Sabtu, 17 Maret 2012

MEMBATU DENGAN KEPALA DI DALAM AKUARIUM

     “Aku akan datang padamu,”
     “Kapan?”
Hening. Aku bercermin di tengah malam dengan tubuh tanpa muka. Bibirku yang tertinggal pada pagi membungkusku rapat-rapat, kedap. Angin malam menggerayangi hatiku. Lupa ku tutup jendela dengan cerita serupa dari berpuluh kisah lalu. Janjimu membuatku bermimpi, mimpi panjang yang indah, penuh dengan pengharapan. Aku akan ada di dekatmu, mencium aroma tubuhmu, meremas gemas jemari-jemari tanganmu dan menganyam senyum pada luas dadamu. Kelak kau akan mengakhiri lamanya penantianku setelah sore itu memisahkan kita di stasiun kereta.
     Sore beberapa tahun lalu, sore tanpa setitik pun airmata yang seharusnya menetes dari kedua mataku. Tak ada apa-apa di antara kita sore itu, hanya ada sejengkal jarak dalam tubuh gemetar dan kepalaku yang berubah jadi batu, keras, legam dan sekotak akuarium bening penuh dengan ikan-ikan kecil warna-warni. Kepalaku berenang di dalamnya, makin dalam dan karam. Diammu menenggelamkanku pada dasar akuarium yang begitu mudahnya teraba kakiku. Sekali lagi kita terpisah, entah sampai kapan. Rasanya masih sama dengan perpisahan yang sudah-sudah, bisu dan tenang dalam keheningan yang bening.
     “Setelah posisi itu kudapatkan lagi, kita akan bersama lagi. Secepatnya,” Laju datangnya keretaku menelan habis suaramu, janjimu. Saatnya aku berangkat, dikembalikan pada tempat yang lama kutinggalkan untuk menemani sedu sedan sepimu beberapa waktu lalu. Kau tidak lagi rapuh dan hancur. Dadamu tegak menjulang menelan semua mimpi-mimpimu. Mimpimu, bukan mimpi-mimpi tentang kita, bukan juga mimpi-mimpimu tentangku. Aku bersiap untuk berlalu, menjauhi dirimu yang mengulas senyum pada panggung opera sabun yang sedang kau mainkan seorang diri dengan kedigdayaanmu.
     Dan aku kembali pada tempatku berasal. Dalam sebuah ruang dengan jendela besar yang tiap pagi menyajikan hutan kecil di depan mataku. Ada diriku disana, menyesap basah lembabnya embun pagi yang menghapus sisa lukisan-lukisan semalam pada pelupuk mata. Tiap kali kubiarkan tubuhku berlarian menghabiskan jarak demi jarak tanpa hitungan waktu dengan memagut wanginya bunga-bunga kopi di musim mekar dengan jemari tengadah meminta aromanya singgah di hati. Sesekali, di luar jendela, aku mempersilahkan pagi yang tak biasa datang dengan cerita baru tentang dia. Dia yang retak terkoyak waktu, terluka karena langkah kaki dicambuk kekecewaan. Dan aku membalut lukanya dengan sebagian diriku yang terhibur dengan ratusan pagi tanpamu. Hanya dengan cerita burung-burung dan warna-warni bunga di halaman lukanya tertutup rapat. Langkah kakinya sudah mampu membuat jejak-jejak tak dalam di hutan kecilku. Dan aku menghapusnya perlahan.
     Mulutmu terbuka dan tertutup mengisahkan cerita lalumu. Telingaku tertutup rapat-rapat dalam tubuh yang tak sekali pun menyisakan ruang untukmu. Kau siapkan satu beranda dengan kursi nyaman tempat kau dan aku menghabisi diri  dengan pengakuan. Tak ada yang mulai merasa, tiba-tiba saja kita menyempatkan satu kisah. Kita saling merapatkan hati dengan lagu-lagu lirih penuh bait-bait syahdu. Harapan itu ada dalam genggaman senyum kita yang malu-malu. Dadamu membisikkan janji,
     “Kita akan tinggal di kota itu. Aku akan membawamu kesana,”
     “Kenapa tidak disini saja?”
Tak ada suara. Hening seperti waktu itu, kebisuan yang sangat ku kenali. Semilir angin membawamu berlalu. Aku masih disini, duduk di beranda dengan gerimis dan kursi kosong tak berkisah. Genta angin mentertawaiku dengan angkuhnya. Aku terdiam, mencelupkan kepalaku yang keras membatu pada akuarium berisi ikan-ikan kecil warna-warni. Kaki-kakiku meraba dasarnya, dan aku mencapainya. Aku tenggelam dalam keheningan dengan suara pelan detak jantungku, satu-satu.
     Di dalam ruangan ini aku sendiri lagi. Hanya ada diriku yang mengeras menjadi batu dengan dua janji dari dua mulut, mulutmu dan mulutnya, janjimu dan janjinya. Ikan-ikan kecil warna-warni ini tak punya gigi, tak bisa menggigit kepalaku yang tiba-tiba mengeras lagi, membatu. Aku karam, membenamkan diri yang terbebani janji dengan kepala penuh mimpi. Mimpimu dan mimpinya, janjinya dan janjimu yang hanya berisi kalian, bukan diriku. Diriku masih sendiri dengan tubuh tercabik-cabik yang sebagian kau bawa dan sebagian lagi di bawanya. Entah kapan akan kalian kembalikan. Atau tidak akan pernah lagi kalian kembalikan? Aku memilih membatu, menempa diriku dengan kerasnya hati dan kepala yang berakhir kedap di dasar akuarium. Melayang-layang tanpa sauh yang menghentikanku dari detak-detik waktu. Terus memilih karam dan diam dari dalam jendela besar dengan mata dan telinga yang berhenti melihat dan mendengar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"