takdir
"Aku ingin tertidur, bermimpi tentang dunia yang benderang,"

Sekali lagi membeliakkan mata,
Menidurkan mimpi di atas ranjang berderit
Melupakan mau yang terus terampas gelapnya malam
Biar terlelap tanpa mimpi, sesekali memanggilnya noda di keringnya takdir,

Baca Selengkapnya - PEREMPUAN YANG MENIDURKAN MIMPI

Selasa, 08 Januari 2013

BERKELINDAN DENGAN EMBUN

Pagi di bahu kirimu genap berembun
Keras menempa sepi yang terus dihidupkan
Entah siapa yang nanti lebih dulu sampai
Mungkin tak akan lagi ada tanya tentang khabar

Hanya sesekali akan dirajam hening
Lalu beberapa baris kata memanggul beku
Sudahi saja kalau masa terlampau suka berdiam diri,
Butir-butir embun melukis wajahku pada sepertiga malam

Kukemasi kisah-kisah di jendela kaca berembun,
Permainan ini terlalu usang untuk diri yang kian renta
Simpanlah lembabnya untuk pagar besi di dada keroposmu
"Masih ada secangkir kopi panas yang akan kuseduh untuk kesia-siaan yang terus kau ingatkan,"

Baca Selengkapnya - BERKELINDAN DENGAN EMBUN

Senin, 07 Januari 2013

SESAL BERSAMA PETANG

Pernah kutanyakan pada puisi yang lewat di keningnya sore itu,
"Siapa yang hendak kau bawa ke desa di bawah sana dengan raut muka berlipat-lipat seperti itu?"
Tak satu pun suara sampai pada tipis telinga dan lapang dadaku, hanya mataku yang sibuk bergerak kesana kemari mengikutimu kian kemari.

Nyaris selalu begitu ketika senja mulai mengajak awan-awan hitam bermain di pelupuk mata.
"Hei, siapa yang kau puisikan dalam mata terpejam dan dada bergumuruh hari ini?" masih tak ada jawaban, sebentar....

Dari sini kulihat kau mengumpulkan huruf demi huruf itu ke dalam dadamu, merangkainya dalam mata berbinar dan....kau menangis??
"Sejak pagi kukumpulkan huruf-huruf itu agar bisa kubaca, tapi tak pernah terbentuk satu kalimat pun....," aku menyesal kenapa tidak sedari pagi kemarin kuhabiskan saja waktu untuk menjawab mulutmu yang berisik dan matamu yang selalu mencariku,
"Aku menyesal tidak mengenalimu sedari pagi hingga petang menghadang,"

Baca Selengkapnya - SESAL BERSAMA PETANG

Minggu, 06 Januari 2013

RINDU DI PERSIMPANGAN

Inginnya diam saja disini
Hanya lirih memanggilmu, datanglah
Kedap hati enggan beranjak tanpa pijak
Setia menadah hening dalam setumpuk rindu

Mimpi-mimpi ini terbata-bata
Tak selantang kemarin memintamu ada
Masih merekatkan asa karena kemarin
Bilakah rindumu memburuku hingga persimpangan?

Seperti butir-butir pasir di sela jemari kaki
Pernah mengajakku berkelana pada kita dalam cerita
Aku masih membaca hatimu dari setiap halaman waktuku,
Belum usang menyesap sepinya, hanya menawar waktu pada persimpangan

Baca Selengkapnya - RINDU DI PERSIMPANGAN

Sabtu, 05 Januari 2013

BIDUAN TANPA SYAIR

Kunyanyikan lagi bait-bait malam
Disini, di hadapan mata jalang mereka
Melagukan nada-nada tentang inginnya bahagia
Dengan senyum seolah suka, menutupi luka rapat-rapat

Tersenyum dalam tangis menderas
Semalam lagi merajuk pada kelamnya hidup
"Aku biduan dengan botol-botol alkohol di tangan,"
Bernyanyi di tipis telingamu, merayu birahimu untuk menghidupiku

Hanya seberkas cahaya lampu penghiburku
Berharap kelak bintang membawaku pada terang
Menjauhi kelam dalam noda yang bisa kusingkirkan
Biarlah semalam lagi kunyanyikan lagu tanpa syair dalam doa-doa panjang,"

Baca Selengkapnya - BIDUAN TANPA SYAIR

Jumat, 04 Januari 2013

MENUNGGUMU DI BELAKANG PINTU

Aku menunggumu di belakang pintu,
Menepuk-nepuk punggung tanganku yang berkeringat dengan gemuruh hujan yang memabukkan. Sesekali mengendus aroma tubuhmu dari bahu kiriku yang kian turun,
"Langit membawa begitu banyak cerita untuk bahuku...," menumpuk diam-diam disana, penuh bunyi-bunyian dan warna-warna yang sama sekali baru untukku.

Ku tepuk-tepuk terus punggung tanganku, semilir angin mengajak cerita-cerita itu berdendang. Aku tetap belum ingin menyanyikan satu lagu pun untuk rumah yang sekian lama termenung dalam rindunya.
"Kembang-kembang kopi di seberang rumah masih runyam mengajakku bertandang pada halaman hijaunya yang lembab...,"

Aku masih tetap disini menunggumu di belakang pintu,
Mungkin nanti kau akan datang dari jendela bening di samping bahu kananku, seperti biasanya ; tergopoh-gopoh membawakanku sebait puisi tentang rindu-rindu yang tertidur lama di keningmu.
"Aku masih menunggumu dengan umur yang kian bertambah," dalam rindu yang entah apa namanya ketika menghuni dadamu,
"Aku masih menunggumu disini...,"

Baca Selengkapnya - MENUNGGUMU DI BELAKANG PINTU

HURUF-HURUF HITAM DI TELAPAK TANGANKU

Dia datang telanjang padaku,
Menggigil dalam hujan airmata
Tersungkur dengan noda di sekujur tubuh
Entah siapa namanya, "Dia sundal! Penjaja kemaluan,"

Kau menghampiriku,
Meronta dalam tubuh terbingkai akad
Terbelenggu di hari pertamanya terikat sumpah
Seumur hidup mengabdi pada derit ranjang tak setia

Kalian menyeduh huruf-huruf hitam di telapak tanganku,
Tertunduk dalam diamnya amarah ketika terus ditelanjangi
Bungkam tanpa kata, hanya berkisah tanpa henti dari setiap luka
"Hidupkan ketelanjanganku untuk mata hati mereka yang buta. Hidupkan aku!"

Huruf-huruf hitam puisiku koyak,
Lantang berteriak untuk bilik-bilik kelam hidup mereka
Mencibir tabu yang tak pernah mau dibaca para pemahat luka
"Huruf-huruf hitamku tegak untuk tubuh terlacur mereka yang kalian tindih dengan birahi!"

Baca Selengkapnya - HURUF-HURUF HITAM DI TELAPAK TANGANKU

Rabu, 02 Januari 2013

RESLETING CELANAKU

Seperti resleting celanaku yang tiba-tiba bisa tertutup kembali setelah lama menolak rekat, meski berkali kedua sisinya pernah kupaksa menyatu, seperti itulah rindumu semalam...tiba-tiba minta melekat lagi di hatiku yang kemarin menolak untuk merasai cintamu.
Tiba-tiba rusak begitu saja, lalu tersambung seketika.
Dan sekonyong-konyong perhatianku jadi lebih besar pada resleting celanaku itu, terlebih saat merajuk jadi hal melelahkan bagiku ketika harus terjawab dengan wajahmu yang melulu cemberut,
"Aaahhh....betul khan, kedua sisi resleting celanaku tak bisa saling berciuman?!" tentu saja, karena disana pun kau masih memukul-mukul dadamu dengan egomu yang enggan menyambut rajukanku.

Selalu begitu....berkali-kali begitu,
Masih ku ingat juga, sewaktu tawamu belum sampai pada pintu itu, aku yang sibuk membaca tiba-tiba melompat menghampiri lemari pakaianku hanya mencari menengok celanaku itu dan lihat....,
"Resleting celananya merekat lekat seperti sepasang pengantin baru yang jengah melepas pelukan," dan tawamu memenuhi telingaku dari luar pintu yang tergesa-gesa kau buka. Dan hujan pelukanmu memenuhi tubuhku yang masih mengamati resleting celanaku.

Akhirnya aku semakin sering terbiasa membawa kemana pun celana itu, di dalam rumah, terlebih ketika tidak sedang di rumah. Bukan lagi untuk kupakai, karena memang sudah lama tidak muat padaku. Hanya kusimpan di dalam tas atau kupegang begitu saja kesana kemari. Jadi, tak lagi pernah aku menelponmu sekedar untuk menanyakan khabarmu ketika kita berjauhan. Ketika kau di depan mataku, entahlah kau sedang sibuk dengan burung peliharaanmu atau duduk berjam-jam dengan laptopmu, aku tak pernah lagi ambil pusing karena aku lebih memilih memperhatikan resleting celanaku saja. Menakar amarahmu, rindumu, kejenuhanmu atau bahkan sekedar untuk menawarimu sarapan pun aku masih lebih dulu menanyakanmu pada resleting celanaku.
“Kemarilah, temani aku nonton film ini. Baru saja kubeli semalam di mall, sepertinya kamu akan suka film ini,”
Buru-buru kulirik resleuting celanaku yang tergeletak di meja tempatku membaca majalah.Resletingnya saling melumat ciuman!
“Maukah kubuatkan secangkir kopi?”
“Boleh, sekalian bawakan kripik kentangnya, Sayang...,”
Benar! Resleting celanaku benar-benar sedang masyuk bercumbu.

Begitulah seterusnya, kita mulai jarang bicara sejak aku lebih sering memperhatikanmu dari resleting celanaku. Aku tak mungkin punya keberanian lebih untuk mendekatimu tanpa melirik lebih dulu apa yang terjadi dengan kedua sisi resleting celanaku. Menjauhimu pun juga kulakukan ketika resleting celanaku tidak mau saling terkait, berkali-kali kupaksa menyatu dan tetap tak mau juga menyatu, dan...sebesar apa pun aku ingin jatuh dalam pelukanmu, aku tetap tak akan berani mendekatimu, resleting celanaku belum mau menyatu!
“Kenapa selalu kau bawa kemana-mana celana itu?” suatu ketika kau pernah menanyakan hal itu tanpa melihat padaku, kau masih sibuk dengan laptopmu. Aku tidak pernah menjawab pertanyaanmu tentang celanaku, dan kau juga tidak lagi pernah bertanya soal yang sama padaku.

Aku bisa sangat panik ketika tiba-tiba kau menelponku, tapi aku lupa dimana terakhir kali meletakkan celanaku itu. Kriiiinggg....kriiiiiinnngg..... kemana celana itu? Tadi kuletakkan di atas tempat tidur, kenapa sekarang tidak ada? Krriiiinggg....kkrrriiiingggg....Tuhan, dimana celanaku?? Mungkin diatas kursi di pojokn kamar! Iya...itu dia! Krrriiinggg....kkkriiingggg....kedua bola mataku buru-buru memperhatikan resleting celanaku itu, tak mau berciuman! Kriiiinggg....Krrrriiiingggg....Biar saja, aku tak akan mengangkat teleponmu, pasti disana mukamu sedang merah dan matamu melotot. Aku tak mau mendengar bentakanmu. Resleting celanaku sedang tidak berciuman!

Kita sudah terbiasa sekian lama untuk tidak berbicara satu sama lain. Kau sering kudapati mencuri pandang padaku dengan pandangan yang aneh, seperti melihat sesuatu yang sangat janggal padaku. Entahlah apa yang membuatmu memandangku dengan pandangan aneh seperti itu. Sementara aku juga tak pernah lagi mau ambil pusing dengan tingkah lakumu selagi celanaku itu masih ada di dekatku. Tak ada perubahan yang membuat kita terlihat aneh di mata orang lain, kita masih sering datang ke undangan makan malam relasimu atau pergi berlibur sesekali dalam beberapa waktu ke tempat-tempat yang kita maui. Kau dengan semua benda-benda yang bisa membuatmu begitu sibuk ketika harus berdua saja denganku. Dan aku cukup membawa celanaku itu kemana pun di dalam tas atau kujinjing kesana kemari dalam genggaman tanganku. Tidak ada yang aneh. Kau sibuk. Dan aku masih punya teman bicara, resleting celanaku.

Baca Selengkapnya - RESLETING CELANAKU

Selasa, 01 Januari 2013

WAKTU YANG TANDAS

Seperti inilah waktu kuhentikan,
Luka menganga di dadaku terkoyak
Aku bukan siapa-siapa, sejak kau namai bukan siapa-siapa
Tak hendak mengenalmu sedari kau memuncak di atas kepalaku

Hanya sebentuk luka ini yang kumiliki,
Kau cari di sekujur tubuhku pun tak ada lain, hanya duka
Tak ada mahkota, apalagi hiruk pikuk suka seperti yang kau mau
Hanya ini...raga sekarat yang mengharap kepalanya mampu tengadah

Disini waktu hendak kutandaskan,
Pada sekian pilu tanpa rengkuhan memohon
Bukan untukku yang bukan siapa-siapa, bukan...
Demi sekian luka tersayat, demi rasa yang terlanjur terbunuh

Baca Selengkapnya - WAKTU YANG TANDAS