Sabtu, 07 April 2012

KACA YANG BERCERMIN PADA ANGGREK TAK BERAKAR DI DINDING HALAMAN BELAKANG

     Aku mengamati punggungnya yang khusyu’ membungkuk dari kejauhan sini. Tulang-tulang punggungnya tercetak pada kemeja coklat mudanya. Sedikit sekali gerakannya yang bisa kunikmati dari tempatku berdiri sekarang. Bahkan dinginnya semilir angin malam pun tak mampu mengusiknya. Sesekali saja kulihat bahunya bergerak pelan, sesekali kudapati lengannya menghilang dari pandangan. Rambut kelabunya yang selalu rapi dan wangi, berkilauan ketika bertemu cahaya lampu taman di halaman belakang. Kakinya yang panjang dan kurus, kakinya yang kusukai, tak sejengkal pun bergeser. Selama itu, aku tak mampu melihat wajahnya.
     Kusandarkan tubuh pada kursi rotan beralas bantal merah. Langit begitu pekat, ada beberapa bintang jauh disana berkerlap-kerlip. Kurapatkan sweater hitam pada tubuhku, sambil kusembunyikan kedua tanganku di dalamnya. Mataku tak lepas memandangnya. Hampir tiap malam dia selalu disana, sibuk bercengkrama dengan anggrek-anggrek kesayangannya,  Berjam-jam waktunya habis disana, mengajak anggrek-anggreknya bercerita tentang dirinya yang sangat merindu, menangis sesenggukan ketika rindunya semakin tak tertahan untuk berpulang pada masa lalu. Kadang suara tawanya terdenger lirih ketika anggrek-anggrek itu berbunga, terkadang airmatanya menetes ketika beberapa helai daun anggrek itu layu menguning. Aku merindukannya.
     “Bagaimana anggrek-anggrekku?”
     “Sepertinya baik-baik saja,”
     “Bisakah kau kirimkan fotonya padaku sekarang?”
     “Disini hujan, Pram,”
     “Ada payung…,”
     “Baiklah, apakah kau baik-baik saja disana?”
     “Jangan matikan telponnya Nad,”
Aku melangkah keluar dengan payung dan handphone di tangan. Hujan terlalu deras diluar, aku tak mau jatuh terpeleset gara-gara sandal, jadi kulupakan untuk memakai sandal. Kakiku mulai menyentuh rumput-rumput yang basah diguyur hujan. Semoga tidak ada cacing menjijikkan yang mampir di kedua kakiku. Sesekali kuangkat celana panjangku yang melorot dari gulungan. Dan…ini dia, deretan pot-pot anggrek yang kau gantung rendah sebatas pinggang pada sebagian dinding di halaman belakang. Kujepit payung sekenanya, mulai menyiapkan kamera handphone dan jebrettt…jebrettt…jebretttt, beberapa foto sudah ku ambil. Hujan makin membasahi sebagian tubuhku. Bibirku menggigil dipaksa hawa dingin dan hujan yang bertubi. Aku pun segera berbalik dan memasuki rumah.
     “Nad…,”
     “Iya Pram, sebentar…”
     “Sudah kau foto khan? Sudah kau kirimkan belum Nad?”
     “Aku masih basah kuyup, aku ganti baju dulu ya,”
     “Nanti saja ganti bajunya, kirimkan sekarang ya, kutunggu,”
     “Tapi…,”
     “Aku tunggu Nadia,”
     “Iya Pram…”
Tiba-tiba hangat mengaliri tubuhku yang basah kuyup. Tubuhku bergetar, tanganku juga bergetar. Kubuka file foto anggrek-anggreknya dari handphone, dan segere ku kirimkan foto-foto itu padanya.
     Kutanggalkan begitu saja seluruh bajuku yang basah di lantai bersama handphone yang tak lagi menyisakan suaranya disana. Dengan tubuh telanjang kulangkahkan kaki perlahan ke dalam rumah. Kesana kemari…kesini kesana…kuputari hampir seluruh ruangan. Tubuhku hangat, tubuhku terus bergetar. Aku tak sanggup lagi melangkah. Tersungkur begitu saja di atas karpet tebal coklat tua di ruang tengah. Kepalaku rebah di lengan kiriku yang lembab. Hangat it uterus menetes dari kedua mataku. Ku pejamkan mata.
     Pot-pot plastik hitam itu ada tiga belas buah ; pot pertama berisi anggrek yang wajahnya bulat telur, bermata lebar dengan bola mata coklat dan bibir tipis tanpa lipstik. Anggrek itu berisi bahumu, tempatnya bersandar berlama-lama ketika kalian saling berkisah tentang sepanjang hari di musim kemarau penuh hujan dan lampion warna-warni yang membawamu pada dirinya ketika hari tak pernah sibuk dengan rutinitas kerja. Cinta. Kalian saling mencintai begitu dalam tanpa gundah. Tak memerlukan bisingnya keinginan akan ini itu. Tercukupkan dengan kalian.
Pot kedua berisi anggrek berwajah penuh senyum, pada bibir yang tak pernah kehabisan cerita. Rambutnya selalu terikat tinggi-tinggi, ada matamu disana, menghiasi helai demi helai rambutnya. Matamu tak pernah jengah menatap tingkahnya yang membangkitkan seluruh saraf bahagiamu. Surga selalu ada diantara kalian, seperti satu halaman paling luas yang penuh dengan tawa yang terus menerus, tak terhentikan.
Pot ketiga, ke empat, kelima,………semuanya penuh dengan dirimu, jemarimu, bibirmu, telingamu, semuanya…sekujur tubuhmu terpenggal-penggal disana, dengan dia, dengannya, mereka.
     Hanya satu pot anggrek paling ujung, beberapa jarak dari sekian anggrek yang kau tata rapi, yang tak berisi dirimu. Wajahnya bening, tembus pandang, tapi tak berakar. Kaca itu menempel pada dinding di halaman belakang, berkaca pada tubuhmu.
     “Kemarilah, peluk aku…,”
     “Nanti…,”
     “Berapa lama lagi aku harus menunggumu?”
     “Putarlah dulu film-film favoritmu di dalam sana, nanti kutemani,”
     “Film-film itu sudah ku tonton semua,”
     “Tadi kubelikan kau beberapa buku, ada di ruang kerjaku. Ambil dan bacalah,”
Akar-akar anggrek berwajah bening itu tak pernah tumbuh. Mungkin pernah sekali dua kali tumbuh tak sampai setengah senti, tapi rontok begitu saja di tiup angin semilir. Sekali lagi berakar, dan titik-titik hujan mematahkan akar-akarnya lagi.
     “Nad, untuk apa sih kamu terus hidup dengan laki-laki setua itu?”
     “Iyah Nad, tinggalin sajalah. Tuh si Atar masih punya tenaga untuk menyayangi kamu,”
     “Ayolah Nad, percaya sama kita-kita. Dengarkan kami!”
     Tubuhnya mulai berbalik arah. Perlahan meninggalkan anggrek-anggreknya. Dengan tubuh agak membungkuk, langkah tertatih dan mata yang tampak begitu lelah. Aku berdiri menunggunya di sini, mendapati gurat-gurat wajahnya yang menua terbaca lampu-lampu taman. Aku mencintaimu. Tangannya menggapai bahuku, memelukku erat-erat. Lama. Ku usap-usap punggungnya yang kaku setelah lama membungkuk, menghidupkan anggrek-anggrek dalam pot-pot di halaman belakang. Pelukannya makin erat. Kuusap kepalanya, lembut. Bibirku membisiki telinganya dengan suara bergetar,
     “Selamat hari jadi yang ke tiga puluh lima, Pram,”
     “Nadia…,”
     “Ssstt…,”
Airmatanya jatuh pada bahuku, menetes satu-satu. Tubuhnya bergetar hebat.
     “Selamat hari jadi yang ke tiga puluh lima juga Nadiaku sayang,…”
Aku mencium rambut kelabunya yang wangi. Kucium lagi. Dan lagi, dalam pelukan kami yang lama.
     Bagiku, mencintaimu di antara kenangan-kenangan yang terus kau pelihara subur dalam ruangan yang teramat sempit untuk kita, kerap begitu menyakitiku. Tak lagi banyak yang akan ku katakana, karena aku terlalu lelah memaksakan diri berada pada pot-pot anggrek penuh kenanganmu. Aku tak lagi mampu menyakitimu dengan cintaku, ketika begitu kejamnya waktu telah memasungmu disana, merampas kemudaanmu dan menggantikan dirimu dengan tubuh renta, rambut beruban, gurat-gurat tua dan mata yang terus saja menetes ketika kau menjadikanku kaca bening yang bercermin dalam pot anggrek tak berakar di halaman belakang. Aku tak akan lagi mencoba menumbuhkan akar-akarku pada tubuhmu yang tak lagi utuh untuk menemaniku. Biarkan aku menjadi kaca bening yang tembus pandang untukmu, terkadang tak terlihat, tapi masih bisa memantulkan keberadaannya ketika sedikit cahaya dari tetes airmatamu mencariku manakala lelah membuatmu pulang padaku.     
    
      
         
    

4 komentar:

  1. Mat pagi nih Mbak, pakabar... ini lagi jalan2 dan nemu lagi sisi lain, sptnya nyantai bersama cermin, sip, indah dan oke..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pagi BangRe Kemal,
      Duh, senangnya pagi-pagi blog saya sudah disamperin.
      Mari ngopi bang :)

      Hapus
  2. Balasan
    1. Terimakasih sudah berkenan mampir ke blog saya mas Ibn Nawawi, salam kenal saya.
      Ssstt...saya juga love this blog mas :D

      Hapus

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"