Kamis, 29 Maret 2012

WAJAH-WAJAH PADA HALAMAN-HALAMAN RAK BUKU KU

     “Tidak bisa Ndin, siang ini tiba-tiba aku ada rapat dengan dewan direksi. Kau saja yang jemput mereka,”
     “Mereka mau di jemput Papanya,”
     “Come on Ndin…Nanti aku jelaskan sendiri pada mereka sepulang rapat, ok?”
     “Iya,”
Tuttt…tuuttt, telpon kumatikan begitu saja. Alasan basi!  Aku malas berdebat, apalagi memohon darinya, suamiku, bapak dari anak-anakku. Aku harus segera bergegas untuk menjemput anak-anak sebelum terlambat. Selalu begitu, kejutanmu di menit-menit terakhir selalu tidak menyenangkan. Aku tidak suka kejutan, apalagi kalau kejutan itu darimu.
     Pada akhirnya kebenaran itu akan sampai juga di telinga dan mataku, seperti kejadian yang sudah-sudah. Kau akan pulang dengan membawa kebenaran itu nyata-nyata di hadapanku. Terkadang bau badanmu sudah seperti bau sundal murahan, penuh dengan bekas lumatan bibir perempuan yang kau bayar untuk sex after lunch. Terkadang tingkahmu seperti laki-laki kecil yang baru sunat, perlu memperuncing kemaluannya yang baru di tumpulkan. Pastinya, aku jijik padamu. Tentu saja aku bisa dengan mudahnya mendapati sisa-sisa tubuh mereka pada tubuhmu ketika aku harus telanjang di bawah tindihanmu dan menunggumu memuntahkan cairan itu dengan kemaluanmu yang tak lagi kukenali.
     Dan aku memilih menghabiskan sisa malamku di ruangan bacaku hingga pagi membuatku jauh darimu. Disini, di dalam ruang gelap dengan kursi baca dan nyala lampu kekuningan, aku mulai membaca kata demi kata dari beberapa buku yang tersimpan rapi dalam rak-rak bukuku. Lembar demi lembar, halaman ke halaman, ada diriku. Aku berlarian di tengah taman hijau yang lembab karena siraman gerimis. Langkah-langkah kecil mulai membuat tubuhku ringan menembus malam. Kau di taman ini juga. Tubuh tegapmu gontai, terhuyung dengan tubuh perempuan itu pada gendonganmu. Wajahmu begitu muram ketika perempuan dalam gendonganmu itu tertawa dalam pekik memekakkan telinga. Matamu begitu sayu. Gurat-gurat kecewa itu begitu ketat menarik kulit mukamu. Tak terasa bibir kecilku bersenandung. Tubuhku telanjang. Udara malam ini tidak terlalu dingin untuk ketelanjanganku. Sesekali sisa air hujan jatuh dari daun-daun yang menempel pada pohon-pohon besar di taman ini. Aku senang ketika tubuhku bersentuhan dengan titik-titik air itu. Kubentangkan kedua tanganku dengan mata terpejam. Kuhirup aroma basahnya tanah dan rerumputan, mmmhhh…aku hidup!
     “Danie membelikan aku cincin berlian!”
     “Kapan…kapan?”
     “Coba kulihat cincinnya. Aku tahu sedikit soal keaslian berlian,”
Suara-suara mereka seperti segerombolan lebah yang datang ketika sarangnya terganggu, nguiiiingg….nguiiiinngg…kepalaku tiba-tiba pusing sebelah. Selalu saja seperti ini tiap kali aku terpaksa duduk di dekat sekumpulan ibu-ibu muda yang sama-sama sedang menunggu anak-anaknya keluar dari kelas. Aku lebih suka membersihkan rumah berjam-jam lamanya daripada terpasung di situasi memuakkan seperti ini.
     “Ma, kayaknya itu Papa deh,”
Aku melirik ke arah telunjuk putri sulungku dari belakang kemudi. Laki-laki itu memakai kemeja abu-abu gelap dan celana hitam dengan dasi hitam bercorak. Baju yang kusiapkan tadi pagi di ranjang tempat semalam dia menggumuliku dengan birahi memuncak. Disampingnya ada perempuan berambut hitam sebahu dengan gaun kuning terang tanpa lengan. Mereka memasuki hotel dengan tangan laki-laki itu memeluk erat pinggang pelacurnya.
     “Bukan Kak,”
     “Tadi pagi papa pakai baju itu Ma, itu Papa,”
     “Kakak, sudah…rapatkan sabuk pengamanmu,”
Laki-laki itu bukan Papamu, laki-laki itu bukan suamiku, laki-laki itu anjing! Ini sudah bukan bukti pertama yang kutemui dari dirimu. Sudah berpuluh kali aku mendapatkan jawaban dari semua alasan yang pernah kau buat. Dan sekarang anak-anak kita melihat sendiri dengan mata kepalanya, betapa tidak terpujinya kelakuanmu.
     Kau menghampiri kamar si sulung setelah malam begitu larut. Membetulkan selimut yang mulai melorot dan mencium keningnya. Aku disini, di ruangan bacaku. Duduk selonjor diatas kursi baca dengan buku di tangan dan selimut menutupi kaki.
     “Perempuan itu seperti rumah Andini. Siapa saja datang dan pergi, anak-anakmu akan tumbuh besar, menikah dan meninggalkanmu. Sesekali mereka datang menjengukmu, menjenguk rumah tempat mereka kau besarkan. Begitu juga suamimu, dia akan lebih sering di luar rumah, mencari nafkah untuk menafkahimu dan anak-anak. Terkadang suami melupakan rumahnya karena bertemu dengan mall yang punya banyak etalase benda warna-warni. Tapi dia akan selalu pulang. Tunggulah,”
Suara Ibuku merasuki pikiranku. Teringat aku pada beberapa tahun lalu dengannya di kamarnya yang luas manakala aku datang dan merebahkan kepalaku di pangkuannya tanpa sepatah kata. Dan aku jatuh tertidur begitu saja disana waktu itu.
     Aku mulai membaca buku di tanganku. Lembar demi lembar, dari halaman  ke halaman. Aku ada di atas mercusuar. Lampu sorot sesekali menggoda lautan dengan kilaunya yang berkilatan. Semilir angin laut meniup helai demi helai rambutku. Dalam ketelanjangan ku tatap batas antara langit dan lautan, hening. Beberapa bintang berkerlap-kerlip, kilau berlian dari jemari ibu muda di ruang tunggu sekolah itu ada di langit. Kemana ibu muda itu, dia kehilangan cincin berliannya?
     Dibawah sana Ibuku duduk pada hamparan pasir di bibir laut, menyisir rambut hitam panjangnya dengan jemari kaki seorang laki-laki. Siapa laki-laki itu? Aku memanggil Ibuku. Tak ada jawaban. Ibuku tak juga menengok padaku. Mungkin ombak terlalu berisik di telinga Ibuku. Aku hendak turun dari mercusuar ketika lampu sorot mengarah pada tubuh Ibuku yang masih duduk terdiam menyisir rambut hitam panjangnya dengan jemari kaki suamiku.
     “Bapak tidak akan pulang Bu, jangan lagi kau siapkan sandal rumah untuknya tiap sore!” Dengan sedikit membentak kakak laki-lakiku menarik tangan Ibuku yang sedang menunduk merapikan sepasang sandal di depan pintu rumah.
     “Sudahlah Bu, buang saja cangkir kopi Bapak. Ini sudah tahun ke dua puluh satu sejak Bapak tak ada khabar, Bapak tidak akan kembali ke rumah ini. Sundal itu sudah merampas suamimu dan bapakku,”
Ibuku bergeming. Tubuh rentanya selalu sibuk tiap sore menyiapkan benda-benda itu untuk Bapakku. Selalu. Meski akhirnya kami yang mendewasa dan tua akhirnya muak dengan kebiasaan Ibuku yang satu itu. Kakak-kakakku yang datang sesekali bersama anak istrinya mulai marah dengan kesibukan Ibu tiap sore datang.

     Gemuruh ombak memenuhi telingaku. Aku bersandar pada dinding mercusuar yang dingin. Angin malam meniupi tubuhku yang telanjang. Mataku nanar memandang luasnya lautan di hadapanku. Airmataku menetes satu-satu. Ibu menengok padaku dari kejauhan sana. Rambut panjangnya berlarian mengejar angin malam. Aku menatap senyum di ujung bibirnya. Mata Ibuku juga meneteskan airmata. Tidak sebening airmataku mala mini. Airmatanya merah. Deras mengalir dari kelopak matanya yang tertutup. Tubuhku lunglai. Terlepas dari sandaran pada dinding mercusuar, melorot ke lantai besi yang dingin. Buku ini kututup dengan tangan kananku. Pelan ku hembuskan nafas dengan mata yang kubuka perlahan. Ada setitik darah pada punggung tangan kananku.
   
    

4 komentar:

  1. Balasan
    1. Eee..ada mas Ragil, selamat datang kemari mas.
      Mohon selalu bimbingan dan jeweran mesranya.
      Monggo di pisui sampe' muru, ben sing nulis tambah koplak, hihihi...

      Hapus
  2. yak ampunnnnnnnnn mbak Yayag? apik tenan ik, uisin aku

    mantabz banget!

    BalasHapus

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"