Senin, 06 Februari 2012

KETIKA KITA DAN DIA DI DALAM KAMAR MANDI

     Malam ini, sekali lagi, dalam pergumulan telanjangnya tubuhku dan tubuhmu, laki-laki yang kucintai dengan perih, kucari jawaban. Kuperhatikan mata liarmu yang penuh gairah, ketika dibawah tubuh telanjangmu kau menindihku dengan segenap birahi tertumpah. Matamu tak pernah lagi memandangku. Matamu hilang sejak aku mendapatimu tak pernah lagi merindukanku dengan hangat. Aku tak berada disana, tidak di dalam hal-hal yang kau lihat dengan hati. Tubuhku beku kau bakar dengtan gairah yang tak lagi kukenali. Dalam lecutan gairahmu, aku terpekur dalam pelarian berpuluh-puluh waktu yang lalu. Sejak aku tak lagi bisa menikmati persetubuhan denganmu, kubuang pandangan kosongku pada luas dadamu. Dada yang dulu selalu kupuja karena disana terus menerus kau miliki diriku dengan utuhnya rindu dan cintamu. Dulu.
        Setelah kewajibanku sebagai istri untuk melayanimu pada ranjang basah penuh peluh usai, kita selalu terpendar. Kau meninggalkanku begitu saja dalam tubuh telanjang yang menggigil. Tak lagi pernah memelukku hingga pagi. Dan aku terus terjaga hingga malam terbuang dalam penantian tanpa kehadiranmu di sampingku. Kau sembunyikan diri di ruang kerjamu hingga pagi mencurimu dariku dengan rutinitas kerjamu yang memuakkan. Tentu saja tidak sampai di situ, sering dan belakangan makin sering, dengan alasan meninjau proyek perusahaan tempatmu bekerja di daerah, berminggu-minggu kau tak pulang. Dan aku, persis seperti anjing penjaga yang menunggumu berhari-hari dengan setia, mengikuti arisan sosialita ini itu dengan tawa palsu, menikmati gratis rumah megah yang kau beli, membelanjakan uang bulanan darimu untuk ini itu sampai muak yang kurasa sampai pada tenggorokan dan memaksaku muntah di toilet mall.

**
     "Hahaha...betul! Memang seperti itu yang dia bilang padaku, bagaimana kau bisa tahu hal konyol itu Kay?" Mulut lebarmu menyemburkan tawa yang membuatku nyaris muntah di tempat. Secangkir kopi di depanku tak jadi ku minum. Ku ambil sebatang rokok dan membakarnya dengan mata tak sedetik pun terlepas dari wajahmu.
     Aku mengenalnya sewaktu dengan kesengajaan ku senggol lengan tangannya yang sibuk memilih milah tas di sebuah gerai tas terkenal pada satu mall, tempat aku sering mendapatimu dengannya, jauh hari sebelum kesengajaan itu kulakukan. Wajahnya tampak begitu murka, tapi langsung ditahannya. Dalam hitungan detik aku terkejut dengan caranya mengendalikan emosi yang begitu cepat. Dan selanjutnya, keterkejutanku bertambah lagi, ternyata wajahnya lebih cantik begitu kulihat lebih dekat. Aroma tubuhnya wangi semerbak, bau parfum mahal. Dengan angkuh yang tidak bisa disembunyikan, dia mengulas senyum seadanya dan berlalu beberapa langkah untuk menjauhiku. Kesempatanku hanya kali ini. Buru-buru aku mengejarnya dan meminta maaf dengan bertubi-tubi padanya. Dan mengajaknya untuk mencoba kedai kopi di mall ini sebagai permohonan maafku. Dari sanalah, pertemananku dengannya kumulai hingga hari ini. 
         "Dia juga bilang begini padaku Kay, "Aku menggumulinya dengan kemaluan yang kupaksa mengeras sayang," Dengan penuh emosi kuremas-remas taplak meja tempat kami makan dan meneruskan obrolan bodoh ini. Terus kudengarkan mulut tipisnya yang begitu semangat menceritakan diriku tanpa sadar. Semakin sering tawanya terlepas, semakin berat dadaku menahan letupan emosi. Aku membencimu dan membencinya!

***
       Sekali lagi kau menyetubuhiku dengan caramu menyetubuhinya. Kasar dan liar tanpa jeda. Berkali diantara desahmu dalam birahi, lirih kudengar namanya kau sebut diatas tubuh telanjangku yang meronta memintamu berhenti dengan airmata. Telingamu tuli. Telingamu pekak terbius bisikan-bisikan binalnya yang terus membuatmu membabi buta menyetubuhiku. Matamu tak mendapati airmataku, matamu sibuk melahap tubuh telanjangnya. Bukan diriku yang kau setubuhi! Aku tak mengenalimu. Kau teramat asing untuk bisa membuatku menikmati sekujur tubuhmu yang katamu merindukan dan menginginkanku.
        Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri dari tindihan tubuhmu. Hingga akhirnya kubiarkan diriku hilang dalam kamar mandi. Aku menangis dalam deras airmata tak tertahan diatas dudukan kloset. Kupukul-pukul dadaku dengan keras, aku sakit. Aku tak mau lagi memiliki cintamu! Kucakar-cakar tubuhku dengan amarah. Keras kutarik-tarik rambutku sampai beberapa helai rambut memenuhi jemari tanganku. Terus menerus aku meronta dan meratapi diri dan tubuhku di dalam kamar mandi ketika suara tawanya menyentakku. Tawamu tak mungkin kulupakan begitu saja, tawa perempuan yang sangat kubenci. Tawa perempuan simpanan suamiku. 
      Kau ada di telingaku dengan tawamu yang memuakkan. Tubuhmu yang tinggi semampai bergerak kesana kemari dengan gaun hijau lumut ketat dan sepatu runcing. Rambut hitammu yang tergerai indah, melambai-lambai seakan menunjuk mukaku dengan makian. Lagi-lagi tawamu bergema memenuhi kamar mandiku. Aku diam tersungkur ketika mendapatimu dengan angkuh menginjak-injak penderitaanku. Aku tak mau kau tertawakan lagi! Tangisku makin keras ketika tawamu semakin memenuhi amarahku. Berpuluh kali aku mencoba membuang benciku pada laki-laki yang kucintai dengan mengubur segala amarahku di dalam kamar mandi. Berpuluh kali aku merendahkan diriku dengan meronta dan menangis di dalam kamar mandi ketika berulang kali laki-laki yang kucintai selalu membawanya pulang dalam mata, telinga, mulut dan persetubuhan kami. Berpuluh kali aku mendapatinya mentertawakan diriku disini diantara airmata dan luka. 

****
    "Di kamar mandi ini saja Deb. Toilet tamuku sedang di perbaiki," Kubukakan pintu kamar mandiku untukmu. Sekilas matamu menikmati ruang tidurku, tempat aku melayani suamiku, laki-laki yang kau puaskan dengan gaya binalmu di ranjang.
       "Aduh, maaf jadi lancang masuk kamar pribadimu nih, Kay,"
      "Silahkan saja Deb, anggap seperti rumahmu sendiri," Toh kemaluan yang mengawini kelamin kita juga kemaluan yang sama, kemaluan suamiku! 
Dengan pembawaan dirimu yang selalu anggun, kau masuki kamar mandiku. Aku diam memaku diriku di depan pintu kamar mandiku. Mengumpatimu dalam hati dengan jari-jari tangan yang panas meremas-remas amarah, kebencian dan dendam. 
       Pintu kamar mandiku terbuka. Ini kesempatan terakhirku! Senyum manisnya kuhabisi dengan penuh kebencian. Kuterobos tubuhnya yang berontak. Matanya terbeliak menatapku dengan kekagetan luar biasa. Kubungkam mulutnya yang selalu mentertawakanku. tubuhnya bergerak semampunya dibawah tindihan tubuhku. Kubenamkan pantatku kuat-kuat dalam dadanya. Kuludahi mukanya. Kutampari wajah cantiknya yang basah dengan airmata. Kuteriaki telinganya dengan suara keras. Dan semua tak tertahankan. Tiba-tiba tanganku sudah menggenggam sebilah pisau. Mulutku terus menyerapahimu dengan pisau berdarah yang entah sudah berapa kali kuhujamkan pada tubuhnya. Kau memaksaku menikmati tubuhmu dengan darah yang menderas. 

*****
      "Sayang, jangan ganggu aku dulu ya?" Sekarang pertanyaan itu seringkali kali kau lepaskan ketika kau ingin berlama-lama di kamar mandi. Sepertinya kebiasaan berlama-lamaku di kamar mandi sudah menular padamu sejak kau tidak lagi pernah berminggu-minggu di luar kota untuk urusan kerja. Ya, sekarang kau lebih suka berlama-lama di dalam kamar mandi dan keluar dari sana dengan mata merah sembab. Selebihnya, setelah pulang kerja, kau lebih banyak menghabiskan waktumu di atas ranjang kita, menikmati berita-berita TV, memelukku, bercinta denganku dan sesekali melamun dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu kau masih merindukannya. 
      Aku pun sama denganmu, masih selalu suka berlama-lama di kamar mandi. Tapi aku tidak pernah lagi berlama-lama menangis di sana. Tidak sama dengan yang kau lakukan. Sekarang aku lebih suka bernyanyi dan tertawa di sana, dengan sebatang rokok di tangan dan mata yang terus waspada. Ya, mataku harus lebih jeli memperhatikan setiap detail di dalam kamar mandiku. Teliti mengamati lekatan keramik pada dinding dan lantainya. Jangan ada yang terbuka. Cermat mengamati lapisan semen yang merekatkan potongan-potongan tubuhmu dengan pasir dan keramik. Lalu aku tertawa keras-keras dengan sebatang rokok dan sisa airmata suamiku di ruangan ini.  
         Sempurna! Disini, di kamar mandi, tempatku dulu meratapi nasib perkawinanku dengan laki-laki yang mencintai dan kucintai, telah kupangkas petualangan tabu suamiku dengan perempuan simpanannya. Tawa perempuan simpanan suamiku, yang terus menerus membuatku sekarat, sudah kugantikan dengan senyum bahagiaku tiap kali suamiku mengencingi mulutmu di kakus. Tiap kali ku dengar suamiku menghantamkan kepalan tangannya, memukuli perutmu yang kutanam di dinding kamar mandi, hatiku berteriak gembira. Dan tiap aku menginjak-injak mukamu dengan kakiku pada lantai kamar mandi, tawaku pecah seketika. Ini betul-betul sempurna! 

 
       
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"