Minggu, 16 September 2012

GERIMIS DIBAWAH TUMPUKAN BAJU KOTOR

"Jangan benamkam mukamu disana lagi!" Teriakku penuh amarah. Kuremas-remas lap meja yang sedari tadi ada dalam genggamanku, mungkin jantungku masih lebih kusut dari lap meja kumal ini. Kupaksa tubuhku tetap diam ditempatku berdiri sekarang, meski aku tak yakin seberapa lama lagi aku akan tetap diam disini menahan amarah Masih saja dia benam-benamkam mukanya pada tumpukan baju kotor di sudut ruangan dengan begitu semangat;teriakanku percuma.

Tiap kali dia datang dengan lusinan cerita yang dibawanya dari luar rumah, tentang sepasang sepatu merah bertumit tinggi yang berbelanja gincu di seberang rumah, tiap kali pula jantungku berdetak kencang. Apa hebatnya sepatu merah bergincu merah? Kampungan! Seleramu pada warna merah juga sangat aneh, setahuku orang-orang dari jenismu tidak akan tertarik dengan warna merah. Itu menyimpang, dan yakinlah kalau kau punya kelainan!
"Sepasang sepatu itu selalu membeli gincu warna merah tiap dua minggu sekali, Sayang..." Begitu biasanya kau mengawali ceritamu. Lalu kita akan tiba-tiba berjauhan dalam beberapa jarak di sudut berbeda. Kau dengan tumpukan baju kotor di sudut sana, dan aku disini dengan lap kumal di genggaman tangan.
"Sudah, hentikan ceritamu,"
"Ini harus kuceritakan, Sayang,"
"Aku tidak mau mendengarnya!"
"Kau harus mendengarnya, harus.." Dan seperti yang sudah-sudah, kau terus bercerita tentang sepasang sepatu bertumit tinggi yang membeli gincu warna merah tiap dua minggu sekali, dan aku meremas-remas lap kumal ini dengan tubuh terbakar amarah.

Aku tidak pernah ingin membuatmu bisu tuli manakala tiap kali kau bercerita, amarahku membuatmu bungkam. Sudah pernah kutahan untuk membiarkanmu bercerita, hasilnya seluruh pakaian yang melekat di tubuhku basah dengan airmata. Aku tidak suka pakaianku basah, dan kulemparkan begitu saja baju basahku di tempat pakaian kotor di sudut ruangan.

Dan ceritamu yang berhamburan tanpa larangan dariku terhenti seketika saat dengan ujung matamu kau lihat tubuhku telanjang;tak ada apa pun yang kau sisakan ditubuhku dari ceritamu tentang sepasang sepatu bertumit tinggi yang membeli gincu warna merah tiap dua minggu sekali.

Tapi masih saja dia benam-benamkan wajah pada tumpukan pakaian kotor di sudut ruangan setelah tak pernah lagi kudengar cerita dari mulutnya. Aku sudah tidak pernah lagi menangis, tapi dia masuh membenam-benamkan wajahnya disana. Apa yang dicarinya disana?
"Aku kehilanganmu sejak gerimis tidak pernah berhenti di bawah tumpukan baju kotor ini, Sayang...aku mencarimu, mengharapmu kembali..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"