"Jalanan Canggu msh tertidur," memeluk bumi teramat liat. Tubuhnya serupa tanah pekarangan rumah lama,
"Sepanjang Tukad, cerita tak pernah lepas dari rajutan,"
Katanya,
"Kemarin aku mengingat Ibu, matanya serupa matamu...,"
Semua kegelapan membutuhkan ruangnya untuk tetap gelap dan dibiarkan jujur tanpa ada yang berhak atas nama apa pun untuk meleburnya. Apa saja yang tidak bisa diteriakkan disana, akan liar dan tumpah dalam ruangannya sendiri disini, sekedar untuk tetap bisa menjadi tegak dan jujur atas apa yang diyakini.
Katanya,
"Kemarin aku mengingat Ibu, matanya serupa matamu...,"
Malam menghuni dadanya yang tak lagi lapang seperti penghujan di musim lalu. Gelisah tetap setia mengerak di bawah anak-anak tangga keningnya.
"Tidurlah.., pagi pasti menggantikan semua, pun yang kau hidupkan semalaman,"
Untuk apa bersolek pada jiwa yang lengang, gersang tanpa satu pun huruf tegak yang dihidupkannya dengan rindu ketika jarak mengaburkan pandangan?
Tubuh-tubuh Cemara tinggi menjulang, merebut Desember yang baru datang, menepis rindunya angin laut, lalu berujar lirih,
"Seharusnya Cemara tak usah berkenalan dengan musim," biar angin laut tinggal di dalam rumah, tak perlu mencuri waktu untuk sekedar berkhabar.
Saat kembang-kembang Kertas bertemu musim mekar, November penuh warna, juga mendung di dadaku.
Lagu- lagu lama kian menua. Tak lebih sunyi dari gerimis di bulan Desember. Setia mengajak ingatan berkelindan pada panjang helai-helai rambutku yang kembali sampai di bibir laut,
"Aku juga sering merindukan gerimis, pun di hari yang begitu deras hujannya...," merindukanmu sambil menasehati bayangan yang terlukis di lembab jendela kamar,
"Rindu yang kemarin terlantar. Rindu yang sering menatap keresahan di wajahmu,"