Sabtu, 10 Maret 2012

KUNTUM-KUNTUM KAMBOJA PUTIH DAN NISAN DI KAKIMU

        Musim penghujan kali ini membuat bangku-bangku di taman semakin pucat pasi. Sore begitu lembab, telapak dedaunan basah dengan titik-titik air sisa hujan siang tadi. Mendung masih membuat langit lebam. Aku terpaku disini, di bangku bisu yang dingin, denganmu. Di depan sana permadani hijaunya rerumputan, rindangnya pohon-pohon tua dan bunga warna-warni meningkahi keheningan diantara kita. Kulipatkan tangan di dalam sweater, aku ingin bersembunyi.
     “Dulu dia membuatkan aku secangkir kopi dengan air es,” Suaramu lembut menyelimuti telingaku. “Aku tidak pernah melupakan sore itu dengannya. Tidak sampai detik ini,” Mataku terpejam mengingat sore yang kau bicarakan. Waktu itu kau pulang dari kerja dengan kening berlipat-lipat. Kau ceritakan kejadian tidak menyenangkan di kantor tanpa jeda. Aku tidak terlalu mendengarkan ceritamu. Aku sibuk memperhatikan matamu. Kuambil cangkir kopi yang sedari tadi sudah kusiapkan untukmu. Dan kudorong mulut cangkir pada dispenser tanpa memperhatikan air dingin atau air panas yang kumasukkan pada cangkir kopimu. Sambil menunggu cangkir kopimu terisi air, kuperhatikan terus matamu. Kuaduk kopimu tanpa melepas pandanganku darimu. Dan kusodorkan cangkir kopi itu padamu.
     “Dia perempuan yang paling mencemaskan aku,” Secangkir kopi dengan air es yang tak bisa kau minum itu mengendurkan syaraf-syaraf tegang kita sore itu. Kau menghentikan cerita penatmu dan mentertawakan kopi buatanku. Dan aku baru tersadar, kalau kopi buatanku tak mungkin untuk kau minum. “Aku merindukannya,…” Dari ujung mataku kudapati matamu menatap kosong taman yang dingin dari tempat kita duduk berdampingan. Diantara kita ada batu besar, hitam, keras, tanpa rongga dan dingin. Lenganku menyentuh batu besar itu. Sedikit saja lenganku menyentuhnya, dan hangatku tadi tiba-tiba lenyap. Aku menggigil. Kita terdiam lama sekali. Suara anak-anak yang menendangi perut bumi dengan ramainya di depan kita, tak juga mampu membuat suaramu terdengar lagi. Langit semakin muram, menghitam. Aku terpekur dalam tunduk kepala tanpa doa. Aku ingin memanggilMU. Berharap petir menggelegar, menghantam dan menghancurkan batu besar di sampingku.
     “Setiap hari aku mendoakannya. Dia akan tetap hidup selama aku masih bernafas,” Hatiku gempar. Tubuhku bergetar. Dan sekuntum kamboja putih jatuh perlahan tepat di kakimu. Kamboja putih itu terdiam begitu saja pada kakimu. Rebah dan wanginya membuat penciumanku bangkit. Semerbak wanginya memenuhi segala penjuru di dekatku. Tubuhku makin tergetar, mengguncang bangku pucat tempat kita duduk berdekatan. Dan kau tetap terdiam, tak tergetar sedikit pun. Sore ini, kamboja putih itu luruh lagi di kakimu, pada nisan putih bertuliskan, Bhetari Prangasti, namaku. Ada tetesan airmataku pada empat kelopak kamboja putih yang terdiam di kakimu. Bening menggelembung, berisi jejak langkahku yang membawa seluruh isi hatimu yang tak berwarna merah tapi hitam. Sehitam langit di atas sana, tanpa satu pun kerlip bintang.
     Kata-kata dari mulutku tak pernah berani berlompatan keluar meningkahi sore di taman yang beku ini. Tak sekali pun kubiarkan mulutku terbuka. Biar saja jemariku menjahit hatiku rapat-rapat dengan kaki yang menendangi dadaku keras-keras Disini, di dalam jauhnya mataku, telaga hening itu ku hidupi dengan belukar kering tanpa kantung air agar tak lagi melahirkan cabang-cabang akar baru. Aku lebih senang disini dengan diriku sendiri, taman dan bangku-bangku pucat, luruhan kuntum demi kuntum kamboja dan nisan bisu bertulis namaku yang tertancap di kakimu dan dirimu disamping batu besar. Aku sudah pernah berjalan jauh, meninggalkanmu dengan tubuh tanpa cinta yang terus terjual.
     Setiap sore, sepulang bekerja dengan tubuhmu yang lusuh, langkah kakimu selalu singgah di taman ini. Taman yang tak begitu luas, tidak juga taman yang masyur. Tak ada fasilitas luar biasa di taman ini, taman yang sepi. Sejauh mata memandang hanya ada pohon-pohon besar, rumput hijau, danau mungil, beberapa jenis tanaman bunga, lampu-lampu gantung dan bangku-bangku tua. Hanya itu, tak ada sarana bermain untuk anak-anak, tak ada wifi, tak ada panggung mini tempat anak-anak muda pamer kemampuan bermusiknya di akhir pekan. Mungkin itu yang kau sukai, sepi. Berjam-jam kau habiskan waktumu di bangku yang sama di taman ini. Bangku yang menghadap pada hamparan rumput dan danau kecil di tengah taman. Dengan kemeja kusut, kau hempaskan tubuhmu pada bangku tua yang sama. Berjam-jam kau hanya diam mematung memandangi danau dan hamparan rumput hijau dengan pandangan kosong. Sesekali kau benahi dudukmu yang makin melorot. Sesekali airmatamu menetes.
     Dan setiap sore juga aku selalu ke taman ini. Taman yang selalu kau datangi. Duduk di bangku yang sama dengan bangku yang kau duduki. Dan hamparan rumput hijau juga danau mungil yang sama-sama kita pandangi. Meski gaun warna-warni, make up tebal, bibir merah, wangi parfum semerbak juga gerai rambut ikalku tak membuatku selusuh penampilanmu. Aku selalu kemari sebelum berangkat bekerja. Berjam-jam menemanimu diam disini, seperti sudah menjadi bekal buatku melumat malam dengan tubuh telanjangku. Selalu ada jemarimu yang bergetar pelan, kau hilangkan dengan remasan, ketika kau menceritakan tentangku. Selalu ada guratan tersisa di bawah kelopak matamu setelah selesai kau kenang diriku. Selalu ada airmatamu yang menetes menghangatiku sewaktu keberadaanku tetap ada dalam ucapanmu.
     Karenamu aku masih berani membiarkan jantungku berdetak di saat aku harus menelan kesendirianku hidup di dunia dengan mencari keramaian pada malam-malam biadab. Pada malam yang kupilih untuk membiarkan tubuhku bergumul dengan tubuh-tubuh telanjang para lelaki hidung belang, melacur dan di lacurkan, menjual diri dengan hati yang tak pernah terbeli. Ya, sejak kita tak pernah berani memagut rasa dalam akad di kepala, sejak itu pula diriku hilang. Membiarkanmu terbunuh perkawinan yang harus kau jalani dengan perempuan lain dan memaksakan diriku hidup dari hari ke hari dengan hati yang terus mencari cinta untuk berteduh dengan menjual diri. Laki-laki yang kutemui setelahmu, laki-laki yang kukira mencintaiku, hanya laki-laki yang sedang berlibur pada tubuhku. Begitu juga laki-laki berikutnya dan seterusnya. Aku tak pernah mengerti lagi apa dan bagaimana cinta itu bermula dan berbentuk. Aku terputus. Tak menahu harus kemana, aku hanya tak ingin meninggalkan kota ini. Kota tempatmu bisa kutemui tiap sore.
     “Dia menyukai danau. Aku ingin mati dan di kubur di dekat danau supaya dia bisa selalu melihatku dengan hatinya yang bahagia,” Tiba-tiba suaramu terdengar lagi. “Melihat danau kecil itu tiap sore, seperti selalu berdekatan dengannya,” Airmataku menetes satu persatu. “Aku memang ada di dekatmu…,” Tiap sore aku ada di dekatmu. Tiap sore kita duduk di bangku yang sama. Tiap sore aku melihat tubuhmu yang makin kurus, rambut yang jarang kau rapikan, kemeja lusuh dan semuanya…semua pada dirimu selalu ada di dekatku.
     “Andai saja dia ada disini…aku akan membawanya lari sejauh mungkin. Tak akan lagi ku pedulikan kehidupanku yang sekarang. Aku ingin membahagiakannya. Aku ingin sekali membuatnya bahagia. Aku sangat mencintainya,” Tubuhku tergetar hebat. Aku tak kuasa menghalau airmataku berhenti. Aku tersungkur tanpa daya di kakimu. Tumpah semua emosi dan airmataku, aku mati. Tubuhku tergolek di rerumputan basah, di ziarahi sekuntum kamboja putih yang jatuh lagi dari langit temaram. Aku meraung-raung pada nisan bertulis namaku di antara kedua kakimu. Sejauh itukah jiwaku tergadai pada malam-malam penuh laknat sampai-sampai kau tidak mengenaliku yang selalu di sampingmu tiap sore? Sehina inikah tubuhku terajam dosa hingga kau tak mengenali lagi luka pada jiwaku? Aku memanggil namamu tiap malam ketika kemaluanku terus di ludahi batang-batang keras mereka. Aku ada di dekatmu! Bawalah aku lari…bawa aku pulang padamu, bawa aku! Akan kuhapus make up-ku, akan kubuang warna merah pada bibirku, akan kutelanjangi tubuhku tanpa gaun warna-warni yang menyilaukan. Aku akan berlari bersamamu. Mulai sore ini aku akan menemanimu selamanya.
     Kau berdiri. Menghela nafas panjang pelan-pelan. Memejamkan mata, membawa pulang seluruh isi taman ini, pohon-pohon besar, rumput hijau, danau mungil, bunga-bunga, lampu-lampu gantung dan bangku-bangku tua. Semuanya kau bawa dalam pejam mata beberapa lama dengan hela nafas berat. Semua kau bawa, tapi tidak kau bawa diriku. Perlahan kau berlalu meninggalkanku yang tersungkur dalam urai airmata tanpa henti. Langkah kakimu menjauhiku, kau meninggalkanku lagi. Membiarkanku kaku membeku sendiri, terdiam bersama dua kuntum kamboja putih pada nisan bertulis; Bhetari Prangasti, perempuanku yang hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"