Kamis, 31 Januari 2013

TUNJUKKAN SATU SAJA TEMPAT UNTUKKU BERTEDUH

Biar kuajak ketakutanku kesana,
ke tempat yang padanya legaku melarung lelah dan keterasingan tanpa dihitungi angkuhnya detik-detik waktu. Tak ada apa pun yang akan kubawa, tidak juga selembar pakaian. Sudah sekian lama tak ada pakaian yang mau menempel pada tubuhku, sejak merasakan serat-serat kain pun menjadi hal yang membuat masa laluku dimaki gatal, ruam, merah...dan perih di sekujur tubuh. Biar saja aku menghampirimu dengan tubuh telanjang, telanjang dilolosi nyali. Tidak juga kubawa senandung lirih lagu-lagu rindu yang dulu biasa kudendangkan pada lembabnya pagi di halaman belakang. Biar saja mulutku bungkam tanpa satu huruf pun bisa kubunyikan. Diam dalam gagu.

Hanya dengan kedua kaki tua ini aku menuju padamu,
kedua kaki yang kemarin sibuk kesana kemari mencari nama yang bisa kutuliskan di belakang namaku. Perkenankan di sisa langkah kaki terakhir ini aku pulang dalam kerinduan yang teramat panjang. Biarkan dua kaki ini melangkah, menggapai tempatmu untuk segera berteduh dan usai. Seperti ulat bulu yang menunggu menjadi kepompong dan ditakuti musim sampai akhirnya bisa terbang ke nirwana dalam warnanya yang entah apa. Seperti butir biji-biji sawi yang terbuang di tanah baru, merajuk pada liat tanah dan cacing, lalu tumbuh dan menghijau. Tunjukkan saja arahnya.
"Disana mereka bertarung memperebutkan mahkota," mulutnya mencumbu angkasa.
"Bintang-bintang itu ada di sekujur tubuhnya, semua berkilauan!" matanya berbinar.
Leherku menengok kesana kemari, mengikuti pembicaraan mereka. Kesana kemari lagi, memperhatikan bagaimana mahkota itu diperebutkan. Dengan bibir terkatup menikmati bias kilau bintang-bintang yang menerpa tubuhnya.Sorak sorai puja-puji begitu riuh memenuhi masa. Aku tersenyum. Tapi senyum untuk apa? Untuk siapa?

Aku pulang ke tempat biasanya aku pulang. Membawa nyeri di dada dan hening yang serupa dengan sepi yang sekian lama tinggal bersamaku. Mataku tak lagi mencarimu. Tidak seperti sekian tahun yang lalu, setiap pulang aku mencarimu. Berlarian dari pintu depan hingga ke halaman belakag, berharap menangkap keberadaanmu.Dulu..., sekarang tidak lagi. Kejenuhan mencarimu semakin memuncak sejak dirimu tak pernah ada untukku, untuk lukaku yang terus menganga. Sampai semua mulai terbiasa tanpamu.
Hujan yang rintiknya masuk begitu saja di dalam rumah, membasahi semua kenangan. Hanyut terbawa genangan berliter-liter airnya yang mengalir, mengambil dan membawamu entah kemana dan sejak kapan. Hilang, tapi seperti tidak benar-benar tidak ada.
"Sejarah itu kususun satu-satu disini, Sayang...agar segera menjulang menyentuh atap rumah," lambat laun suaramu tidak bernada, seperti angin saja, wuuuss....lalu sepi lagi. Selalu seperti itu. Tak lagi pernah matamu menatapku sekedar untuk berujar,
"Rambut panjangmu sudah sampai pinggang," ya, lebih tepatnya sudah sepanjang pinggang lagi, dan ini sudah yang ketiga kalinya ujung-ujung rambutku menyentuh pinggang setelah beberapa kali aku mengguntingnya. Ke sekian kalinya sejak banyak hal datang dan pergi tanpa bisa mengajak matamu memandangku. Terlebih luka dan kesunyian, tak mungkin lagi menarik perhatianmu.

Kemana arah yang harus kutuju untuk bisa berteduh dan usai...?
Aku ingin segera berada disana, diam mengatur nafas terakhir dengan butir-butir air mata yang kemarin tidak pernah lagi kuperkenankan menetes. Aku hanya ingin terdiam disana, mendengarkanmu bernafas di samping telingaku. Menemaniku memandang malam yang datang dengan syahdu dengan bintang-bintang berkilat menyapa kening. Menikmati alam raya yang memaklumi ketelanjangan dan kelelahanku saat datang berteduh, lalu sama-sama bersenandung dalam nafas satu-satu yang mengajak tersenyum. Tunjukkan saja arahnya, biar kubawakan kesederhanaan padanya dalam tubuh yang tak sanggup menyandang apa pun, selain lirih harapan...
"Aku pulang untuk berteduh, tak hendak beranjak. Hanya ingin selamanya disini dengan hening dan sepi yang menyelimutiku seorang diri, tanpa siapa pun. Tidak juga dirimu dan mereka yang kian merentang jarak untuk diri yang kelelahan menadah jenuh,",

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"