Selasa, 25 September 2012

ANGKA-ANGKA YANG TUMBUH DI ATAS KEPALAKU

Entah sejak kapan persisnya aku memelihara angka-angka itu pada kepalaku. Mungkin sejak angka-angka itu tumbuh begitu saja diatas kepalaku saat rumput-rumput liar diluar sana di basuh embun.
Aku tidak tahu kapan persisnya. Aku enggan menghitung pagi dan malam yang datang tanpa mengetuk pintu, jadi untuk apa aku mengingat waktu, kalau akhirnya aku mulai berdamai dengan angka-angka di atas kepalaku ini.

Aku terlanjur biasa dengan mereka, sampai-sampai pikiran jelek terus menggiring pemikiranku kalau akulah yang mulai mencandui keberadaan angka-angka itu. Tentu saja aku menyangkalnya,
"Angka-angka itu tamu yang tak pernah kuundang,"

Tapi memang sejujurnya, aku mulai mengajak angka-angka itu bicara, membiarkan mereka membaca buku-buku di kamarku dan tak jarang aku membangunkan mereka dari tidur untuk menemaniku berpikir.

Angka-angka itu kerap kucari di ruangan ini, terlebih saat aku tak tahu siapa diriku. Ku korek-korek mereka dari dalam laci, di bawah selimut, kadang juga jauh di bawah kolong ranjang yang gelap. Tak jarang mereka memakiku sewaktu lama mereka lama kuacuhkan dan tiba-tiba kubutuhkan,
"Sudahlah, diamlah dengan dirimu sendiri, kami ini bukan siapa-siapa untukmu," Hatiku terenyuh memunguti kekecewaan mereka, kenapa angka-angka itu seperti diriku?

Tak ada siapa pun yang bisa menerobos masuk ke dalam bilik sempit ruangan ini selain diri dan mauku. Kemarin pernah ada beberapa kilau sinar yang menerobos masuk dengan kurangajar dari bawah pintu, tapi hanya kilau, cepat hilang terbawa purnama yang di makan awan. Selebihnya hanya ada aku dan angka-angka itu disini.

Pernah satu waktu mereka begitu marah padaku, sampai tumpahan airmataku menggantikan musim hujan yang enggan datang. Tapi selama ini aku memang tinggal dengan angka-angka itu, hanya mereka yang mendengar tangis dan kuajak bercanda, jadi angka-angka itu jugalah yang mengambilku dari ceruk di bawah mataku.

Sejak mereka tumbuh di atas kepalaku, sedari aku membiasakan diri dengan mereka, menghidupinya dengan airmata dan menumbuhkan akar-akar mereka dalam hening senyapnya ruangan ini...akulah yang memperkenankan mereka mengenaliku jauh lebih baik dari diriku.

Bukan kilau cahaya yang sesekali datang penuh rayu dalam rajuk syahdu lalu pergi begitu saja tanpa permisi, terus berulang hingga kesekian kali, dan membuatku semakin tidak mengenali diriku,
"Bodoh!"

Aku tertunduk ketika mendengarnya mulai memaki. Begitulah angka-angka itu memulakan mataku terbuka dalam sesal,
"Kalau sudah terbiasa menghitung kami, kenapa masih tidak enggan kau lirik pintu itu?"
"Aku...akuu...,"

Mereka mulai bicara satu sama lain, ada yang berputar kesana kemari, ada yang menempel di dinding kamar, tapi ada juga yang menatapku tak berkedip,
"Mulailah menikmati kami, ruangan ini dan dirimu sendiri. Cahaya-cahaya itu tak punya keinginan untuk mengenalimu, bagaimana bisa kau terus paksakan dirimu untuk membaca mereka? Bodoh!"

Aku belum berani mengangkat dagu, masih sibuk menatap garis-garis pucat pada porselen dibawah telapak kakiku,
"Pergilah kalau kau mau keluar melalui pintu itu,"
"Ya, silahkan pergi, tapi jangan kembali lagi kemari dengan selimut dingin yang kau bentangkan lagi di ruangan ini,"
Hatiku terasa penuh sesak. Sesak sekali.
"Aku hanya ingin menceritakan bagaimana cahaya itu menyinariku pada kalian,"
"Aaahh...apa lagi selain sinar, kebisuan?" Aku terdiam lagi,
"Tidak ada yang lain selain sinar, selebihnya kau hanya akan terus menunggu di luar sana dihujani gerimis dan silau dipanggang panas," "Hanya itu...!"

Angka-angka itu tumbuh, berakar dan menjulang beranak cabang-cabang kecil di atas kepalaku dengan kebenaran yang dulu kerap kuingkari sampai diriku tak mengenali jiwaku. Terus tumbuh dengan rimbun dedaunan yang di bawahnya diriku hidup berlindung dari masa dan musim, yang akhirnya membuatku memaklumi angka-angka itu dalam hidupku.

Tak ada lagi yang kucari, kalau apa yang dulu pernah kutapaki dari cahaya-cahaya itu tetap tak pernah mengubah apa pun di telapak tanganku,
"Ada dan tiadanya cahayamu tetap sama dengan kenal dan tidak tahunya dirimu akan diriku,"

Baca Selengkapnya - ANGKA-ANGKA YANG TUMBUH DI ATAS KEPALAKU

Senin, 17 September 2012

WAJAH BERJARAK DI BAWAH KOLONG RANJANG

Mataku melihatmu, Mak
Datang gontai dalam seringai mengerikan
Buah dada kemana-mana ; mengundang birahi mereka
Tangan menggapai manja, paha kau buka lebar-lebar
Aku tidak tidur, mataku merekam mesummu dari bawah kolong ranjang

Telingaku mendengar semuanya,
Mengenali lenguhmu saat telanjang menelanjangi
Berisik rayu dalam kasak-kusuk memuakkan
Tubuh terjamah memulai senggama, mendesah kurang ajar
Telingaku tidak tuli, aku mendengarmu menertawakan kelahiranku

Dari sini aku membacamu, Mak
Emak yang puting susunya tak pernah kusesap, tapi dihisapi mereka!
Emak yang tubuhnya tak kunjung mengeramiku, tapi telanjang diatas tubuh mereka!
Dari sini aku mencipta jarak, Mak! Di gelapnya kolong ranjang kujauhi selangkanganmu yang menipu keberadaanku
Baca Selengkapnya - WAJAH BERJARAK DI BAWAH KOLONG RANJANG

Minggu, 16 September 2012

NYALI MERAH SI WAJAH DURHAKA

Aku berdarah,
Memerah merah dalam gairah
Berpuluh purnama ditampar amarah
Salah karma padaku untuk tumpahan darah

Gontai nafas memburu mau
Tertiup gema tawa di ruang-ruang bisu
Hanya bara di bawah pusar setia menderu
"Aku budak sekian ranjang, ada dari lelahnya berseru,"

Duhai pemilik denyut nadi,
Adakah nyali 'kan terus kutingkahi
Apakah masih jauh hidupku dari mati
Kalau berpuluh maki melumuri wajah pucatku yang durhaka ini?
Baca Selengkapnya - NYALI MERAH SI WAJAH DURHAKA

GERIMIS DIBAWAH TUMPUKAN BAJU KOTOR

"Jangan benamkam mukamu disana lagi!" Teriakku penuh amarah. Kuremas-remas lap meja yang sedari tadi ada dalam genggamanku, mungkin jantungku masih lebih kusut dari lap meja kumal ini. Kupaksa tubuhku tetap diam ditempatku berdiri sekarang, meski aku tak yakin seberapa lama lagi aku akan tetap diam disini menahan amarah Masih saja dia benam-benamkam mukanya pada tumpukan baju kotor di sudut ruangan dengan begitu semangat;teriakanku percuma.

Tiap kali dia datang dengan lusinan cerita yang dibawanya dari luar rumah, tentang sepasang sepatu merah bertumit tinggi yang berbelanja gincu di seberang rumah, tiap kali pula jantungku berdetak kencang. Apa hebatnya sepatu merah bergincu merah? Kampungan! Seleramu pada warna merah juga sangat aneh, setahuku orang-orang dari jenismu tidak akan tertarik dengan warna merah. Itu menyimpang, dan yakinlah kalau kau punya kelainan!
"Sepasang sepatu itu selalu membeli gincu warna merah tiap dua minggu sekali, Sayang..." Begitu biasanya kau mengawali ceritamu. Lalu kita akan tiba-tiba berjauhan dalam beberapa jarak di sudut berbeda. Kau dengan tumpukan baju kotor di sudut sana, dan aku disini dengan lap kumal di genggaman tangan.
"Sudah, hentikan ceritamu,"
"Ini harus kuceritakan, Sayang,"
"Aku tidak mau mendengarnya!"
"Kau harus mendengarnya, harus.." Dan seperti yang sudah-sudah, kau terus bercerita tentang sepasang sepatu bertumit tinggi yang membeli gincu warna merah tiap dua minggu sekali, dan aku meremas-remas lap kumal ini dengan tubuh terbakar amarah.

Aku tidak pernah ingin membuatmu bisu tuli manakala tiap kali kau bercerita, amarahku membuatmu bungkam. Sudah pernah kutahan untuk membiarkanmu bercerita, hasilnya seluruh pakaian yang melekat di tubuhku basah dengan airmata. Aku tidak suka pakaianku basah, dan kulemparkan begitu saja baju basahku di tempat pakaian kotor di sudut ruangan.

Dan ceritamu yang berhamburan tanpa larangan dariku terhenti seketika saat dengan ujung matamu kau lihat tubuhku telanjang;tak ada apa pun yang kau sisakan ditubuhku dari ceritamu tentang sepasang sepatu bertumit tinggi yang membeli gincu warna merah tiap dua minggu sekali.

Tapi masih saja dia benam-benamkan wajah pada tumpukan pakaian kotor di sudut ruangan setelah tak pernah lagi kudengar cerita dari mulutnya. Aku sudah tidak pernah lagi menangis, tapi dia masuh membenam-benamkan wajahnya disana. Apa yang dicarinya disana?
"Aku kehilanganmu sejak gerimis tidak pernah berhenti di bawah tumpukan baju kotor ini, Sayang...aku mencarimu, mengharapmu kembali..."
Baca Selengkapnya - GERIMIS DIBAWAH TUMPUKAN BAJU KOTOR

Sabtu, 01 September 2012

DIA YANG TERIKAT DI BAWAH DAGUKU

     Wajahnya hidup dari telapak tanganku. Tiap kali kuhitung garis-garis tak berarah di telapak tanganku, tiap itu pula kulihat senyum di bibir merahnya. Seakan-akan dia ingin memenuhi seluruh telapak tanganku dengan keberadaannya, 

"Di bagian ini aku menempatkan setetes embun,"
Embun yang menetes di atas keningnya saat pohon tua itu kau jadikan tempat berlindung dari amarahku yang datang bersama petir membakar hitam matamu. 
Aku menyesal tiap kali kebencian menyeruak tiba-tiba saat begitu lunglainya kau sandarkan lelah dari belakang punggungku. tapi aku terlambat. 

"Kalau disini kuletakkan sepasang sepatu kulitmu, supaya kau tidak lagi bisa mengajak kakimu berlari menjauhi pagar di depan sana," 
Seharusnya aku tidak selalu bodoh dengan meninggalkannya di dalam sana seorang diri setelah kakiku meninggalkan lebam berwarna ungu pada bibir merahnya. Dan aku tergopoh-gopoh berlari menjauhi pagar kayu yang lapuk di makan hujan dan panas, di makan kegilaanku yang entah karena apa. 

     Sebegitu hebatkah diriku hingga bisa merasukinya sampai ke dalam sumsum sampai tak satu pun kebusukanku membuatnya lelah menungguku dengan senyum, tatapan, doa-doa dan bergelas-gelas airmata. 
"Aku sudah terlanjur mematahkan kedua kakiku sejak kau mengikatku di bawah dagumu,"   
Baca Selengkapnya - DIA YANG TERIKAT DI BAWAH DAGUKU