Sabtu, 01 September 2012

DIA YANG TERIKAT DI BAWAH DAGUKU

     Wajahnya hidup dari telapak tanganku. Tiap kali kuhitung garis-garis tak berarah di telapak tanganku, tiap itu pula kulihat senyum di bibir merahnya. Seakan-akan dia ingin memenuhi seluruh telapak tanganku dengan keberadaannya, 

"Di bagian ini aku menempatkan setetes embun,"
Embun yang menetes di atas keningnya saat pohon tua itu kau jadikan tempat berlindung dari amarahku yang datang bersama petir membakar hitam matamu. 
Aku menyesal tiap kali kebencian menyeruak tiba-tiba saat begitu lunglainya kau sandarkan lelah dari belakang punggungku. tapi aku terlambat. 

"Kalau disini kuletakkan sepasang sepatu kulitmu, supaya kau tidak lagi bisa mengajak kakimu berlari menjauhi pagar di depan sana," 
Seharusnya aku tidak selalu bodoh dengan meninggalkannya di dalam sana seorang diri setelah kakiku meninggalkan lebam berwarna ungu pada bibir merahnya. Dan aku tergopoh-gopoh berlari menjauhi pagar kayu yang lapuk di makan hujan dan panas, di makan kegilaanku yang entah karena apa. 

     Sebegitu hebatkah diriku hingga bisa merasukinya sampai ke dalam sumsum sampai tak satu pun kebusukanku membuatnya lelah menungguku dengan senyum, tatapan, doa-doa dan bergelas-gelas airmata. 
"Aku sudah terlanjur mematahkan kedua kakiku sejak kau mengikatku di bawah dagumu,"   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"