Rabu, 15 Februari 2012

MENGINGATMU DALAM LUKISAN DENGAN MULUT ROBEK

     Dengan pandangan tajam, berpuluh menit kuhabiskan tenagaku untuk memandangimu lagi pagi ini. Seperti biasanya, seperti berpuluh minggu telah berlalu sebelumnya, setiap pagi kuhabiskan waktuku untuk berdiri tegak dengan kaki setengah gemetar. Gigi-gigiku selalu saling mengadu dengan penuh geram tiap kali aku memandangimu. Tapi terus saja ritual ini kulakukan setiap aku terbangun dari tidur dan beranjak hendak membuat secangkir kopi di dapur.
    Kau disana, diam terpaku pada dinding di ruangan kosong tanpa satu pun benda menemanimu. Tak ada sofa tempat dulu pernah kau benamkan dirimu dalam kenikmatan mencaci maki diriku berlama-lama. Tidak ada pisau yang biasa kau gunakan untuk mencabik-cabik jantungku. Tidak juga ada anjing yang menemanimu menggonggong. Tak ada apa pun denganmu sekarang. Kau sendiri, hanya diam memaku tanpa siapa pun menemanimu.
    Kau cantik, bahkan teramat sempurna buatku untuk ukuran perempuan berumur enam puluhan. Matamu indah dengan rerimbun hitam yang melukisi ketegasannya. Sehitam malam terakhirku denganmu. Dari keseluruhan tubuh rentamu, tak satu pun yang bisa mengundang orang lain untuk membicarakan kejelekanmu. Hanya saja, sedari aku mendengar suaramu berpuluh tahun lalu di dalam ruangan tanpa cahaya, aku tak pernah menyukai mulutmu.
   Bahkan sampai saat ini pun, saat kau hanya diam membeku sendiri disana, aku masih juga tidak menyukai mulutmu. Disana mulutmu tidak terkatup rapi, sedikit terbuka tapi tidak tersenyum. Kau masih memanggilku? Matamu begitu memilukan. Sebutir airmata itu tak pernah habis tumpah Hanya sebutir armata yang membeku, tapi entahlah…aku sangat menyukai airmatamu itu. Aku suka melihatmu merintih diantara mati dan perihmu. Aku suka airmatamu!
   Emosiku selalu terbangun tiap ada di hadapanmu. Setengah hatiku karam membentur kakimu yang terus menginjak-injak kepalaku dengan biadab. Tanganku mengepal menggenggam amarah kuat-kuat. Kakiku makin limbung di hadapanmu. Airmataku tak lagi tertahankan, tumpah lagi. Dan aku akan mengakhiri khidmatku di hadapanmu dengan meludahimu diantara airmata dan amarah yang menggunung. Aku membencimu!
**
   “ Untuk siapa kau berdandan seperti itu? Sudah seperti pelacur saja modelmu itu,”
Kuambil bola matamu dengan kedua tanganku. Kucongkel begitu saja, lalu kuremas keras-keras. Memang sedikit kenyal melawan dalam remasan tanganku, tapi ini menyenangkan. Sama menyenangkannya dengan menyayat matamu waktu itu. Kalau kau jijik melihatku, jangan lihat aku!
   “Gantilah bajumu itu! Dadamu keluar kemana-mana, cuma pelacur yang menumpahkan dadanya kemana-mana seperti itu,” Kali ini bola matamu memang tak bisa kuremas sampai hancur. Aku harus menginjak-injaknya. Ya, sepertinya memang lebih bagus begini, kuinjak-injak bola matamu dengan sepatuku. Uuugggh…! Biar runcing hak sepatuku menghancurkan bola matamu. Diam!
Malam ini aku tak bisa lagi di rumah ini. Mataku sudah berat, ingin rasanya tidur menyelimuti tubuh dan hatiku yang menggigil. Tapi memang lebih baik cepat-cepat kutinggalkan rumah ini. Lelah sudah mataku memeras airmata.
   Kukemasi selimut tebalku, sinar rembulan, semilir angin dan gelap gulitanya hatiku. Kuperiksa lagi dandananku di depan cermin. Bengkak mataku sudah tersamar dengan make up, syukurlah…berhasil lagi aku mengelabui diriku malam ini. Matamu sudah tak ada, tapi mulutmu tetap saja komat-kamit. Beruntungnya diriku karenan sudah memasukkan bongkahan batu ke dalam telingaku, jadi tak bisa lagi kudengar ocehanmu dengan wajah tanpa mata.
***
   Hah, berat sekali kepalaku. Semalam yang kurangajar. Kau menungguku pulang dengan wajah membeku dan serapah tanpa ampun yang memaksaku pingsan di depan teman laki-lakiku. Ya, teman laki-laki yang baru kukenal. Teman laki-laki yang tidak tahu siapa dan bagaimana diriku, yang hanya menemaniku duduk menghabiskan beberapa cangkir kopi dengan berpuluh batang rokok di café itu semalam. Laki-laki sopan itu hanya getol bercerita tentang kehadirannya di kotaku untuk urusan dinas dan sedang membunuh malam di café seorang diri, lalu menemukan aku yang sendiri melepaskan lamunan diantara temaramnya malam.
   Aku lupa namanya, mungkin Dharma, entahlah…Aku paling susah mengingat nama, terlebih waktu itu kupikir percakapan dengannya tidak akan berlangsung lama. Melihatnya pun hanya sesekali kucuri dari ekor mataku tiap kali kau panggil namaku.
   “Nay, kau dengar apa yang kuceritakan barusan?” Aku diam. Mataku masih menikmati asap rokok kami yang beradu menghiasi gelap.
   “Nay, maaf…apa aku terlalu banyak bicara ya? Mm…kalau begitu, ganti kau saja yang bercerita,”  Kau diam. Kami diam. Lalu kau mulai lagi pembicaraan seorang diri. Sesekali mulutmu tertutup. Sesekali juga kau minum kopimu. Aku mendengarnya, tapi aku memang sedang tidak ingin bicara apa pun.
Malam pun hendak habis. Dia pasti sudah tidur. Aku ingin pulang. Aku memanggil pelayan hendak meminta bill. Dan klasik, kau membayar tagihanku dengan senyum setelah aku memaksa membayarnya sendiri. Lalu aku berdiri, hendak berlalu.
   “Terimakasih,” Ucapku
   “Akhirnya bisa juga kudengar suaramu lagi, Nay,” Aku tersenyum sekenanya. Mulai melangkah meninggalkannya. Berat sekali rasanya kepalaku, hah…! Pusing kepalaku kambuh lagi. Jangan sekarang, please…Dan aku ambruk begitu saja.
****
   “Akhirnya aku bisa membuktikan kalau selama ini dia memang melacur,”
   “Naluriku memang tidak pernah salah. Dia kotor seperti yang sudah kuduga selama ini,” Mulutmu terus mengeluarkan bisa. Terus muntah tanpa jeda, sampai tak bisa kau perhatikan dengan matamu bagaimana laki-laki itu merapatkan alisnya karena tercengang dengan semua serapahmu.
   “Maaf Ibu, Nay tidak seperti itu. Saya baru mengenalnya tadi di café, dan kami tidak melakukan apa-apa, hanya ngobrol saja. Nay juga tidak…,” Laki-laki itu mencoba menggunting serapahmu. Tapi sudah bisa kuduga, kau terus saja mengubur laki-laki itu dengan mulut busukmu.
   “Bagaimana tidak, perempuan dengan dandanan seronok seperti itu, pulang menjelang pagi dengan laki-laki yang baru dikenalnya di café, hah…!” Terus menerus kau muntahi laki-laki yang tidak tahu apa-apa tentangku itu dengan semua sejarah hidupku yang kau ciptakan sendiri. Tidak, tentu saja aku bungkam dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku anakmu. Tabu untukku melawanmu. Aku diam, tak berani memandang laki-laki itu. Hanya airmata yang tiba-tba dan lagi-lagi menetes satu-satu. Laki-laki itu mencoba menjelaskan keadaan sesungguhnya padamu, bagaimana aku pingsan ketika hendak pulang dan akhirnya mengantarku pulang berbekal alamat yang ada di kartu nama dalam dompetku. Tapi tetap saja kau hujankan semua kata-kata kotormu sampai aku tak kuasa lagi berdiri mematung di hadapanmu. Dan aku ambruk lagi.
*****
   Aku disini, sibuk menempelkan mulut kotormu pada kanvas. Menimbunmu dengan bermacam warna cat minyak.Menguburmu dengan airmataku yang bercampur dengan warna-warni pewarna lukisanku. Mulutmu terus mengucurkan darah segar, merahnya begitu indah. Mulutmu tidak lagi komat-kamit., hanya sedikit terbuka, tapi tidak sedang tersenyum. Tidak ada lagi kata-kata kotormu yang sampai pada telingaku. Mulutmu saja yang sekarang kusimpan sebagai kenang-kenangan dan mainan baruku.
   Hampir tiap aku muak mengingatmu, kuturunkan lagi lukisanmu. Kutambahkan lagi pewarna disana. Dan masih saja airmataku menetes tiap kali ingatanku padamu menyakitiku. Aku tidak pernah melacur, tak sekali pun kujual tubuhku pada siapa pun. Tidak sampai pada malam itu. Ya, malam itu…malam aku diperkosa laki-laki peliharaanmu yang teracuni mulut kotormu. Laki-laki yang selalu tertawa genit di dalam kamarmu tiap kali mendengar ceritamu tentangku. Tentang anak semata wayangmu yang terus kau kotori dengan cerita-ceritamu. Anak yang kau lahirkan dari rahim kotormu yang membuatku ada tanpa nama bapak. Anakmu yang diperkosa laki-laki peliharaanmu karena aku pelacur yang menjual kemaluannya seperti ceritamu pada laki-laki kurang ajar itu.
   Aku mencintaimu Ibu. Hanya kau yang kumiliki di dunia ini, hanya kau. Dan hanya kau seorang yang membenciku dengan sekujur tubuhmu dari pagi hingga petang. Aku anakmu! Aku anak yang sedari terlahir tidak pernah merasakan putting susumu. Anak yang tidak pernah kau peluk dengan penuh cinta. Aku anak yang terus menerus kau benci sampai bencimu memaksaku menguburmu dengan amarahku. Aku harus membuatmu diam. AKu tak kuat lagi. Tak ada lagi dayaku untuk menggapai kasih sayangmu. Aku tak lagi mampu menikmati mulut kotormu yang pernah membuat kemaluanku dikoyak paksa laki-lakimu. Tak bisa! Aku tak bisa lagi mengharapmu menjadi ibuku ketika dengan sakit luar biasa janin dalam rahimku kupaksa keluar.
   Kau lebih indah disana, pada lukisan buatanku. Lukisan dengan mulutmu yang robek, mulut yang sedikit terbuka, tapi tidak sedang tersenyum, mulut yang merintih. Kau tetap di dekatku, di dalam rumah kita, mematung pada dinding beku. Sesekali aku mengingatmu dari lukisan dengan mulut robekmu. Tak ada ingatan indah, semuanya hanya luka. Jadi biarkan aku meludahi lukisanmu ketika amarahku benar-benar memuncak, dan membuatku pingsan lagi.
******
  
     
    
    

6 komentar:

  1. yup, komen panjangnya di fb.. memang pekat sekali emosi di cermin ini.. salam mbak

    BalasHapus
  2. @ BangRe Kemal : Terimakasih sekali sudah menyempatkan mampir kemari bang, terimakasih apresiasinya.

    BalasHapus
  3. Mama medmangg cerewetttt!
    salamm kakakk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ho-oh...tapi jangan sampe' dirobek mulutnya.
      Thanks udah kemari ya dhek, ajarin kakakmu neh dhek.

      Hapus
  4. Tumben : airmata, karenan, kurangajar, disini, putting, disana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, akhirnya matamu kemari juga.
      Aku butuh matamu!
      Thanks udah meninggalkan matamu di sini.

      Hapus

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"