Minggu, 07 Oktober 2012

CERMIN ITU KOTOR SEKALI!

Malam ini bunyi-bunyian itu datang bersama gumpalan awan hitam dari atas sana. Suaranya tidak terlalu berisik seperti kedatangannya waktu itu. Aku menunggunya.
Kusilangkan kedua telapak tanganku diatas pangkuan yang sedari tadi kupenuhi dengan pucuk-pucuk baru rerumputan hijau. Mataku menatapnya dalam jenuh berkepanjangan yang terlanjur lama menunggunya datang kembali. Tak ada kata yang terlepas dari bibirnya yang terkatup. Aku pun juga terdiam. Hening.

Akar-akar rerumputan itu tumbuh perlahan-lahan dalam suara yang kukenali sejak rumput-rumput baru itu tumbuh di pangkuanku. Srekk...sreekk..., "Sudah terlalu lama waktumu kubuang...," tiba-tiba saja rumput-rumput itu berhenti tumbuh. Pucuk-pucuknya yang masih sebaris cerita pendek menatapmu.

Aku masih ingin diam. Awan itu menghuni kepalamu yang mulai ditinggalkan jalan-jalan hitam yang dulu berjajar rapi dan selalu menurut menghias kemasyuranmu.
Masih ada hitam disana, hanya beberapa ruas, selebihnya hanya lahan-lahan kosong, tak ditumbuhi apa pun.
"Kemana biasanya kau habiskan waktu untuk menungguku?"

Hari itu tak akan pernah terlepas dari ingatanku yang tinggal beberapa saja di dalam ruangan ini. Gerimis masih bersamaku untuk mengikat ingatan itu, aku mengingatnya dengan sangat baik.
Disini semuanya bermula, menidurkan raut wajah yang waktu itu terlalu sering mencari namanya. Berlarian aku mengikutinya, kelelahan yang belum ingin kunamai kekalahan.
Sama, mungkin waktu itu pun kau juga melakukan hal yang sama. Meski aku tak pernah ingin melihat perkampungan padat penduduk yang memenuhi belakang punggungmu.
"Apakah kau kelelahan?" begitu waktu itu tanyamu padaku.
Tak perlu jawaban dari mulutku karena ujung matamu melirik pasti pada garis-garis halus pada kening dan ujung mataku yang sayu. Lalu kita mulai tersenyum bersama dengan pensil warna merah yang melukiskan bentuk-bentuk rupa pada cermin di depan kita. Hanya warna merah.

Lalu setelah sekian lama musim datang dan pergi, hanya cermin penuh guratan warna merah itu yang terus kupandangi dari tempatku duduk sekarang. Sampai akhirnya kau juga memandangi cermin itu denganku, disini, sekarang. Aku menunggu kalimat berikutnya dari bibirmu yang selalu kuingat setelah kantuk mengajakku melupakanmu kemarin, setiap kemarin yang berlalu begitu saja.
"Siapa yang mengotori cermin itu?" Kalimat itu saja yang kutunggu terlepas dari bibirmu saat ini. Satu kalimat tanya.


Dan terlepaslah semuanya ke udara, Bola mataku melompat jauh meninggalkan kelopak mataku, mungkin dia terlalu lelah membeliak. Mulutku tak kuasa melepaskan tawa ke segala arah, menyesakkan sekali rasanya sekian lama harus tersumpal dalam katup yang tak kutahu kapan akan terlepas. Cuping tipis telingaku berlari meninggalkan kepalaku yang tiap waktu terus menyimpan bunyi-bunyian di dalamnya, berisik.
Aaahh...begini rasanya menikmati alam raya dengan segala kejenuhan yang terlalu lama harus kupelihara. Nikmatnya tak terkira!

10 komentar:

  1. Kesalahan berulang di coretan ini dan coretan-coretanmu yang sebelumnya, yang entah pula berapa bilangannya itu kenapa selalu diulang-ulang? Untuk apa? "Ada editor, itu tugas editor!"
    "Iya, tapi kamu terkesan seenaknya."

    Gimana buatnya ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, kena tanda seru lagi dah, jadi lupa semua pelajaran yg mesti kupelajari dr anonim ini (lagi).

      Seperti biasa, kepikir, tulis, posting, makanya penuh dgn tanda serumu begitu.

      Ajarin bentak-bentak dong!

      Hapus
  2. Ubahlah "kepikir » tulis » posting" kamu itu. Keras kepala sih kamunya. Cobalah agak nyair dan mau dengerin org lain. #eh :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mestinya gimana tahapan yg bener&harus kuubah itu?
      Apa urgensi untuk agak nyair itu?
      Terus gimana caranya supaya bisa agak nyair dan gak keracunan waktu ndengerin?
      Awam banget saya soal semua itu, saya bukan penyair.

      Hapus
  3. Bukankah kamu sudah tll sering mendaulat "kepikiran, tulis, posting" sebagai 'kambing hitam' atas kesalahanmu yg selalu berulang?
    Jadi, yg tahu gmn rangkaiannya seharusnya, ya kamu sendiri.
    - yah aku jg ga tahu gmn biar ga keracunan pas dengerin, tp sih biasanya ada 'tanda' kapan harus berhenti sementara untuk racunnya. Dikit-dikit aja kali ya?
    - yah, apalagi aku. kita bcra nyair (mencair, bukan men-syair) deh. Udah, mau ngopi dulu.
    - jd gmn buatnya ini, ajarin woi?!

    BalasHapus
  4. Nah karena saya yg awam di rimba kata2 ini melakukan "ritual" menulisnya memang seperti itu, jdlah saya merasa perlu bertanya lg ke anonim yg lbh tahu letak salah saya,
    "Seharusnya bagaimana urutannya?"

    Soal racun, meski sedikit&(mgkn) bs pnya kesadaran tinggi ketika tiba2 harus berhenti meracuni diri, ini hanya soal nafas&warna yg belum berkenan saya lebur dgn siapa pun utk harus tiba2 menjadi seperti si bla bla bla atau si prett preett prreeett. Dan gak harus ada pemaksaan hak utk itu, terserah siapa saja yg mau jd seperti itu, tp saya pribadi belum mau&semoga tidak akan pernah ingin utk kesana.

    Mau minta ajarin bikin yg seperti ini? Hadoooh...gak salah nanya tu, mestinya saya dong yg menimba ilmu dari anonim berwawasan di dunia tulis menulis seperti anda bgni.

    BalasHapus
  5. Kalo udah mencak-mencak gini, mending saya menepi.
    Salam.

    BalasHapus
  6. Btw, boleh join kopi atau rokok (mungkin)?

    BalasHapus

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"