Selasa, 23 Oktober 2012

MEMANGGILMU DALAM BIRUNYA AIRMATA

Airmataku biru,
Luruh dari kelamnya kelopak mata
Yang kau tundukkan dalam diamnya ruh
Sunyi, mengingatkanku kembali akan pucatnya rasa

Suaraku terbata,
Tak lagi berani memunguti kata
Lantak begitu saja bersama lelah
Roboh menimpa mau yang tak hendak berseru lagi

Kita terlalu lelah memaknai ketakutan
Nyaliku terbungkam keheningan, takjub pada jeda
Biru pun masih tercekat dalam keranda tak berkasta
Memanggilmu, tapi terabaikan dalam mata tergenangi airmata

Baca Selengkapnya - MEMANGGILMU DALAM BIRUNYA AIRMATA

Rabu, 17 Oktober 2012

MEMINDAHKAN JARAK

Jarum jam di dasar akuarium itu berputar mundur tanpa tanda seru, berputar begitu saja. Merah, hijau dan biru berlarian kesana kemari dalam ketakutan. Tak ada yang menunjukkan kilau oranye pada mereka. Tidak juga kita; kau dan aku.

Kita nyaris kehabisan waktu ; aku sedang menghidupi akar-akar halus pada jemari tanganku, dan kau sibuk memukul-mukul dadamu pada jendela kayu yang menua itu.
"Apakah kau akan menunjukkan jalan itu pada mereka?"

Pertanyaanku membuat permainanmu terhenti sesaat, lalu..
"Siapa gerangan dirimu?"

Jam itu tiba-tiba berhenti tepat diantara kita, pada bahu kiri dan bahu kananmu.
"Hei...pindahkan jarak ini, aku jengah menghidupinya!"

Baca Selengkapnya - MEMINDAHKAN JARAK

Selasa, 16 Oktober 2012

JENDELA TUA

Dari tempatku terbangun pagi ini, kulihat sekumpulan pohon-pohon besar yang memenuhi sekujur tubuh gunung-gunung menjulang di luar sana.

Hijau di kegelapan kabut abu-abu, seperti tubuh ini yang ditumbuhi shelter-shelter bus;pada waktu-waktu tertentu, begitu penat menampung wajah dan raut muka ratusan mereka, dan setelahnya...menanggung malu dihinggapi panjangnya sepi tanpa tanya dan keinginan untuk berlama-lama berdua.
"Mereka terlalu banyak, aku tak bisa mengenali mereka satu per satu...,"
"Lalu kenapa kau tak juga mengenalinya?"

Andai saja tanyamu bisa mendapati ratusan waktu disamping kanan tubuhku, terus lengang tanpa satu pun terbuka, mungkin kita akan sama-sama tertunduk.
"Jendela kayu tua ini hanya ingin membiasakan pagi dengan namamu di bening kacanya yang mengigil di datangi embun pagi,"

Baca Selengkapnya - JENDELA TUA

Senin, 15 Oktober 2012

YANG TERASING DI LAUTAN LEPAS

Itulah kenapa begitu sulit bagiku membagi diri pada kita di saat malam teramat pekat untuk kita yang tak pernah ada.

Mungkin di saat kau rubuh membasuh getir, aku terlalu pendiam untuk bertanya. Dan mungkin di saat-saat seperti sekarang, saat aku tak memandangi pintu dan jendela, kau tak ubahnya kabut tebal di balik bukit yang tak mampu kupanggil untuk datang, bahkan dengan hatiku yang berseru.
Jadi beginilah kita, tak pernah saling mengenal di laut lepas.

Baca Selengkapnya - YANG TERASING DI LAUTAN LEPAS

Minggu, 14 Oktober 2012

SEPERTINYA ADA

Semalam aku pergi lagi ke tempat itu, tempat yang menyembunyikan langkah kaki dan tengadah tanganku yang meminta angin menghembuskan aroma kembang-kembang kopi padaku.
Tidak ada yang kuminta lagi dari tempat itu, aku hanya ingin terjebak lagi padanya. Terperangkap pada senyum yang tertanam di belakang tipis cuping telinganya, tertangkap kata-kata yang terbiasa menidurkanku dengan biusnya.
"Kau masih menghuni ruangan ini,"
"Dimana aroma kembang kopi itu kalau aku masih menghunimu?"

Tak ada satu pun yang lalu terdengar menghampiri telingaku.
Lama aku menunggu jawabanmu;mengingat tempat itu.

Padamu ada jendela besar yang memasukkan aroma kembang-kembang kopi itu ketika mataku membukanya. Ada aku diluar jendelamu, berlarian kesana kemari dan tertawa terbahak-bahak dengan kaki basah dijilati embun pagi.
"Hanya aroma kembang kopi dan dirimu yang tak lagi ada di luar jendelaku,"

Hanya itu yang hilang;sekujur tubuhku yang terampas darimu sejak aku terpaksa memberanikan diri bersembunyi darinya yang katanya ada.
Sepertinya pernah ada.

Baca Selengkapnya - SEPERTINYA ADA

Sabtu, 13 Oktober 2012

DARI BAWAH CELAH PINTU KAMAR

Aku melihat wajahnya datang dari bawah celah pintu. Bola matanya yang bulat, penuh berisi warna- warna pucatnya pagi yang abu-abu. Bibirnya hanya terlihat dalam sebaris tipis hitamnya awan.

Sepagi ini dia tampak begitu pucat, sepucat selimut diatas ranjang yang tak berani lagi mengajakku bercerita.
"Aku merindukan berlembar-lembar cerita dari halaman yang menguburku di dadamu,"

Dadanya tak pernah lupa menghuni jendela kamarku sejak pagi meminta senja datang.
"Jangan mencari wajahku dari bawah celah pintu, aku tak akan pernah berani membawa raut mukaku padamu...,"

Hatiku tak pernah mengingkari jendela bening tembus pandang di dadamu, tapi bisakah kau buat percaya mataku yang terus menunggu raut wajahmu dari bawah celah pintu kamarku?

Baca Selengkapnya - DARI BAWAH CELAH PINTU KAMAR

Minggu, 07 Oktober 2012

CERMIN ITU KOTOR SEKALI!

Malam ini bunyi-bunyian itu datang bersama gumpalan awan hitam dari atas sana. Suaranya tidak terlalu berisik seperti kedatangannya waktu itu. Aku menunggunya.
Kusilangkan kedua telapak tanganku diatas pangkuan yang sedari tadi kupenuhi dengan pucuk-pucuk baru rerumputan hijau. Mataku menatapnya dalam jenuh berkepanjangan yang terlanjur lama menunggunya datang kembali. Tak ada kata yang terlepas dari bibirnya yang terkatup. Aku pun juga terdiam. Hening.

Akar-akar rerumputan itu tumbuh perlahan-lahan dalam suara yang kukenali sejak rumput-rumput baru itu tumbuh di pangkuanku. Srekk...sreekk..., "Sudah terlalu lama waktumu kubuang...," tiba-tiba saja rumput-rumput itu berhenti tumbuh. Pucuk-pucuknya yang masih sebaris cerita pendek menatapmu.

Aku masih ingin diam. Awan itu menghuni kepalamu yang mulai ditinggalkan jalan-jalan hitam yang dulu berjajar rapi dan selalu menurut menghias kemasyuranmu.
Masih ada hitam disana, hanya beberapa ruas, selebihnya hanya lahan-lahan kosong, tak ditumbuhi apa pun.
"Kemana biasanya kau habiskan waktu untuk menungguku?"

Hari itu tak akan pernah terlepas dari ingatanku yang tinggal beberapa saja di dalam ruangan ini. Gerimis masih bersamaku untuk mengikat ingatan itu, aku mengingatnya dengan sangat baik.
Disini semuanya bermula, menidurkan raut wajah yang waktu itu terlalu sering mencari namanya. Berlarian aku mengikutinya, kelelahan yang belum ingin kunamai kekalahan.
Sama, mungkin waktu itu pun kau juga melakukan hal yang sama. Meski aku tak pernah ingin melihat perkampungan padat penduduk yang memenuhi belakang punggungmu.
"Apakah kau kelelahan?" begitu waktu itu tanyamu padaku.
Tak perlu jawaban dari mulutku karena ujung matamu melirik pasti pada garis-garis halus pada kening dan ujung mataku yang sayu. Lalu kita mulai tersenyum bersama dengan pensil warna merah yang melukiskan bentuk-bentuk rupa pada cermin di depan kita. Hanya warna merah.

Lalu setelah sekian lama musim datang dan pergi, hanya cermin penuh guratan warna merah itu yang terus kupandangi dari tempatku duduk sekarang. Sampai akhirnya kau juga memandangi cermin itu denganku, disini, sekarang. Aku menunggu kalimat berikutnya dari bibirmu yang selalu kuingat setelah kantuk mengajakku melupakanmu kemarin, setiap kemarin yang berlalu begitu saja.
"Siapa yang mengotori cermin itu?" Kalimat itu saja yang kutunggu terlepas dari bibirmu saat ini. Satu kalimat tanya.


Dan terlepaslah semuanya ke udara, Bola mataku melompat jauh meninggalkan kelopak mataku, mungkin dia terlalu lelah membeliak. Mulutku tak kuasa melepaskan tawa ke segala arah, menyesakkan sekali rasanya sekian lama harus tersumpal dalam katup yang tak kutahu kapan akan terlepas. Cuping tipis telingaku berlari meninggalkan kepalaku yang tiap waktu terus menyimpan bunyi-bunyian di dalamnya, berisik.
Aaahh...begini rasanya menikmati alam raya dengan segala kejenuhan yang terlalu lama harus kupelihara. Nikmatnya tak terkira!

Baca Selengkapnya - CERMIN ITU KOTOR SEKALI!

Sabtu, 06 Oktober 2012

AKULAH SANG NISTA

Tiba-tiba aku datang,
Menjadi merah dalam kelam malammu
Tak ada yang memintaku menetap, tidak juga matamu
Dan aku hanya diam di sudut sana sejak kau lahirkan

Kepalaku terus menunduk,
Menyembunyikan tubuhku yang gemetar
Semenit pun tak ada nyaliku memanggilmu
Aku hanya bisa diam, Aku harus diam, harus!

Begitulah noda menghidupiku,
Semena-mena terpasung di heningnya keramaian
Tiap saat terlunta karena dosa yang tak kukenali
Aku ada, tapi tak sekali pun hidup dalam doa-doamu

Ketakutan ini menghidupiku dengan setia,
Noda tak punya mulut untuk memaki langit malam
Sekali memuakkan, selamanya terkubur hidup-hidup
Akulah Sang Nista, terlahir untuk mendarahdagingnya keterasingan

Baca Selengkapnya - AKULAH SANG NISTA

Selasa, 02 Oktober 2012

JALANAN HENING DI KENINGNYA YANG BERPASIR

Sampai lagi helai-helai rambut perakku di bibir laut ini. Kilau peraknya sedikit mewarnai hitamnya sekitar yang gulita. Tak satu pun bintang ada di telapak tanganku, hanya ada garis-garis putus. Garis-garis terhenti yang terdiam mendapati persimpangan dalam hening yang membingungkan.

Kujalin satu persatu burai rambutku yang berlarian menjauhiku, jangan mencari sejarah tentang kemarin tanpa memintaku mengangguk, jangan! Tunggu saja butiran-butiran pasir itu jatuh dari keningnya yang berundak-undak. Tunggu kaki-kakiku yang kelelahan menapaki maunya satu-satu.
"Aku sudah ringkih,"
Terlalu pongah untuk mengartikan persimpangan-persimpangan yang terus memenuhi pelupuk mataku dari pagi hingga pagi lagi.

Mungkin waktuku sudah tak lagi sebanyak butiran-butiran yang jatuh satu-satu dari leher sempit botol berpinggang ramping ini. Mungkin.
"Tiap butirannya membuatku menunggu,"
Menghitung kematian dengan telapak tangan yang terus menengadah. Aku jera.

Kemarin garis-garis di telapak tanganmu tak pernah terasing membaca persimpangan-persimpangan tempat cerita kita kupermainkan seperti permainan petak umpet ; aku menyembunyikan hatiku, kau mencarinya...ya, meski kau tak pernah menyembunyikan pagi di bola matamu yang berpasir.
"Ayolah..., nikmati lagi permainanku," Biarkan aku mencatatmu pada keningku yang kian masa kian berundak, bertumpuk memenuhi senyumku.
Diam saja disitu, aku akan menghampirimu untuk menghapus peluh yang luruh dari keningku, tunggulah.

Tidak! Aku sudah harus menghancurkan jam pasir ini dan memasukkan butiran-butiran pasirnya ke dalam mataku yang makin temaram. Aku akan melarungmu disini, di keningmu yang biru, berombak dan terus menjauh. Aku akan berhenti menjalin helai-helai rambut perakku dengan senandung tentang kejenuhan yang nantinya membawakan jawaban hening pada tipis telingaku sebelum tuli kian mendera. Aku tak sabar untuk itu.

Baca Selengkapnya - JALANAN HENING DI KENINGNYA YANG BERPASIR

Senin, 01 Oktober 2012

ANAK-ANAK TANPA SEJARAH DALAM MERAH DARAHNYA

Ambil namamu dari dadaku, ambil!
Bawa jauh-jauh, jangan kembalikan
Akan kujahit mulut agar terbungkam
Terus mengutuk diri biar mauku takluk

Jangan kau ungkit lagi merahnya sejarah
Yang tumbang legam pada malam-malam kelam
Dalam diri tanpa wajah, terajam ketelanjangan
Lalu peluh menggantikan lahirku setelah lendir

Aku anak tanpa sejarah
Terlahir dari liarnya birahi diatas ranjang
Bingung menapaki nama tanpa merah darah bapak
Hanya ada karena ibu, lalu hilang mencari diri

Untuk apa menyemai cerita-cerita kusut
Ketika dalam lipatan terkoyaknya pun aku bias
Enggankah aku hidup dari pilunya ranjang mesum?
Kalau sejak tercipta pun yang menghardikku hanya nista!

Baca Selengkapnya - ANAK-ANAK TANPA SEJARAH DALAM MERAH DARAHNYA