Malam ini bunyi-bunyian itu datang bersama gumpalan awan hitam dari atas sana. Suaranya tidak terlalu berisik seperti kedatangannya waktu itu.
Aku menunggunya. Kusilangkan kedua telapak tanganku diatas pangkuan yang sedari tadi kupenuhi dengan pucuk-pucuk baru rerumputan hijau. Mataku menatapnya dalam jenuh berkepanjangan yang terlanjur lama menunggunya datang kembali. Tak ada kata yang terlepas dari bibirnya yang terkatup. Aku pun juga terdiam. Hening.
Akar-akar rerumputan itu tumbuh perlahan-lahan dalam suara yang kukenali sejak rumput-rumput baru itu tumbuh di pangkuanku. Srekk...sreekk...,
"Sudah terlalu lama waktumu kubuang...," tiba-tiba saja rumput-rumput itu berhenti tumbuh. Pucuk-pucuknya yang masih sebaris cerita pendek menatapmu.
Aku masih ingin diam. Awan itu menghuni kepalamu yang mulai ditinggalkan jalan-jalan hitam yang dulu berjajar rapi dan selalu menurut menghias kemasyuranmu.
Masih ada hitam disana, hanya beberapa ruas, selebihnya hanya lahan-lahan kosong, tak ditumbuhi apa pun.
"Kemana biasanya kau habiskan waktu untuk menungguku?"
Hari itu tak akan pernah terlepas dari ingatanku yang tinggal beberapa saja di dalam ruangan ini. Gerimis masih bersamaku untuk mengikat ingatan itu, aku mengingatnya dengan sangat baik.
Disini semuanya bermula, menidurkan raut wajah yang waktu itu terlalu sering mencari namanya. Berlarian aku mengikutinya, kelelahan yang belum ingin kunamai kekalahan.
Sama, mungkin waktu itu pun kau juga melakukan hal yang sama. Meski aku tak pernah ingin melihat perkampungan padat penduduk yang memenuhi belakang punggungmu.
"Apakah kau kelelahan?" begitu waktu itu tanyamu padaku.
Tak perlu jawaban dari mulutku karena ujung matamu melirik pasti pada garis-garis halus pada kening dan ujung mataku yang sayu.
Lalu kita mulai tersenyum bersama dengan pensil warna merah yang melukiskan bentuk-bentuk rupa pada cermin di depan kita. Hanya warna merah.
Lalu setelah sekian lama musim datang dan pergi, hanya cermin penuh guratan warna merah itu yang terus kupandangi dari tempatku duduk sekarang. Sampai akhirnya kau juga memandangi cermin itu denganku, disini, sekarang. Aku menunggu kalimat berikutnya dari bibirmu yang selalu kuingat setelah kantuk mengajakku melupakanmu kemarin, setiap kemarin yang berlalu begitu saja.
"Siapa yang mengotori cermin itu?" Kalimat itu saja yang kutunggu terlepas dari bibirmu saat ini. Satu kalimat tanya.
Dan terlepaslah semuanya ke udara,
Bola mataku melompat jauh meninggalkan kelopak mataku, mungkin dia terlalu lelah membeliak. Mulutku tak kuasa melepaskan tawa ke segala arah, menyesakkan sekali rasanya sekian lama harus tersumpal dalam katup yang tak kutahu kapan akan terlepas. Cuping tipis telingaku berlari meninggalkan kepalaku yang tiap waktu terus menyimpan bunyi-bunyian di dalamnya, berisik.
Aaahh...begini rasanya menikmati alam raya dengan segala kejenuhan yang terlalu lama harus kupelihara. Nikmatnya tak terkira!
Baca Selengkapnya - CERMIN ITU KOTOR SEKALI!