Sabtu, 31 Maret 2012

BOTOL-BOTOL BENING BERISI AIRMATA DAN JEJAK PADA TANAH BASAH DALAM GERIMIS DI BERANDA

     Aku melihatnya datang dalam gerimis. Tubuh kurusnya terbungkus celana panjang hitam dan kemeja kotak-kotak berwarna krem. Lengan kemejanya dilipat sampai bertemu siku tangannya. Dia datang dengan kepala agak menunduk, membuka tangan kanannya di depan kening, sekedar melindungi wajahnya dari gerimis Pelan-pelan sekali dia melangkah, satu-satu…satu-satu…Sesekali kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri, lalu sebentar menatap ke depan, juga menengadah.
     Dari dalam beranda, aku menatapnya dengan secangkir kopi panas pada genggaman tangan. Baru saja aku menyilangkan kedua kakiku yang terbungkus kaos kaki, kehangatan diantara gerimis selalu jadi sensasi yang kunikmati dengan intim. Aku sering berada disini, terutama ketika musim hujan datang. Beranda rumahku ini tidak terlalu besar, tapi terasa sangat besar dengan halaman rumah tak berpagar yang selalu bisa kunikmati indahnya dari bening kaca di beranda. Pohon-pohon besar yang basah bermandikan gerimis membawa kelembabannya sampai ke dalam beranda. Aku kedinginan. Kutarik selimut yang sedari tadi kulipat di atas pangkuan. Kututupkan pada kaki sampai sebatas paha. Aku mengayunkan pelan kursi malas yang selalu jadi tempatku duduk berlama-lama.
     Dia mulai mendekati beranda rumahku. Berhenti sejenak di depan pintu dengan menepiskan jari-jari tangannya pada kemeja dan celananya yang basah kuyup. Sepatu kulit warna coklatnya ,yang kuyakin  warnanya lebih muda daripada sebelum kena air hujan, di lepas dan di tinggalkannya sebelum menginjak keset. Semua kulirik dengan mataku, sambil sesekali ku minum kopi panasku. Lalu kudengar pintu terbuka. Kakinya melangkah perlahan memasuki beranda, tempatku duduk mengamatinya sedari tadi. Siapa dia?
     “Dia hanya menganggapku sampah. Tiap hari selalu memaki,” Laki-laki itu memulai ceritanya sambil duduk di sampingku dengan memegang secangkir kopi panas. Bagaimana bisa dia membuat secangkir kopi dari dapurku? Aku tidak mengenalnya! Matanya lurus memandang halaman rumahku yang masih ditingkahi gerimis. Tubuhnya terbungkus pakaian basah kuyup. Matanya meredup.
     “Aku mencintainya lebih dulu, jauh sebelum anak-anak kami terlahir,”
Lama ceritanya di kisahkan padaku dalam raut wajah yang begitu pucat. Sesekali aku mendengar ceritanya. Sesekali gerimis terlalu menghipnotis dan mengganggu pendengaranku. Kami tidak saling memandang selama bibirnya terus berkisah. Sedikit demi sedikit kopi hitamku makin menemui dasar cangkir. Ketika tiba-tiba dengan perlahan dia meraih tangan kananku. Meremasnya begitu kuat dengan mata yang meneteskan airmata. Erat di genggamnya tanganku dalam bibir yang tak hentinya berkisah. Diletakkannya jemari tanganku yang tadi erat-erat digenggamnya pada dadanya. Basah. Dingin.
     Dia berdiri. Mengambil cangkir kopiku yang sudah kering dan meletakkannya di samping cangkir kopinya yang masih penuh di meja yang letaknya dua langkah di samping tempatnya duduk. Lalu dia menyibak selimut yang menutupi kakiku dan duduk begitu saja di kursi malasku yang sebenarnya tak cukup menampung dua tubuh kami. Merebahkan tubuhnya pada bahuku dengan tangan kirinya yang kembali menggenggam erat tangan kananku di dadaku. Mulutnya terus berkisah,
     “Cintaku tak pernah cukup untuknya. Selalu saja ada kekuranganku yang terendus olehnya. Aku lelah. Aku lelah mengajarinya menerima diriku apa adanya,”
Airmatanya makin deras. Dan tiba-tiba jemari tangan kiriku mengusap-usap kepalanya. Rambutnya mulai agak kering dari air hujan, tapi masih terasa lembab disana. Aku membelainya. Aku membelai laki-laki yang tak kukenal. Dan dia memelukku makin erat. Sangat erat. Kuselimuti tubuhnya dengan selimutku. Kami terdiam, menunggu gerimis reda, menunggu ceritanya usai.
     Tanpa kusadari, bibirnya mencium bibirku. Aku diam tertegun dalam pelukan yang rapat. Ciumannya lama, sangat lama. Dan aku membalas ciumannya. Kami saling melumat. Sekujur tubuh kami menghangat, ketika sentuhan demi sentuhan membangkitkan gairah. Dan kami sama-sama telanjang di atas karpet, tak jauh dari kursi malas. Bergumul dalam birahi yang datang tanpa permisi. Dia diatas tubuh telanjangku, meremas sekujur tubuhku dengan mata tertutup. Dan tubuhku yang sedari tadi tak tersentuh air hujan, seketika basah. Kami saling menghangatkan dalam desah dan pekik panjang yang menghentikan gerimis.
     Aku lemas terkulai dalam mata terpejam di bawah selimut, ketika dirimu beranjak. Mengenakan kembali bajumu. Berdiri membelakangiku, lalu berjalan mendekati pintu. Pintu itu kau buka. Semilir angin dingin menerobos masuk menerpa kening dan pipiku. Mataku terbuka perlahan. Dan pintu itu tertutup kembali. Aku membungkus tubuh telanjangku dengan selimut dan segera berdiri. Mataku mendapati tubuhmu sedang menunduk memasang sepatu. Dan tubuhmu berlalu. Melangkah meninggalkan beranda dan tubuh telanjangku yang terbungkus selimut.

    
    Beberapa musim hujan dan gerimis yang bertandang tak pernah lagi membawamu kembali kemari. Dan aku masih disini. Di dalam beranda dengan secangkir kopi panas, kaki yang terbungkus kaos kaki, selimut yang menutupi hingga batas pinggang dan gerimis di luar pada sekian musim setelah itu. Tidak lagi denganmu, tapi masih dengan beberapa laki-laki lain yang berwajah pucat, datang padaku seperti dirimu. Laki-laki yang tersesat dalam hujan, yang menghampiri beranda rumahku dengan beberapa cerita tentang airmata. Laki-laki yang datang menghampiri pintu rumahku, melepaskan sepatunya sebelum keset, disamping keset dan ada juga yang melepaskan sepatunya persis diatas keset di depan pintu rumahku. Laki-laki yang tiba-tiba memeluk erat dalam tubuhku dalam tubuh yang menggigil, lalu menciumku lama, saling melumat dan menggauli tubuhku dalam ketelanjangan dengan birahi menggebu-gebu.
     Aku masih sama. Telanjang di dalam selimut yang membalut tubuh, berdiri mendapati kehilangan dan mendapati tubuhmu dan tubuh-tubuh mereka berlalu menjauh setelah gerimis berhenti. Yang berbeda sejak kepergianmu dan kepergian mereka hanya botol-botol bening bertutup kayu yang berjejer rapi di bahu kaca beranda rumah. Botol-botol bening yang ku tata dari sebelah kiri menuju ke kanan. Botol-botol bening yang kunikmati sepanjang tahun, terlebih ketika kemarau datang begitu panjang. Botol-botol bening berisi airmatamu dan airmata mereka. Botol-botol bening berisi jejak kakimu dan jejak kaki-kaki mereka pada tanah basah di halaman rumahku.
     Kamu dan mereka masih ada di beranda rumahku. Sesekali membuatku tak kuasa menunggu musim hujan datang membawa laki-laki lain datang kemari. Laki-laki yang tersesat dalam hujan dengan wajah pucat, airmata dan birahi menggelegak. Laki-laki tumbang yang datang mengangkangi tubuh telanjangku yang gagu dalam pergumulan birahi. Gagu dalam bisu yang menjerat kelemahanmu dan kelemahan mereka. Terdiam menikmati airmata dan kemaluan mereka dengan selangkangan yang menertawakan keruntuhan mereka dari balik botol-botol bening berisi airmata dan jejak pada tanah basah dalam gerimis di beranda. Botol-botol bening yang mencandui kedatangan mereka ketika meruntuhkan ikatan akad dalam sekejap.

Baca Selengkapnya - BOTOL-BOTOL BENING BERISI AIRMATA DAN JEJAK PADA TANAH BASAH DALAM GERIMIS DI BERANDA

Jumat, 30 Maret 2012

PEREMPUAN BERMAHKOTA LUKA

Malam itu,
Rakus kau lahap tubuh telanjanganku
Jengkal demi jengkal lidahmu menjilat-jilat
Hanya semusim, lalu kau hilang ditelan pagi yang liat

Aku terluka,
Menunggumu datang untuk pulang
Sewaktu sisa keringatmu masih di dada
Dalam tubuh yang kau tinggalkan jalang

Ingatkah kau,
Ketika kau guncang tubuhku dalam birahi
Setangkup mimpi-mimpiku terpendar bersama nafsu
Tubuhku kau telanjangi pada pengabdian tanpa nadi

Satu saja yang kuingat,
Hari itu, mereguk tubuhmu adalah pendakian 

Nikmatnya membuat kemaluanku menghangat 
Setelahnya, tubuh telanjangmu tetaplah tubuh pelacur!
Baca Selengkapnya - PEREMPUAN BERMAHKOTA LUKA

Kamis, 29 Maret 2012

WAJAH-WAJAH PADA HALAMAN-HALAMAN RAK BUKU KU

     “Tidak bisa Ndin, siang ini tiba-tiba aku ada rapat dengan dewan direksi. Kau saja yang jemput mereka,”
     “Mereka mau di jemput Papanya,”
     “Come on Ndin…Nanti aku jelaskan sendiri pada mereka sepulang rapat, ok?”
     “Iya,”
Tuttt…tuuttt, telpon kumatikan begitu saja. Alasan basi!  Aku malas berdebat, apalagi memohon darinya, suamiku, bapak dari anak-anakku. Aku harus segera bergegas untuk menjemput anak-anak sebelum terlambat. Selalu begitu, kejutanmu di menit-menit terakhir selalu tidak menyenangkan. Aku tidak suka kejutan, apalagi kalau kejutan itu darimu.
     Pada akhirnya kebenaran itu akan sampai juga di telinga dan mataku, seperti kejadian yang sudah-sudah. Kau akan pulang dengan membawa kebenaran itu nyata-nyata di hadapanku. Terkadang bau badanmu sudah seperti bau sundal murahan, penuh dengan bekas lumatan bibir perempuan yang kau bayar untuk sex after lunch. Terkadang tingkahmu seperti laki-laki kecil yang baru sunat, perlu memperuncing kemaluannya yang baru di tumpulkan. Pastinya, aku jijik padamu. Tentu saja aku bisa dengan mudahnya mendapati sisa-sisa tubuh mereka pada tubuhmu ketika aku harus telanjang di bawah tindihanmu dan menunggumu memuntahkan cairan itu dengan kemaluanmu yang tak lagi kukenali.
     Dan aku memilih menghabiskan sisa malamku di ruangan bacaku hingga pagi membuatku jauh darimu. Disini, di dalam ruang gelap dengan kursi baca dan nyala lampu kekuningan, aku mulai membaca kata demi kata dari beberapa buku yang tersimpan rapi dalam rak-rak bukuku. Lembar demi lembar, halaman ke halaman, ada diriku. Aku berlarian di tengah taman hijau yang lembab karena siraman gerimis. Langkah-langkah kecil mulai membuat tubuhku ringan menembus malam. Kau di taman ini juga. Tubuh tegapmu gontai, terhuyung dengan tubuh perempuan itu pada gendonganmu. Wajahmu begitu muram ketika perempuan dalam gendonganmu itu tertawa dalam pekik memekakkan telinga. Matamu begitu sayu. Gurat-gurat kecewa itu begitu ketat menarik kulit mukamu. Tak terasa bibir kecilku bersenandung. Tubuhku telanjang. Udara malam ini tidak terlalu dingin untuk ketelanjanganku. Sesekali sisa air hujan jatuh dari daun-daun yang menempel pada pohon-pohon besar di taman ini. Aku senang ketika tubuhku bersentuhan dengan titik-titik air itu. Kubentangkan kedua tanganku dengan mata terpejam. Kuhirup aroma basahnya tanah dan rerumputan, mmmhhh…aku hidup!
     “Danie membelikan aku cincin berlian!”
     “Kapan…kapan?”
     “Coba kulihat cincinnya. Aku tahu sedikit soal keaslian berlian,”
Suara-suara mereka seperti segerombolan lebah yang datang ketika sarangnya terganggu, nguiiiingg….nguiiiinngg…kepalaku tiba-tiba pusing sebelah. Selalu saja seperti ini tiap kali aku terpaksa duduk di dekat sekumpulan ibu-ibu muda yang sama-sama sedang menunggu anak-anaknya keluar dari kelas. Aku lebih suka membersihkan rumah berjam-jam lamanya daripada terpasung di situasi memuakkan seperti ini.
     “Ma, kayaknya itu Papa deh,”
Aku melirik ke arah telunjuk putri sulungku dari belakang kemudi. Laki-laki itu memakai kemeja abu-abu gelap dan celana hitam dengan dasi hitam bercorak. Baju yang kusiapkan tadi pagi di ranjang tempat semalam dia menggumuliku dengan birahi memuncak. Disampingnya ada perempuan berambut hitam sebahu dengan gaun kuning terang tanpa lengan. Mereka memasuki hotel dengan tangan laki-laki itu memeluk erat pinggang pelacurnya.
     “Bukan Kak,”
     “Tadi pagi papa pakai baju itu Ma, itu Papa,”
     “Kakak, sudah…rapatkan sabuk pengamanmu,”
Laki-laki itu bukan Papamu, laki-laki itu bukan suamiku, laki-laki itu anjing! Ini sudah bukan bukti pertama yang kutemui dari dirimu. Sudah berpuluh kali aku mendapatkan jawaban dari semua alasan yang pernah kau buat. Dan sekarang anak-anak kita melihat sendiri dengan mata kepalanya, betapa tidak terpujinya kelakuanmu.
     Kau menghampiri kamar si sulung setelah malam begitu larut. Membetulkan selimut yang mulai melorot dan mencium keningnya. Aku disini, di ruangan bacaku. Duduk selonjor diatas kursi baca dengan buku di tangan dan selimut menutupi kaki.
     “Perempuan itu seperti rumah Andini. Siapa saja datang dan pergi, anak-anakmu akan tumbuh besar, menikah dan meninggalkanmu. Sesekali mereka datang menjengukmu, menjenguk rumah tempat mereka kau besarkan. Begitu juga suamimu, dia akan lebih sering di luar rumah, mencari nafkah untuk menafkahimu dan anak-anak. Terkadang suami melupakan rumahnya karena bertemu dengan mall yang punya banyak etalase benda warna-warni. Tapi dia akan selalu pulang. Tunggulah,”
Suara Ibuku merasuki pikiranku. Teringat aku pada beberapa tahun lalu dengannya di kamarnya yang luas manakala aku datang dan merebahkan kepalaku di pangkuannya tanpa sepatah kata. Dan aku jatuh tertidur begitu saja disana waktu itu.
     Aku mulai membaca buku di tanganku. Lembar demi lembar, dari halaman  ke halaman. Aku ada di atas mercusuar. Lampu sorot sesekali menggoda lautan dengan kilaunya yang berkilatan. Semilir angin laut meniup helai demi helai rambutku. Dalam ketelanjangan ku tatap batas antara langit dan lautan, hening. Beberapa bintang berkerlap-kerlip, kilau berlian dari jemari ibu muda di ruang tunggu sekolah itu ada di langit. Kemana ibu muda itu, dia kehilangan cincin berliannya?
     Dibawah sana Ibuku duduk pada hamparan pasir di bibir laut, menyisir rambut hitam panjangnya dengan jemari kaki seorang laki-laki. Siapa laki-laki itu? Aku memanggil Ibuku. Tak ada jawaban. Ibuku tak juga menengok padaku. Mungkin ombak terlalu berisik di telinga Ibuku. Aku hendak turun dari mercusuar ketika lampu sorot mengarah pada tubuh Ibuku yang masih duduk terdiam menyisir rambut hitam panjangnya dengan jemari kaki suamiku.
     “Bapak tidak akan pulang Bu, jangan lagi kau siapkan sandal rumah untuknya tiap sore!” Dengan sedikit membentak kakak laki-lakiku menarik tangan Ibuku yang sedang menunduk merapikan sepasang sandal di depan pintu rumah.
     “Sudahlah Bu, buang saja cangkir kopi Bapak. Ini sudah tahun ke dua puluh satu sejak Bapak tak ada khabar, Bapak tidak akan kembali ke rumah ini. Sundal itu sudah merampas suamimu dan bapakku,”
Ibuku bergeming. Tubuh rentanya selalu sibuk tiap sore menyiapkan benda-benda itu untuk Bapakku. Selalu. Meski akhirnya kami yang mendewasa dan tua akhirnya muak dengan kebiasaan Ibuku yang satu itu. Kakak-kakakku yang datang sesekali bersama anak istrinya mulai marah dengan kesibukan Ibu tiap sore datang.

     Gemuruh ombak memenuhi telingaku. Aku bersandar pada dinding mercusuar yang dingin. Angin malam meniupi tubuhku yang telanjang. Mataku nanar memandang luasnya lautan di hadapanku. Airmataku menetes satu-satu. Ibu menengok padaku dari kejauhan sana. Rambut panjangnya berlarian mengejar angin malam. Aku menatap senyum di ujung bibirnya. Mata Ibuku juga meneteskan airmata. Tidak sebening airmataku mala mini. Airmatanya merah. Deras mengalir dari kelopak matanya yang tertutup. Tubuhku lunglai. Terlepas dari sandaran pada dinding mercusuar, melorot ke lantai besi yang dingin. Buku ini kututup dengan tangan kananku. Pelan ku hembuskan nafas dengan mata yang kubuka perlahan. Ada setitik darah pada punggung tangan kananku.
   
    
Baca Selengkapnya - WAJAH-WAJAH PADA HALAMAN-HALAMAN RAK BUKU KU

MENGEJAR JEJAK

Pada jejak tak berpijak
Kisah-kisah itu malu bertutur
Tak menghuni satu ruang pun
Enggan mencumbu lagu tak bernada

Jejak-jejak itu berlarian
Datang bergambar pohon-pohon rindang
Pergi meninggalkan kemarau pada pangkuan
Sesekali menghidupkan kematian dalam diam

Kalau saja kaki-kaki ini bisa berlari,
Mengejar jejak diantara letih, bukan khayalan
Kaki-kaki ini terlanjur terbenam duka
Tak mampu mengejar, hanya bisa terikat harap
Baca Selengkapnya - MENGEJAR JEJAK

Rabu, 28 Maret 2012

MENEMANI LUKA

Diamlah disini luka,
Jangan pergi menjauh
Aku belum ingin sembuh
Ingatkan selalu, akulah luka

Ketika aku sendiri,
Tersanjung hangatnya airmata
Aku merindukan perih lagu duka
Ijinkan aku, menyayatkan luka sendiri

Disini,
Mengingatnya bersama sepi
Melupakannya dalam nyanyian
Tak beranjak berteman luka demi luka
Baca Selengkapnya - MENEMANI LUKA

Selasa, 27 Maret 2012

PEREMPUAN YANG MEMAHAT HUJAN DENGAN TUBUHNYA

Ibu,
Tubuhku berontak di jamah birahi
Terlunta oleh airmata seusai senggama
Orok-orok itu ku bunuh tanpa ikatan akad
Aku anakmu yang memagut malam-malam tak bernama

Bapak,
Hatiku memunguti cinta dari ranjang berderit
Tak satu pun rasa tertinggal untukku, hanya lenguh
Airmata ini tak lagi mampu menyelimuti ketelanjanganku
Aku anakmu yang menjilati kemaluan mereka dalam ambigu

Nak,
Surgamu ini kugadaikan tanpa doa-doa
Tiap malam di kangkangi tubuh-tubuh tak ku kenal
Kau ku bunuh dalam takdir hitam dari legamnya noda
Aku ibu yang membuatmu hadir dalam berabunya jalan hidup

Tuhan,
Hujani tubuh telanjangku dengan kemarahanMU
Biar ku pahat jelaga hitam pada airmataku dengan kekalahan
Dan biarkan tubuhku tumbang dibawah hujan yang terus menista
Baca Selengkapnya - PEREMPUAN YANG MEMAHAT HUJAN DENGAN TUBUHNYA

Senin, 26 Maret 2012

BERKACA PADA AIRMATA

Pada beningnya airmata,
Aku berkaca dalam setengah raga
Ku tarik pelangi pucat dari jiwanya
Kita menghukum waktu dengan segunung cela

Berkali batu ini bercelah amarah
Menipu luka menganga dengan gelak tawa
Batas langit dan lautan tak juga berubah
Pinta yang terus diminta muntah membenci jeda

Aku adalah luka
Ceruk tumpahan airmata
Lukailah aku dengan luka
Mataku merindukan airmata

Airmata tempatku berkaca,
Ruang sepi ini terbiasa menyetubuhi kebisuan
Berlarilah kesana kemari menggengam luka
Hingga ku ingatkan lagi jeda pada nelangsa, "Akulah Sang Nisan"
Baca Selengkapnya - BERKACA PADA AIRMATA

Minggu, 25 Maret 2012

SENJA DAN CINCIN MUTIARA HITAM DI JARI MANISNYA

Kemuning senja di pelupuk matanya
Berkilau mengugah lamunan,

Cemas gemas diremasnya waktu
Lama kelabunya malam di pangkuan
Berkeluh resah pada sajak-sajak diam
"Jari manisku bertemu hitamnya mutiara,"

Senja lalu lalang mengajak berlalu
Setia memagut lelahnya yang memasung
Kidung-kidung tentang angin berhamburan
"Tubuh nelayan selalu membawa kampungnya,"

Cincin mutiara hitamnya makin legam
Berkilau dalam kenangan, sesekali terusap
Dia menanti perahu-perahu nelayan itu kembali
Jari manisnya menunduk, menggantikan senja...
Baca Selengkapnya - SENJA DAN CINCIN MUTIARA HITAM DI JARI MANISNYA

Sabtu, 24 Maret 2012

BADUT YANG MEMUNGUTI WAJAHNYA

Pesta baru saja mulai,
Kusiapkan wajah dengan senyuman
Kutegakkan tubuh agar bisa memeluk
Aku badut penghibur, penghapus murung

Pesta segera berisik,
Kau ceritakan lelahnya mengejar langkah
Dia bawakan segenggam senyapnya sepi
Aku membatu, mencari diriku yang hilang

Kau, dia, dan mereka datang dalam luka menganga
Menawariku perihnya meyesap duka dalam sendiri
Meminta tawaku dari bibir kaku yang terbekap gagu
Aku badut penghibur, dipaksa tersenyum dalam wajah beku

Pesta harus ku akhiri,
Wajahku lelah melepas senyum dalam tangis
Badut ini terpuruk dalam dinding sepi tanpa sesiapa
Aku badut yang memunguti wajahnya, memilih sendiri ketika terus tersendirikan
Baca Selengkapnya - BADUT YANG MEMUNGUTI WAJAHNYA

GERIMIS DI TELAPAK TANGANKU

Ku punguti gerimis hari ini,
Gemericik satu-satunya ku simpan
Disini, di dalam bilik hati yang hening
Aku ingin mendengarmu dengan hati

Mataku sudah lama terkatup,
Tak lagi mampu mencarimu yang hilang
Kedap telingaku setelah sekian jeda,
Pekak mengenali langkahmu yang menjauh

Gerimis ada di telapak tanganku,
Perlahan luruh menghapus jejakmu
Tak satu pun kenangan akanmu tertinggal
Gerimis di telapak tanganku mengering, aku bersiap melupakanmu
Baca Selengkapnya - GERIMIS DI TELAPAK TANGANKU

Jumat, 23 Maret 2012

TUBUH-TUBUH DI BALIK KELAMBU

Awalku bermula disini
Sendiri tanpa pintu surga
Menggigil memanggil namaMU
Dalam segunung ketakutan pada benak

Akhirku datang terlalu pagi,
Tersadar tanpa pintu tempat berpulang
Merepih menghapus bercak-bercak noda
Dengan sekujur tubuh berteriak dalam perih

Aku menggapai cintamu, 
Menanam mimpi-mimpiku pada kakimu
Meyiraminya dengan setia dan beribu maaf 
Lalu aku terbuang ketika kau injak kepalaku

Aku mengikat hatiku, 
Menyempurnakan akad dalam tunduk kepala 
Menghidupi hati dengan lalu lalangnya janji
Lalu aku tersungkur ketika kau terus berlalu 

Tubuh kami mencarimu dari balik kelambu
Berkali bertemu kecewa dan kehilangan tanpa arti
Lalu mencoba senyum dari tindihan tubuh telanjang mereka
Padamu dan merekalah tubuhku yang terlacur mencederai luka
Baca Selengkapnya - TUBUH-TUBUH DI BALIK KELAMBU

Kamis, 22 Maret 2012

PEREMPUAN TANPA TELAPAK KAKI

Setengah saja tubuh ini milikku,
Tiap ingin, kau telanjangi tanpa permisi
Tiap malam kau kangkangi penuh birahi
Tubuhku hanya pemuas kerasnya kemaluanmu

Setetes saja airmata ini tumpah,
Mengenal cinta dengan tubuh telanjang
Menginginkan akad dalam lenguh maksiat
Dalam airmata yang terlanjur lupa mengering

Pada tubuh yang kau muntahi noda
Ku punguti sisa diri dalam belukar malam
Dalam butir airmata yang terus kau kencingi
Ku paksakan mata mencari terang dalam gelap

Aku perempuan tanpa telapak kaki,
Kehilangan jiwa ketika terlacur mencari akad
Tak lagi rela menapaki hidup berpeluh laknat
Masih berharap menyabung langkah meski tak lagi mampu berdiri
Baca Selengkapnya - PEREMPUAN TANPA TELAPAK KAKI

Selasa, 20 Maret 2012

WAJAH DALAM SECANGKIR KOPI

Cangkir kopiku berkerak
Mencipta wajahmu disana,
Dalam gerimis satu-satu
Langit menceritakan resah

Boneka kertasku lusuh terbasuh hujan
Punggung tegaknya cemas meremas alur
Pelangi tak menghadirkanmu dalam warnanya
Waktu retas perlahan berteman kidung sunyi

Ku hirup aroma tanah dalam sandar di bahumu
Tak ada kisah ku ceritakan setelah hening bermunajat
Diam ku genggam hangatnya cangkir kopi yang berontak
Kau ada di sana, berwajah sayu dalam birunya lagu meragu

Sekian jeda melukis wajahmu,
Tak biasa ku buai bisu dengan candu
Aku mulai terbiasa menyelimutkan sepi pada sendiri
Dengan luruh wajahmu menghapus rasa yang ku akhiri
Baca Selengkapnya - WAJAH DALAM SECANGKIR KOPI

Senin, 19 Maret 2012

SEKEDAR PUSARA

Aku mati disini,
Di bekas jejakmu sore itu
Rebah setelah lelah meraung
Aku menggapaimu

Aku terlunta sendiri,
Dalam kenangan yang menipis
Luruh terkikis tumpukan nelangsa
Aku terkubur

Ku hidupi diri dengan sepi
Keras tertawa dalam tangis
Bergelayut pada keringnya rindu
Mengakhiri awal yang tak bermula

Aku hanya sekedar pusara,
Kau hampiri ketika duniamu terlalu hening
Kau ziarahi ketika beberapa kematian menguburmu
Aku selalu diam disini, pada ruang bisu yang tak kau kenali
Baca Selengkapnya - SEKEDAR PUSARA

Minggu, 18 Maret 2012

LUAS DADAMU TAK BERPAGAR

Sore itu kita berpelukan
Membelah senja dengan tingkah dalam desah,

Dadamu yang luas,
Seperti halaman tanpa batas
Tempat langkah kakiku terlepas
Disana tak kudapati ada pembatas

Rasaku terjahit lekat disana,
Padanya kutanam bunga cinta
Selalu setia dan penuh percaya
Pagar itu tak pernah ada padanya

Sibuk kutimbun diriku dengan harapan
Terus memenuhinya tanpa pengkhianatan
Dan dadamu yang tak berpagar memaksaku,
Untuk sekali lagi membuka mata, Aku terlampau jauh di luar pagar
Baca Selengkapnya - LUAS DADAMU TAK BERPAGAR

Sabtu, 17 Maret 2012

MEMBATU DENGAN KEPALA DI DALAM AKUARIUM

     “Aku akan datang padamu,”
     “Kapan?”
Hening. Aku bercermin di tengah malam dengan tubuh tanpa muka. Bibirku yang tertinggal pada pagi membungkusku rapat-rapat, kedap. Angin malam menggerayangi hatiku. Lupa ku tutup jendela dengan cerita serupa dari berpuluh kisah lalu. Janjimu membuatku bermimpi, mimpi panjang yang indah, penuh dengan pengharapan. Aku akan ada di dekatmu, mencium aroma tubuhmu, meremas gemas jemari-jemari tanganmu dan menganyam senyum pada luas dadamu. Kelak kau akan mengakhiri lamanya penantianku setelah sore itu memisahkan kita di stasiun kereta.
     Sore beberapa tahun lalu, sore tanpa setitik pun airmata yang seharusnya menetes dari kedua mataku. Tak ada apa-apa di antara kita sore itu, hanya ada sejengkal jarak dalam tubuh gemetar dan kepalaku yang berubah jadi batu, keras, legam dan sekotak akuarium bening penuh dengan ikan-ikan kecil warna-warni. Kepalaku berenang di dalamnya, makin dalam dan karam. Diammu menenggelamkanku pada dasar akuarium yang begitu mudahnya teraba kakiku. Sekali lagi kita terpisah, entah sampai kapan. Rasanya masih sama dengan perpisahan yang sudah-sudah, bisu dan tenang dalam keheningan yang bening.
     “Setelah posisi itu kudapatkan lagi, kita akan bersama lagi. Secepatnya,” Laju datangnya keretaku menelan habis suaramu, janjimu. Saatnya aku berangkat, dikembalikan pada tempat yang lama kutinggalkan untuk menemani sedu sedan sepimu beberapa waktu lalu. Kau tidak lagi rapuh dan hancur. Dadamu tegak menjulang menelan semua mimpi-mimpimu. Mimpimu, bukan mimpi-mimpi tentang kita, bukan juga mimpi-mimpimu tentangku. Aku bersiap untuk berlalu, menjauhi dirimu yang mengulas senyum pada panggung opera sabun yang sedang kau mainkan seorang diri dengan kedigdayaanmu.
     Dan aku kembali pada tempatku berasal. Dalam sebuah ruang dengan jendela besar yang tiap pagi menyajikan hutan kecil di depan mataku. Ada diriku disana, menyesap basah lembabnya embun pagi yang menghapus sisa lukisan-lukisan semalam pada pelupuk mata. Tiap kali kubiarkan tubuhku berlarian menghabiskan jarak demi jarak tanpa hitungan waktu dengan memagut wanginya bunga-bunga kopi di musim mekar dengan jemari tengadah meminta aromanya singgah di hati. Sesekali, di luar jendela, aku mempersilahkan pagi yang tak biasa datang dengan cerita baru tentang dia. Dia yang retak terkoyak waktu, terluka karena langkah kaki dicambuk kekecewaan. Dan aku membalut lukanya dengan sebagian diriku yang terhibur dengan ratusan pagi tanpamu. Hanya dengan cerita burung-burung dan warna-warni bunga di halaman lukanya tertutup rapat. Langkah kakinya sudah mampu membuat jejak-jejak tak dalam di hutan kecilku. Dan aku menghapusnya perlahan.
     Mulutmu terbuka dan tertutup mengisahkan cerita lalumu. Telingaku tertutup rapat-rapat dalam tubuh yang tak sekali pun menyisakan ruang untukmu. Kau siapkan satu beranda dengan kursi nyaman tempat kau dan aku menghabisi diri  dengan pengakuan. Tak ada yang mulai merasa, tiba-tiba saja kita menyempatkan satu kisah. Kita saling merapatkan hati dengan lagu-lagu lirih penuh bait-bait syahdu. Harapan itu ada dalam genggaman senyum kita yang malu-malu. Dadamu membisikkan janji,
     “Kita akan tinggal di kota itu. Aku akan membawamu kesana,”
     “Kenapa tidak disini saja?”
Tak ada suara. Hening seperti waktu itu, kebisuan yang sangat ku kenali. Semilir angin membawamu berlalu. Aku masih disini, duduk di beranda dengan gerimis dan kursi kosong tak berkisah. Genta angin mentertawaiku dengan angkuhnya. Aku terdiam, mencelupkan kepalaku yang keras membatu pada akuarium berisi ikan-ikan kecil warna-warni. Kaki-kakiku meraba dasarnya, dan aku mencapainya. Aku tenggelam dalam keheningan dengan suara pelan detak jantungku, satu-satu.
     Di dalam ruangan ini aku sendiri lagi. Hanya ada diriku yang mengeras menjadi batu dengan dua janji dari dua mulut, mulutmu dan mulutnya, janjimu dan janjinya. Ikan-ikan kecil warna-warni ini tak punya gigi, tak bisa menggigit kepalaku yang tiba-tiba mengeras lagi, membatu. Aku karam, membenamkan diri yang terbebani janji dengan kepala penuh mimpi. Mimpimu dan mimpinya, janjinya dan janjimu yang hanya berisi kalian, bukan diriku. Diriku masih sendiri dengan tubuh tercabik-cabik yang sebagian kau bawa dan sebagian lagi di bawanya. Entah kapan akan kalian kembalikan. Atau tidak akan pernah lagi kalian kembalikan? Aku memilih membatu, menempa diriku dengan kerasnya hati dan kepala yang berakhir kedap di dasar akuarium. Melayang-layang tanpa sauh yang menghentikanku dari detak-detik waktu. Terus memilih karam dan diam dari dalam jendela besar dengan mata dan telinga yang berhenti melihat dan mendengar.
Baca Selengkapnya - MEMBATU DENGAN KEPALA DI DALAM AKUARIUM

Jumat, 16 Maret 2012

PEREMPUAN BERWAJAH PUCAT

Aku hanya perempuan,
Berpuluh hari menantimu
Selebihnya ku sembunyikan kecewa
Kau tak pernah ada ; sibuk mendongakkan dagu

Aku tetaplah perempuan,
Mengampuni khianat dalam sekejap
Setelahnya aku tersungkur pada ketakutan
Kau tak ada disini ; masih berlari mengejar diri

Aku masih seorang perempuan,
Menunggu kata cinta dari dalam kelambu
Gagu sesudah persetubuhan di atas ranjang berderit
Kau tak meninggalkan akad ; kemaluan tak harus berjejak

Aku perempuan berwajah pucat,
Menekuri garis-garis hidup pada sebenar-benarnya kesalahan
Tawa dan tangisku tak akan pernah bisa kau baca ; kau yang tak ada
Aku tetaplah perempuan berwajah pucat untuk doa-doa di bawah telapak kaki
Baca Selengkapnya - PEREMPUAN BERWAJAH PUCAT

SATU SEJARAH DI BERANDA

Lembab hening pada sisa gerimis,
Sebaris hijau ruang hati menekuri diri
Ku peluk kemarau dalam sekuntum mantra
"Pucuk-pucuk dusta menghidupkan kita,"

Kulit pohon tua merapal kemuningnya senja
Bangku tempatku menunggu kehilangan pijak
Ku sajikan selaksa karma pada sejarah di beranda
"Gerimis membawamu menjauhi rindu tak berkaki,"

Desau angin lirih bermain dengan pelangi,
Kuntum bunga warna-warni menghapus corak
Tak sebaris pun pelangi lewat di depan beranda
"Kau tak pernah disini, meski sekedar menamaiku Esok,"  

 
Baca Selengkapnya - SATU SEJARAH DI BERANDA

Kamis, 15 Maret 2012

BERBINCANG DENGAN LAUT

Kemarin aku pulang padamu,
Tak mampu membawa kenangan
Tidak juga berani mengemasi mimpi
Sekedar pulang, menyembunyikan kehilangan

Bersimpuh aku padamu,
Berharap lindap dalam buaian tanpa lepas
Bermimpi teduh pada payung plastik dari hujan
Hanya ingin pulang, melupakan usangnya tubuh

Dan kita mulai berbincang,
Tentang diri yang tak ingin ku cabut dari akar
Tentang doa terlupakan yang tak menyebut namaku
Kita berbincang dengan laut, tempat kita tak pernah saling mengenal
Baca Selengkapnya - BERBINCANG DENGAN LAUT

MENIKAM KENANGAN

Ketika kepalamu di pangkuan,
Matamu bercerita tentang rindu
Rindu padanya yang kau tunggu
Aku di luar pagar, membenamkan nyali

Ketika hatimu sampai di sini,
Senyummu hadir bersamanya
Kenangan tentangnya tak berjarak
Aku di dekatmu, di tertawakan pengingkaran

Pada telapak tanganku,
Tak satu pun jejak mereka berbekas
Hanya ada segaris luka baru membiru
Kenanganmu yang kucabuti, memaksaku karam
Baca Selengkapnya - MENIKAM KENANGAN

Selasa, 13 Maret 2012

TIGA CANGKIR KOPI TANPA CERITA

Wangi dupa bermahkota di kepala
Menatah kerak cangkir tanpa hitam
Sendawa raga menemui bekunya pagi
Kita bercanda dalam secangkir kopi dingin

Samudera terbelah pada pelupuk mata
Mengitari rembulan muram tak berkisah
Sebentuk permata basah menggenangi kata
Cangkir kopi kita terlanjur hitam sebelum tujuan

Denyut nadi menyanyikan lagu sumbang
Bola mata warna-warni meningkahi perjalanan
Satu bait terselesaikan tanpa jeda dan pertanda
Akhir secangkir kopi kita tumpah pada belukar tanya

Tiga cangkir kopiku menghadap takdir,
Teraduk panasnya kenyataan tanpa pemanis
Menyeduh kehilangan, membekasi cangkir retak
Telapak tanganku bercerita, aku dan dirimu tak pernah berkisah
Baca Selengkapnya - TIGA CANGKIR KOPI TANPA CERITA

Senin, 12 Maret 2012

BENALU HATI

Malam kusimpan pada mata
Nyala lilin membakar telapak tangan
Dengan tubuh tanpa selembar benang
Aku bercermin pada dinding,

Kau mati bersamaku
Memenggal tubuhku yang terlacurkan
Menghilang dengan punggung kubaca
Adaku adalah bara, menghanguskanmu

Kau datang tanpaku
Menggenggam banyak cerita hening
Merebahkan puluhan lalu lalangnya masa
Aku membatu pada gemuruh kata-kata

Kita benalu di hati,
Hidup dari bisunya kematian
Terbunuh saat jantung menyalak
Merasuki rusuk-rusuk rapuh, noda tanpa suara
Baca Selengkapnya - BENALU HATI

Minggu, 11 Maret 2012

KAMAR BIDUAN MALAM

Kosong,
Hanya ada diriku
Dan berliter-liter airmata
Tempatku menabuh pilu

Dinding-dindingnya menelan penolakan
Terseret kumasuki dengan tubuh goyah
Pilar-pilarnya menusuk hitam jelaga hati
Aku datang untuk bersembunyi, 

Merah gincu di bibirku, merahnya darah
Semalam lagi nyanyianku dibayar kemaluan
Nodanya menyalak tertinggal di sekujur tubuh
Aku biduan, melagukan jengahnya telanjang

Sepi kusembunyikan disini,
Membatukan raga rapuh yang binasa
Kau memiliki sebenarnya diriku disini,
Milik biduan malam yang pulang tanpa nyanyian  
Baca Selengkapnya - KAMAR BIDUAN MALAM

Sabtu, 10 Maret 2012

KUNTUM-KUNTUM KAMBOJA PUTIH DAN NISAN DI KAKIMU

        Musim penghujan kali ini membuat bangku-bangku di taman semakin pucat pasi. Sore begitu lembab, telapak dedaunan basah dengan titik-titik air sisa hujan siang tadi. Mendung masih membuat langit lebam. Aku terpaku disini, di bangku bisu yang dingin, denganmu. Di depan sana permadani hijaunya rerumputan, rindangnya pohon-pohon tua dan bunga warna-warni meningkahi keheningan diantara kita. Kulipatkan tangan di dalam sweater, aku ingin bersembunyi.
     “Dulu dia membuatkan aku secangkir kopi dengan air es,” Suaramu lembut menyelimuti telingaku. “Aku tidak pernah melupakan sore itu dengannya. Tidak sampai detik ini,” Mataku terpejam mengingat sore yang kau bicarakan. Waktu itu kau pulang dari kerja dengan kening berlipat-lipat. Kau ceritakan kejadian tidak menyenangkan di kantor tanpa jeda. Aku tidak terlalu mendengarkan ceritamu. Aku sibuk memperhatikan matamu. Kuambil cangkir kopi yang sedari tadi sudah kusiapkan untukmu. Dan kudorong mulut cangkir pada dispenser tanpa memperhatikan air dingin atau air panas yang kumasukkan pada cangkir kopimu. Sambil menunggu cangkir kopimu terisi air, kuperhatikan terus matamu. Kuaduk kopimu tanpa melepas pandanganku darimu. Dan kusodorkan cangkir kopi itu padamu.
     “Dia perempuan yang paling mencemaskan aku,” Secangkir kopi dengan air es yang tak bisa kau minum itu mengendurkan syaraf-syaraf tegang kita sore itu. Kau menghentikan cerita penatmu dan mentertawakan kopi buatanku. Dan aku baru tersadar, kalau kopi buatanku tak mungkin untuk kau minum. “Aku merindukannya,…” Dari ujung mataku kudapati matamu menatap kosong taman yang dingin dari tempat kita duduk berdampingan. Diantara kita ada batu besar, hitam, keras, tanpa rongga dan dingin. Lenganku menyentuh batu besar itu. Sedikit saja lenganku menyentuhnya, dan hangatku tadi tiba-tiba lenyap. Aku menggigil. Kita terdiam lama sekali. Suara anak-anak yang menendangi perut bumi dengan ramainya di depan kita, tak juga mampu membuat suaramu terdengar lagi. Langit semakin muram, menghitam. Aku terpekur dalam tunduk kepala tanpa doa. Aku ingin memanggilMU. Berharap petir menggelegar, menghantam dan menghancurkan batu besar di sampingku.
     “Setiap hari aku mendoakannya. Dia akan tetap hidup selama aku masih bernafas,” Hatiku gempar. Tubuhku bergetar. Dan sekuntum kamboja putih jatuh perlahan tepat di kakimu. Kamboja putih itu terdiam begitu saja pada kakimu. Rebah dan wanginya membuat penciumanku bangkit. Semerbak wanginya memenuhi segala penjuru di dekatku. Tubuhku makin tergetar, mengguncang bangku pucat tempat kita duduk berdekatan. Dan kau tetap terdiam, tak tergetar sedikit pun. Sore ini, kamboja putih itu luruh lagi di kakimu, pada nisan putih bertuliskan, Bhetari Prangasti, namaku. Ada tetesan airmataku pada empat kelopak kamboja putih yang terdiam di kakimu. Bening menggelembung, berisi jejak langkahku yang membawa seluruh isi hatimu yang tak berwarna merah tapi hitam. Sehitam langit di atas sana, tanpa satu pun kerlip bintang.
     Kata-kata dari mulutku tak pernah berani berlompatan keluar meningkahi sore di taman yang beku ini. Tak sekali pun kubiarkan mulutku terbuka. Biar saja jemariku menjahit hatiku rapat-rapat dengan kaki yang menendangi dadaku keras-keras Disini, di dalam jauhnya mataku, telaga hening itu ku hidupi dengan belukar kering tanpa kantung air agar tak lagi melahirkan cabang-cabang akar baru. Aku lebih senang disini dengan diriku sendiri, taman dan bangku-bangku pucat, luruhan kuntum demi kuntum kamboja dan nisan bisu bertulis namaku yang tertancap di kakimu dan dirimu disamping batu besar. Aku sudah pernah berjalan jauh, meninggalkanmu dengan tubuh tanpa cinta yang terus terjual.
     Setiap sore, sepulang bekerja dengan tubuhmu yang lusuh, langkah kakimu selalu singgah di taman ini. Taman yang tak begitu luas, tidak juga taman yang masyur. Tak ada fasilitas luar biasa di taman ini, taman yang sepi. Sejauh mata memandang hanya ada pohon-pohon besar, rumput hijau, danau mungil, beberapa jenis tanaman bunga, lampu-lampu gantung dan bangku-bangku tua. Hanya itu, tak ada sarana bermain untuk anak-anak, tak ada wifi, tak ada panggung mini tempat anak-anak muda pamer kemampuan bermusiknya di akhir pekan. Mungkin itu yang kau sukai, sepi. Berjam-jam kau habiskan waktumu di bangku yang sama di taman ini. Bangku yang menghadap pada hamparan rumput dan danau kecil di tengah taman. Dengan kemeja kusut, kau hempaskan tubuhmu pada bangku tua yang sama. Berjam-jam kau hanya diam mematung memandangi danau dan hamparan rumput hijau dengan pandangan kosong. Sesekali kau benahi dudukmu yang makin melorot. Sesekali airmatamu menetes.
     Dan setiap sore juga aku selalu ke taman ini. Taman yang selalu kau datangi. Duduk di bangku yang sama dengan bangku yang kau duduki. Dan hamparan rumput hijau juga danau mungil yang sama-sama kita pandangi. Meski gaun warna-warni, make up tebal, bibir merah, wangi parfum semerbak juga gerai rambut ikalku tak membuatku selusuh penampilanmu. Aku selalu kemari sebelum berangkat bekerja. Berjam-jam menemanimu diam disini, seperti sudah menjadi bekal buatku melumat malam dengan tubuh telanjangku. Selalu ada jemarimu yang bergetar pelan, kau hilangkan dengan remasan, ketika kau menceritakan tentangku. Selalu ada guratan tersisa di bawah kelopak matamu setelah selesai kau kenang diriku. Selalu ada airmatamu yang menetes menghangatiku sewaktu keberadaanku tetap ada dalam ucapanmu.
     Karenamu aku masih berani membiarkan jantungku berdetak di saat aku harus menelan kesendirianku hidup di dunia dengan mencari keramaian pada malam-malam biadab. Pada malam yang kupilih untuk membiarkan tubuhku bergumul dengan tubuh-tubuh telanjang para lelaki hidung belang, melacur dan di lacurkan, menjual diri dengan hati yang tak pernah terbeli. Ya, sejak kita tak pernah berani memagut rasa dalam akad di kepala, sejak itu pula diriku hilang. Membiarkanmu terbunuh perkawinan yang harus kau jalani dengan perempuan lain dan memaksakan diriku hidup dari hari ke hari dengan hati yang terus mencari cinta untuk berteduh dengan menjual diri. Laki-laki yang kutemui setelahmu, laki-laki yang kukira mencintaiku, hanya laki-laki yang sedang berlibur pada tubuhku. Begitu juga laki-laki berikutnya dan seterusnya. Aku tak pernah mengerti lagi apa dan bagaimana cinta itu bermula dan berbentuk. Aku terputus. Tak menahu harus kemana, aku hanya tak ingin meninggalkan kota ini. Kota tempatmu bisa kutemui tiap sore.
     “Dia menyukai danau. Aku ingin mati dan di kubur di dekat danau supaya dia bisa selalu melihatku dengan hatinya yang bahagia,” Tiba-tiba suaramu terdengar lagi. “Melihat danau kecil itu tiap sore, seperti selalu berdekatan dengannya,” Airmataku menetes satu persatu. “Aku memang ada di dekatmu…,” Tiap sore aku ada di dekatmu. Tiap sore kita duduk di bangku yang sama. Tiap sore aku melihat tubuhmu yang makin kurus, rambut yang jarang kau rapikan, kemeja lusuh dan semuanya…semua pada dirimu selalu ada di dekatku.
     “Andai saja dia ada disini…aku akan membawanya lari sejauh mungkin. Tak akan lagi ku pedulikan kehidupanku yang sekarang. Aku ingin membahagiakannya. Aku ingin sekali membuatnya bahagia. Aku sangat mencintainya,” Tubuhku tergetar hebat. Aku tak kuasa menghalau airmataku berhenti. Aku tersungkur tanpa daya di kakimu. Tumpah semua emosi dan airmataku, aku mati. Tubuhku tergolek di rerumputan basah, di ziarahi sekuntum kamboja putih yang jatuh lagi dari langit temaram. Aku meraung-raung pada nisan bertulis namaku di antara kedua kakimu. Sejauh itukah jiwaku tergadai pada malam-malam penuh laknat sampai-sampai kau tidak mengenaliku yang selalu di sampingmu tiap sore? Sehina inikah tubuhku terajam dosa hingga kau tak mengenali lagi luka pada jiwaku? Aku memanggil namamu tiap malam ketika kemaluanku terus di ludahi batang-batang keras mereka. Aku ada di dekatmu! Bawalah aku lari…bawa aku pulang padamu, bawa aku! Akan kuhapus make up-ku, akan kubuang warna merah pada bibirku, akan kutelanjangi tubuhku tanpa gaun warna-warni yang menyilaukan. Aku akan berlari bersamamu. Mulai sore ini aku akan menemanimu selamanya.
     Kau berdiri. Menghela nafas panjang pelan-pelan. Memejamkan mata, membawa pulang seluruh isi taman ini, pohon-pohon besar, rumput hijau, danau mungil, bunga-bunga, lampu-lampu gantung dan bangku-bangku tua. Semuanya kau bawa dalam pejam mata beberapa lama dengan hela nafas berat. Semua kau bawa, tapi tidak kau bawa diriku. Perlahan kau berlalu meninggalkanku yang tersungkur dalam urai airmata tanpa henti. Langkah kakimu menjauhiku, kau meninggalkanku lagi. Membiarkanku kaku membeku sendiri, terdiam bersama dua kuntum kamboja putih pada nisan bertulis; Bhetari Prangasti, perempuanku yang hilang.
Baca Selengkapnya - KUNTUM-KUNTUM KAMBOJA PUTIH DAN NISAN DI KAKIMU

Jumat, 09 Maret 2012

TIBA-TIBA MENGINGATMU

Dalam hitam malam
Kita pernah mengikat khianat
Membungkus rindu-rindu usang
Dan menendang langit tanpa kerlip

Pada jalan-jalan tanpa nama,
Kau ceritakan dunia dari dalam jendela
Nelangsa harus di sembunyikan, kita batu!
Hanya ombak dalam hati yang mencipta kita

Kau bakar bara pada jiwa-jiwa menguning
Mencambuk gerak kaki yang hendak surut
Meniupkan roh dengan caci maki penuh doa
Untuk kita, bejana asa itu terus terisi restu

Ketika masa memaksaku mengingatmu,
Ada malam-malam hitam penuh basa-basi
Tak ubahnya perjalanan tanpa mata, tak berarah
Kau...masihkah kau mencoba tersenyum sendiri?
Baca Selengkapnya - TIBA-TIBA MENGINGATMU

Kamis, 08 Maret 2012

MENUNGGU BAPAK DI DALAM BILIK REMANG-REMANG

Hari ini aku menunggumu, Pak
Di dalam bilik remang-remang
Tempatku menjual ketelanjangan
Disini tubuh kaku ku memanggilmu

Kemarin aku juga menantimu
Di bawah gelapnya kolong ranjang
Ketika aku di panggil pelacur oleh ibuku
Airmataku berontak, "Aku bukan pelacur!"

Pada dirinya aku mencarimu, Pak
Merabamu pada tubuhnya yang menindihku
Kusembunyikan mata hampaku pada birahinya
Tubuhku berseru, "Aku memang pelacur,"

Dari dia dan mereka, kucari bapakku
Laki-laki yang mencipta adaku, lalu terbungkam
Laki-laki yang melihatku melacur dengan mulut terkatup
Aku masih disini, Pak...menunggumu datang membawaku pulang
Baca Selengkapnya - MENUNGGU BAPAK DI DALAM BILIK REMANG-REMANG

Rabu, 07 Maret 2012

MENUNGGU KERETA ITU KEMBALI

Sore itu kita berpulang,
Aku menghadap pada jejak beku
Kau berlari mencari mahkota di pangkuan
Kita terburai pada senja tanpa cerita di stasiun tua

Hari ini kita bercermin,
Menanyai rindu di inginkan yang membusuk
Mematuk luruhan keringat dari mimpi-mimpi tak berbentuk
Kau dan aku merebahkan busung dada pada kaki-kaki gemetar

Kereta itu kembali di stasiun senja,
Renta dengan berpuluh hati yang datang dan berlalu
Lapuk menampung semua tawa yang di kalahkan airmata
Dan kita di sini...menunggu kereta tua itu membawa kita kembali
Baca Selengkapnya - MENUNGGU KERETA ITU KEMBALI

Selasa, 06 Maret 2012

MAKA BIARKAN AKU RUBUH

Memintamu ada
Di saat tubuhnya untukku
Sama seperti bicara pada luka
Mengelabui kehangatan dalam tubuh beku

Membiarkannya hadir
Tepat ketika aku merinduimu tiap pagi
Tak jauh berbeda dengan membakar takdir
Berkali ku ingkari, berpuluh kali jiwaku terbeli

Tak lagi mampu hatiku mencaci diri
Hendak memeluk diam pada cermin berisi kalian
Ingin pula berpaling pada jemari kaki yang gemetar
Bilakah semesta memperkenankanku rubuh berkalang kekalahan?
Baca Selengkapnya - MAKA BIARKAN AKU RUBUH

Senin, 05 Maret 2012

SELIMUTI TUBUH TELANJANGKU

Aku mencari diriku
Menelikung langkah malam
Menabrakkan hening dengan bisik
Diriku berserakan, menggigil telanjang

Padamu ku lempar sauh,
Dalam jarak tanpa kata pada ranjang basah
Dinding-dinding bisu menyembunyikanmu
Sendiri ku gapai tubuh telanjangku, malu membeku

Tubuh telanjangku di tertawakan malam
Birahinya tumpah membasahi kehilangan
Tak ada apa pun semenit setelah semua berakhir
Selimuti aku, jauhkan tubuh telanjangku dari hilangnya diriku  
Baca Selengkapnya - SELIMUTI TUBUH TELANJANGKU

Minggu, 04 Maret 2012

TAK PERNAH BERTEMU

Pada hamparan samudera disana,
Hati ini ku ikatkan erat pada kakimu
Berharap bisa terbawa olehmu kemana pun
Dan aku hanya jejak pijak rapuh pada pasir
Berbekas, lalu hilang di gerus anak-anak ombak

Pernah karenamu ku dengar satu lagu,
Tentang isi hati yang terisi penuh denganmu
Kunyanyikan lirih lagu itu dengan doa dalam hati
Dan aku hanya sebait syair lagu yang tak berjudul
Terdengar lirih, lalu sama sekali tak bisa kau dengar

Kita pernah ada untuk ketidakadaan
Ramai dengan kesendirian yang menakuti
Lalu sendiri kau hampiri berisik sebenarnya
Tak satu pun waktu mengingatkanmu kembali
Dan kita tak lagi bertemu, tak sekali pun pernah bertemu
Baca Selengkapnya - TAK PERNAH BERTEMU

Jumat, 02 Maret 2012

PAK...,

Aku disini, Pak
Dengan lelaki tak ku kenal
Dengan perut membuncit
Dengan tubuh penuh noda
Tak menahu kemana arah jaman
Aku anakmu Pak, anak yang menendangi kepalamu

Aku telanjang dengannya,
Sewaktu ku sembunyikan doa-doamu pada kakiku
Ku reguk birahi dengan lelaki itu,
Sewaktu ku patahkan pelukanmu dengan gelinjang nikmat
Pusara kenikmatan itu membakar waktuku
Aku anakmu, anak yang menyayat bola matamu ketika senggama

Punggung rentamu di hadapanku, Pak
Menolak jiwaku dalam rengkuhanmu yang ku inginkan
Bumi menelanmu, tergugu sendiri pada segunung sesal
Haruskah aku meninggalkanmu dalam mati yang ku ukir padamu,
Di saat aku meneriaki hati,
"Bawa aku kembali pada wangi kakimu, tempatku ingin berpulang,"
Baca Selengkapnya - PAK...,