Sabtu, 25 Februari 2012

MULUTMU YANG TERJAHIT DAN NERAKA YANG TERUS KAU TANYAKAN

     Kemarilah, aku merindukan cambukanmu pada kaki-kakiku. Cambuk kakiku lebih keras. Aku belum ingin berhenti, tidak untuk saat ini. Tidak untukmu. Kemarilah, biar kuceritakan lagi padamu tentang pahitnya manusia-manusia telanjang yang membawa kemaluannya kemana-mana, dimana-mana. Yah, seperti hari-hari kemarinku denganmu disini, di ranjang bisu tanpa selembar selimut pun. Hari ini masih sama, aku melihat mukanya penuh dengan kesulitan untuk memenangkan keberadaanmu. Kau tetap direbahkan pada mimpi-mimpi yang tiba-tiba terhenti karena kau seharusnya tidak boleh ada. Tidak diantara cinta dan pergumulan birahi yang kerap membuatnya kelelahan mengejar nikmat sekejap lalu dikejar paksa olehmu. Kau dikalahkan lagi,  harus rela mengalah dan bungkam.
     "Apakah mereka mencintaiku?" Lembut kau tanyakan itu padaku yang membelai halus rambut sebahumu dengan airmata yang meleleh.
     "Tidak, mereka tidak pernah mencintaimu. Tapi mereka pandai bercinta," Matamu menatap lurus padaku, menenggelamkanku pada kecewa. Dan kau jahit lagi mulutmu dengan tali senar dengan jarum dingin yang pelan-pelan berubah warnanya menjadi merah. Sedikit darah tumpah dari mulut mungilmu yang tertutup jahitan.
     Matamu terus mengajakku bicara, mengajakku melihat bukit hijau di belakang rumah. Bukit tempatmu biasa menghabiskan pagi dengan embun di ujung hidung dan nyanyian riangmu. Disana matamu terbeliak menikmati kupu-kupu berwarna kuning yang terbang mendekat dan menjauhimu. Dari bukit itu kau lihat kehidupan dengan kaki kecilmu yang tak pernah lelah mendakinya meski sering sekali teriakanku membuatmu berhenti, sekedar memberiku sedikit senyum dan menarik tanganku untuk ikut menghabiskan bukit itu denganmu.
    Hanya bukit itu yang bisa kuberikan padamu. Bukit yang rapat dengan rindangnya pohon-pohon tua, penuh dengan kebahagianmu. Kau pernah menggambarkan bukit itu pada selembar kertas putih ketika kita berdua berpelukan di teras rumah lama yang penuh dengan desas-desus tetangga tentang kotornya dirimu ; hitam seperti jelaga pada cerobong asap di dapur-dapur rumah mereka, rongsokan yang dibuang dan sesekali diludahi dengan penuh jijik, noda pada kemeja putih dan bibir bergincu mereka.
     "Ini cinta," Begitu saja kalimat yang keluar dari mulutmu ketika gambar itu kau tunjukkan padaku. Bongkahan pipimu menggumpal sekal, memaksaku menghentikan kesibukanku menampari satu persatu mulut para tetangga yang sibuk menguburmu hidup-hidup, untuk kemudian kuperhatikan gambarmu dengan seksama. Dan kubalas ucapanmu,
     "Ya, ini cinta. Ada tunas-tunas muda bermunculan pada tanah basah di musim penghujan, rapat di bawah pohon-pohon tua yang memayunginya dari musim,"
     "Kau pohon tuaku," Jawabmu, dan sejak itu kita pindah mendekati bukit itu, mendekatkanmu dengan cinta yang gambarnya kau tunjukkan padaku hari itu.

***

     "Bil, temani aku sore ini ke klinik itu ya? Jodie gak kuat mendengar tangisanku. Aku gak mau Jodie pingsan lagi seperti tahun kemarin,"
     "Gak ah, ajak Disti saja,"
     "Ayolah Bil, Disti selalu mau enaknya saja, mana pernah mau dia kalau diajak yang gak enak-enak begini. Mau ya?"
     "Gak mau,"
     "Please...ini yang terakhir deh, besok-besok aku pasang spiral deh biar gak nyusahin kamu lagi. Tapi kali ini mau ya? Nanti kujemput dikantormu pas jam makan siang,"
Tuuuuttttt....ttuuuuuutttt, dan telpon itu terputus begitu saja. Menyebalkan.
     Disinilah aku dan Shilla, duduk pada bangku pucat yang terisi beberapa perempuan dan laki-laki dengan wajah-wajah tegang. Hanya Shilla dan sepasang pasien yang terlihat lebih santai dengan canda dan obrolan ringannya. Satu persatu perempuan-perempuan itu masuk dalam neraka, dan laki-lakinya mondar-mandir di depan pintu neraka dengan muka merah dan raut muka yang sangat tegang. Tak lama setelah itu, tubuh perempuan tadi dikeluarkan dari dalam neraka, tergolek pucat dan lemas diatas ranjang dingin, mencari laki-laki perkasanya. Dan laki-laki resah tadi segera terbangun dari ketakutannya, buru-buru bertanggungjawab, menggenggam jemari perempuannya dan mengangkat dagunya yang sedari tadi terbenam di kerongkongannya.
     "Tampang laki-laki yang kau perhatikan itu jauh lebih enak dilihat dari muka Jodie sewaktu pertama kali kesini ya Bil, hahahaha....,"

****

     "Shilla membunuhnya lagi?"
    "Ya, meludahi dengan tawanya yang memenuhi klinik itu dan lagi-lagi, kalau Shilla tidak lupa, menjahit surganya dengan spiral,"
Kau menanyaiku pertanyaan yang sama, dan jawabanku juga sama seperti jawabanku yang dulu. Matamu terus mengikutiku sampai aku membersihkan tubuh di kamar mandi ; membuang aroma neraka, menghabiskan sisa muntahan yang masih tertinggal di kerongkongan, mengembalikan kaki-kakiku padamu.
     "Mereka saling mencintai?"
     "Tidak, mereka hanya pandai bercinta," Dan kau terdiam di ranjang, melebarkan tanganmu, menunggu pelukanku. Dan aku memelukmu dengan tubuhku yang tidak lagi berbau neraka. Menghangatimu dengan diriku yang lusuh dan muak.
     "Aku diperbolehkan hidup, berarti mereka mencintaiku," Kau merengek dalam pelukanku.
     "Tidak, mereka tidak pernah mencintaimu. Mereka hanya pandai bercinta,"
Isak tangismu pecah lagi. Selalu begitu tiap kali jawabanku untuk pertanyaan-pertanyaanmu membuatmu kecewa.
     "Maukah kau jahit mulutku malam ini? Jari-jariku terlalu gemetar untuk menjahitnya sendiri," Dengan tubuh gemetar dan airmatamu yang menetes deras, kau sodorkan jarum bersenar itu padaku. Dan aku mulai menjahit mulutmu tanpa airmata, hanya saja tubuhku tak kalah gemetarnya dengan tubuhmu. Matamu yang menghancurkan diriku. Matamu yang membuat tubuhku bergetar hebat.

*****

     "Billa, Billa...untuk apa sih terus-terusan membuat tubuhmu remuk dengan kelakuan Killi. Kembalikan saja dia pada ibunya, nikmati hidupmu sendiri," Shilla memandangku dengan jijik di luar pintu kamar mandi sewaktu kubersihkan pantat Killi dari sisa-sisa kotoran air besarnya.
     "Shilla benar Bill, kembalikan saja Killi ke ibunya, biar gak ada lagi laki-laki takut ngawinin kamu," Jodie menimpali keluhan Shilla dari dapur sambil mengaduk berisik secangkir kopi hitamnya. Aku hanya diam, sibuk merekatkan diapers pada Killi yang juga terdiam mencengkram leherku kuat-kuat. Shilla terus membuntutiku dengan racauannya,
     "Idiiiihhhh...Killi sudah 8 tahun, tapi masih saja pakai diapers. Mana gak juga bisa ngomong. Duhhhh...Bill, Bill....mau sampai kapan sih kamu terus-terusan menyusahkan hidupmu sendiri. Sebentar-sebentar susternya Killi nelpon gangguin kerjaanmu kalau Killi kambuh ngamuknya, sebentar-sebentar Killi kejang-kejang, sebentar-sebentar....aaaahhhhh, anak yang menyebalkan, gak tahu diri," Emosiku mulai terkumpul karena mulut kotor Shilla.
     "Killi itu bukan anakmu Bill, hanya anak haram! Ibunya saja membuangnya, kenapa juga kamu besarkan dia. Kembalikan saja dia pada ibunya, atau kembalikan lagilah Killi ke panti asuhan itu,"
     "Jodie benar, nanti aku anterin deh kamu kalo' ngembaliin Killi ke panti. Kawin saja kamu sama temen Jodie yang naksir kamu itu Bill, ntar kalo' emang cocok, nikahlah dengannya, hamil, punya anak sendiri. Kalau gak cocok, terlancur hamil, gugurkan, cari laki-laki yang lain. Hidup itu mudah Bill, gak serumit hidupmu sekarang. Gak harus memungut anak orang yang nyusahin begitu,"
   Terus saja Shilla dan Jodie bersahut-sahutan meracuni telingaku dengan kekerdilan dari mulut-mulut kotor mereka. Emosiku makin terkumpul, membuat mataku memerah. Dengan ujung mata kulirik Shilla dan Jodie yang masih terus meracau ; memasuki pagar halaman rumahku, menginjak-injak tunas-tunas baru pada tubuh Killi, menyayat ujung-ujung daun muda pada pot-pot yang tiap pagi kuhidupi dengan air jernih dari tubuhku. Aku terpancing. Killi makin erat memeluk leherku dalam gendongan. Tubuhnya hangat, hangat sekali. Jemarinya menyentuh lembut pipiku. Matanya mencariku, matanya ingin melihat mataku. Matanya memintaku,
     "Kau surgaku, kau cintaku..."
     Tidak ada lelahku menghidupimu dengan cintaku. Tidak akan ada. Sekotor apa pun mereka menjadikanmu cambuk untuk kaki-kakiku, tidak akan langkahku terhenti. Killi, kau tubuhku yang berkaca, Nak. Matamu adalah mataku, pertanyaanmu adalah pertanyaan-pertanyaanku yang pernah kutanyakan pada siapa pun yang ada di dekatku sejak tigapuluh tujuh tahun yang lalu. Kita sama, Nak. Aku yang dibuang dan ditinggalkan begitu saja di panti asuhan setelah pergumulan birahi. Kau yang juga diludahi ibu bapakmu setelah bercinta tanpa cinta. Aku yang berhenti bertanya ketika mendapatimu di panti dengan mulut terjahit, memilih bisu dan diam karena pertanyaan-pertanyaan itu sudah lebih dulu kau tanyakan dari dalam rahim ibumu yang biadab dan bapakmu yang hanya bisa mencipta laknat. Kau yang terus berteriak penuh marah dan membuat suster pengasuhmu kebingungan dan panik memintaku pulang ketika kau ketakutan kutinggalkan selagi bekerja. Aku yang juga takut kehilangan ketika laki-laki mendekatiku hanya ingin bercinta, lalu membuatku hamil dan membuang janin ; membuka pintu neraka. Kita sama, Nak...dari hari ke hari sama-sama melihat pintu-pintu neraka dibuka paksa dari mereka yang kotor meski selalu kita yang dinamai kotoran. 

                                                                       ******

1 komentar:

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"