Minggu, 20 Januari 2013

TENTANG MEJA NAKAS DI SAMPING RANJANG

Satu bungkus rokok, korek api, asbak, tissue, cottonbud, charger, karet rambut, obat-obatan, lampu baca, kamu, kamu...kamu,
"Aaahhh, tak cukup!"
Aku perlu satu meja nakas lagi di sisi kanan ranjang, satu lagi. Meja nakas di kiri ranjang terlalu penuh dengan kenangan, terlalu sesak untuk meletakkanmu lagi disana. Nyaris tiap hari kuletakkan kamu disana, di sekitar benda-benda yang tiap hari kugunakan. Rokok paling sering bertemu bibirku, mengajakku melamunkanmu berlama-lama. Sedangkan kamu hanya diam disana, tanpa ekspresi, diam menutup mulut. Kejamnya lagi, tak ada yang mampu membuatmu menyentuhku, memelukku. Saat aku mengajakmu bicara diantara asap rokok yang menjadikan kamarku mendung,
“Disana burung-burung Sriti berangkat sejak pagi. Apakah kamu pernah memperhatikan apa yang dilakukannya sepagi itu?” diam. Tak satu pun suara keluar dari mulutmu, kau masih sibuk memasukkan benda-benda itu ke dadamu; buku-buku usang yang dulu habis kau bacakan untuknya, peta-peta jalanan yang kau datangi dengan suka cita untuknya, semangkuk penuh sambal pedas buatannya dan semua yang lain.
Dan aku harus meletakkanmu disana, pada meja nakas di samping kanan ranjang. Penuh. Sampai-sampai lampu bacaku nyaris jatuh tiap kali kutambahkan kamu padanya. Kasihan meja nakas itu, sekian lama diam disana tak pernah berontak, terus terdiam menampung semua benda-benda yang kutambahkan padanya. Meja nakas itu hanya terbuat dari helai-helai rotan yang dijalin rapi oleh pengrajinnya, dipulas cat putih dan kuseimuti dengan taplak meja dari batik berwarna hijau. Sudah sekian lama meja nakas itu berdampingan dengan ranjangku, sejak aku belum berkenalan dengan cinta, sejak diatasnya tak pernah ada benda-benda selain yang kuperlukan.

Bunga-bunga kertas bermekaran di halaman, dari jendela kamar aku menikmati warna-warna terangnya dengan secangkir kopi panas. Sepagi ini pikiranku sudah begitu ramai dengan toko perabot di simpang tiga. Aku ingin mencari satu meja nakas disana. Tapi hatiku betul-betul ingin mendatangi tempat pengrajin rotan di pinggiran kota, tempat dulu aku membeli meja nakas rotan tuaku itu. Aku ragu kalau di tempat itu masih ada meja nakas serupa dengan yang kumiliki sekarang, tapi aku ingin meja nakas yang sama.
“Aku sudah menjelaskan seperti apa sebenarnya hubungan kita,” begitu katamu semalam. Suaramu mengganggu keasyikanku membaca novel lama yang berkali-kali kubaca. Sejenak aku melirikmu. Kau duduk di atas meja nakas dengan sebatang rokok kretek dengan mata kosong, entah menolak untuk melihat apa. Kulanjutkan melahap kata-kata dari halaman-halaman kertas yang mulai menguning, menunggu kalimat selanjutnya dari mulutmu.
“Cinta saja tidak cukup untukmu,” ini benar-benar menggangguku.
“Ingatkah kau waktu aku pergi sekian lama hari itu darimu? Saat aku mengumpulkan diriku yang terpendar dalam waktu yang semakin mencekik leherku dengan ini itu yang harus kupenuhi, segunung rinduku kusimpan rapat-rapat di dada,” tentu saja aku ingat betul sebulan penuh siksaan itu. Sekian hari tanpa khabar, seperti seketika menjanda tanpa talak. Teman-temanku bertanya tentang keberdaanmu setelah jengah aku menanyakan keberadaanmu pada diriku sendiri yang tidak pernah mampu menjawabnya sendiri. Hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan dari kebiasaan anehmu yang belum juga bisa kuterima setelah sekian tahun menjadi orang yang kau cintai.
Berkali-kali kau pergi tanpa khabar, menghilang begitu saja. Merampas semua jejak-jejak kaki yang kusimpan rapi untuk menghangatkan rasa. Terguyur derasnya hujan, tertimbun kerikil-kerikil yang dibawa angin di musim kemarau, lalu benar-benar tak berbekas. Dan sekarang kau mulai lagi kalimat yang sama persis dengan pembelaan dirimu saat tiba-tiba datang lagi mengajakku membakar cinta. Cinta yang entah seperti apa rasanya kalau harus terus ku benturkan dengan keheningan tanpa jawab. Kututup novel di tangan, kubuang nafas dan kumatikan lampu baca di atas meja nakas. Gelap. Aku tak ingin melihatmu yang masih masyuk dengan rokok kretek dan pandangan matamu yang menolak melihatku; memilih melihat entah.

“Meja nakas yang model seperti ini sudah tidak kami buat lagi, Non...,” begitu kata pengrajin rotan yang kukejar dengan pertanyaan sambil menunjukkan photo meja nakas rotan milikku dari layar handphone. Perkiraanku tidak meleset. Musim saja berganti dua kali dalam setahun, apalagi hanya untuk sebuah meja nakas yang tiap tahun akan terbuang modelnya dengan model-model baru yang sedang diminati. Pengrajin itu sibuk menunjukkan beberapa model baru meja nakas yang sedang laris di showroomnya, aku sibuk mengingkari diri. Aku membutuhkan meja nakas itu. Sekali lagi, aku masih belum tega untuk membiarkan meja nakas yang lama di samping kanan ranjangku menampungmu untuk waktu yang lebih lama lagi. Membiarkanmu diatasnya berlama-lama dengan keadaan yang masih sama persis dengan kemarin-kemarin. Meja nakas itu sudah terlalu tua kalau harus di sesaki lagi dengan ketidaktahuanmu atas diriku. Waktu tidak menjamin cintamu untuk tetap bisa bertahan di atasnya setelah banyak ketidakhadiranmu disini,
“Aku merindukanmu,” aku tak tahan untuk menelponmu. Aku mengering.
“Berisik sekali kota ini, dimana-mana orang berteriak. Aku muak!” baiklah, akan kusimpan rinduku di atas meja nakas.
“Kalau kau bisa lihat kota ini sekarang, kau pasti juga akan memaki kota ini. Panas, kotor, debu, aaahhh....!” ya, akan kusimpan saja rindu ini di atas meja nakas, mungkin nanti kita punya waktu yang lebih nyaman untuk menghapus rinduku dengan segunung cintamu sewaktu kau pulang.
Nanti..., mungkin nanti itu tidak akan terlalu lama, tidak harus menunggu lagi musim berganti. Akar-akar di hatiku mulai retas, kering dimakan panas, enggan tumbuh. Tapi aku masih menunggu hari membawamu pulang menanyakan rinduku dan membayarnya dengan kerinduanmu yang setimpal untuk menghidupi akar-akarku lagi.
“Saya pesan saja yang model seperti ini, bang. Saya tidak suka model yang lain. Boleh khan?”
“Hhhmmm...baiklah Non, tapi agak lama dan agak mahal ya?” begitulah, banyak yang harus kupertimbangkan hanya untuk sebuah meja nakas. Aku tidak suka model yang lain karena aku masih belum bisa menyukai laki-laki lain selain dirimu.
Dan aku sudah terlanjur setia pada firasat-firasat buruk yang terus berteriak ketika hatiku tak juga mau bergerak untuk membuangmu jauh-jauh dariku. Aku masih memberimu ruang; sebuah meja nakas model lama, meja nakas yang kupersiapkan untuk menampung semua pertanyaan-pertanyaanku yang mungkin kelak akan terjawab dengan kehadiranmu di suatu waktu.

“Ada yang hilang tiap kali aku pulang...,” kau mulai percakapan dari atas meja nakas yang baru seminggu ini kuletakkan di samping kiri ranjang. Masih dengan mata yang tidak memandangku karena kau sibuk mengeluarkan barang-barang bawaanmu dari tas ransel tuamu.
“Tidak ada lagi secangkir kopi panas untukku,” memang tidak ada, karena kulihat banyak juga yang berubah dari gerak tubuhmu yang semakin asing kukenali. Bisa saja kau sudah tidak suka kopi panas buatanku setelah sekian musim sibuk kesana kemari dengan dirimu sendiri.
Berkacalah..., kau akan mendapati dirimu sudah berbeda. Rambut ikalmu yang dulu sering kumainkan dengan jari-jari tanganku ketika kita duduk berdampingan dengan obrolan-obrolan panjang sudah kau pangkas habis, tidak lagi ikal, tak ada sehelai rambut pun disana. Kemeja katun yang dulu membuat tubuhmu nyaman berlama-lama dalam pelukanku sudah kau ganti dengan kaos oblong warna hitam yang gambar-gambar di bagian dadanya tak kukenali. Aroma tubuhmu juga berubah. Caramu berbicara, tatapan matamu yang tidak lagi tertarik denganku. Apakah harus tiap kali kau pulang, kukumpulkan lagi hal-hal baru darimu untuk kubaca agar akar-akar di hatiku bisa kembali mencengkram tanah basah di halaman rumah yang dulu kita tanami dengan banyak mau dan mimpi untuk bersama?
“Seperti ada jarak yang kau bentangkan begitu saja untukku?” tentu saja. Sejak diriku kesulitan untuk memberitakan khabarku padamu, yang terus berbalas dengan puluhan kalimat hanya tentang dirimu nun jauh disana. Aku merasa terbuang pada hari kau melupakan siapa diriku.Diriku yang sekian lama kau tinggalkan, tapi tidak pernah bisa membuatmu haus akan keberadaanku.
Dan akhirnya aku terbiasa membuang kekecewaan karenamu pada meja nakas di samping ranjang. Membiarkanmu tergeletak disana dengan benda-benda yang sering membuatku rindu dan menyambutku dengan rindu yang sama. Cottonbud itu ada di atas meja nakas, ketika aku ingin menggunakannya, beberapa batangnya selalu ada untuk kuambil. Lampu baca itu juga terus ada disana, tidak kemana-kemana ketika aku memerlukannya sewaktu gelapnya malam membuat rinduku padamu menakutiku. Seperti hari ini, aku kembali membuang kecewaku karenamu pada meja nakas di samping kiri ranjangku. Saat harapanku untuk mendapatkan jawaban-jawaban dari mulutmu atas semua pertanyaan-pertanyaanku kemarin tidak juga membuatmu panjang lebar menjelaskan.
“Aku masih mencintaimu, tapi....,” entah, apakah kita masih satu pikiran untuk meneriakkan cinta setelah sekian jeda begitu bisa membuat jarak diantara kita.
“Kita sudahi saja hubungan ini...,” kau selalu bisa membuatku ketakutan. Meski ketakutan ini terbaca begitu jelas sedari banyak benda-benda asing di tubuhmu membuatku ragu padamu. Ya, sejak kita sama-sama mengering di musim derasnya hujan dimuntahkan langit, sejak itulah sebenarnya masing-masing kita mencipta jarak. Sama-sama kembali pada garis aman pada sekian jengkal jeda untuk melindungi hati dari sakit yang pada akhirnya sangat jelas terasa.

Kembang-kembang kertas di halaman depan bermekaran lagi, menghormati gerimis yang datang menghidupi akarnya setelah kemarau membuat mereka muram. Tapi musim penghujan pasti akan datang dengan mendung di langit yang abu-abu, dengan titik-titik bening air yang mengguyur, dengan dingin yang sama. Pasti datang, dengan hal-hal yang sama. Selalu ditunggu kembang-kembang kertas meski lama, karena penghujan datang dengan bentuk yang tidak pernah berubah untuk dijamu akar-akar baru kembang-kembang kertas untuk mekar.
Dan aku disini, berdiri tegak menikmati gerimis di luaran dengan hati yang lapang, dalam senyum mengembang. Meja nakas di samping kanan ranjangku tidak lagi penuh dengan dirimu. Begitu juga meja nakas di samping kiri ranjangku, lapang, tak ada dirimu di atasnya. Aku sudah tidak lagi memperbolehkan diriku untuk mengingatmu, bahkan untuk serpihan kenangan yang hambar. Tidak perlu lagi ada banyak tanya di atas meja nakasku.
Mungkin aku tidak seberuntung kembang-kembang kertas di halaman yang sedang memagut rindu dengan hujan yang jatuh, tapi aku bahagia. Ada ruang lapang disini, di dalam hatiku, tempat nanti kutumbuhkan hidup dengan diriku yang kembali. Kembali pada hakikatnya manusia, menunggu pelengkap hati datang dalam hati yang sembuh dari luka. Mempersilahkan meja nakas di samping ranjangku libur panjang dari banyaknya beban yang kemarin kutimpakan pada mereka.
“Kita pernah hidup untuk rasa yang seharusnya tidak terbantah,” dari hal-hal kecil yang terus di diamkan; diperkenankan mencipta hening, risau dan ketakutan tanpa jawab. Bukan karena tidak mau menjawab, hanya jengah berusaha untuk menjawab karena kau dan aku tidak lagi menghuni jalan-jalan lurus di depan sana dengan “kita.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"