Jumat, 11 Januari 2013

TAWA DI SIANG HARI DAN SEKARUNG BATU-BATU KERAS

Sudah pernah kuceritakan pada kaki-kaki mereka yang riang berlibur ke tempat-tempat yang (katanya) membuat suka,
"Di bawah kaki bukit itu, pagi mengawali senyum di bibir yang semalaman mendewakan rindu...,"

Seperti kaki-kakimu yang selalu gegap gempita mempelajari arah langkah penari-penari berwajah ayu, juga sempat kutitipkan sekarung batu-batu keras yang kemarin rontok begitu saja dari helai-helai rambutku,
"Di bawah kaki bukit itu ada rumah tua dari kayu yang tak kunjung roboh diguncang angin kencang di musim tak sabarnya waktu berganti kulit,"

Dan terus kuhibur kaki-kaki yang menancap dalam pada lembut tanah di belantara sepi; tak juga mau pergi mencari pesta suka citanya tawa-tawa riang, seperti kebanyakan mereka.
"Sejak dulu keramaian selalu membuat telingaku pekak, dada lembab dan lihatlah...," aku hanya tak pernah mau tertawa di siang hari dan memasukkan kepalaku ke dalam seember penuh keheningan yang menderas dari kedua mataku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"