Kamis, 08 September 2011

BULAN DALAM DARAHKU

     Masih sekelumit waktu itu aku berkenalan dengan takdir dan dirimu, Bulan dalam Darahku. Baru beberapa kata saja yang bisa kuucap tapi yang pertama kukenali adalah bara api dalam matamu. Begitu panas yang kurasa saat itu, ah...itu mungkin hanya amarah sesaat. Tapi bara api dalam matamu waktu itu teramat sangat kuingat hingga sampai dikemudian hari hidupku yang selalu legam lebam oleh biru. Aku tak pernah kau maui sejak awal, itu pun sangat terrasa.
     Aku mekar dengan beberapa mimpi yang kau cabik didepan mataku hingga aku terlunta dan bernanah darah ketika kukumpulkan puing-puing mimpiku yang katamu tak pernah pantas untukku. Sebisanya kusimpan sedikit sisa mimpiku yang terpelanting jauh kala tertutup ketakutanku padamu. Bagaimanapun kau tetaplah Bulan dalam Darahku yang harus kusembah karena sedari aku ada, aku mengemban titah untuk senantiasa mengagungkanmu.
    Kau membuat aku begitu tahu nilaiku yang tanpa arti sedikit pun. Sekali kuberjalan maju ke depan, berkali-kali kau tarik aku ke belakang dengan banyak serapah dan pukulanmu tepat dihatiku. Aku bukan siapa-siapa dan tidak akan pernah jadi apa-apa untukmu meski dalam sujud selalu kupinta padamu, 
"Doakan aku. Aku ingin ada dalam doamu,"
Sekilas kupinta itu darimu, wahai Bulan dalam Darahku seketika itu juga kutahu kau tidak akan pernah mendoakanku. Aku ada dibawah kakimu, dan akan selalu ada disana bagimu tanpa pernah kau basuh sekedar untuk membuatku bersih dari debu.
    Pernah kuingin sekali membuat kedua tanganmu terentang memelukku yang menggigil penuh takut saat melihat depan yang kau minta untuk kulalui tanpamu dan tanpa siapa pun disana. Dan yang kurasakan betul saat itu kakimu menyepakku hingga tersungkur penuh tangis, 
"Aku tak mau kau selalu sembunyi dalam cangkangku, benalu! Jauhi aku, pergi sana, telan dunia!"
Aku terbunuh persis dihari itu dengan kaki yang patah dan kedua tangan yang remuk tak bisa lagi untuk menggenggam dunia yang kau mau kumasukkan dalam mulut dan terbenam di perutku. Aku mati dan tertatih sendiri menyaksikan dunia yang menertawakanku dengan semua yang dimilikinya.
    Tak pernah kutahu harus kemana aku menapaki jalan-jalan dunia yang begitu banyak sekat dalam labirin hiruk pikuknya keramaian. Sejenak aku terdiam, aku pernah teringat satu petunjuk yang pernah kau teriakkan kala aku remuk redam dan mati tersungkur untuk yang kesekian kalinya di depanmu, 
"Kau sundal, matamu jalang. Kau liar persis seperti sundal yang minta dikangkangi,"
Aku akan jadi sundal dengan mata jalan yang selalu minta dikangkangi, aku harus jadi sundal demi sesajiku dikakimu wahai Bulan dalam Darahku yang tetap harus kusembah.
    Aku keluar dari cangkang tanpa gincu dan poles muka yang berwarna. Aku mati, setebal apapun aku memoles mukaku, aku tetap wajah tanpa raut muka. Beku. Bertemu aku dengan satu laki-laki dan laki-laki berikut juga laki-laki seterusnya, aku dikangkangi. Aku bisa jadi sundal wahai Bulan dalam Darahku. Aku menelan dunia seperti yang kau mau kulakukan demi sembah abdiku padamu. Aku pasti membuatmu bangga dan aku tahu tawamu pasti begitu lebar menyeringai seaakan ingin mengabarkan pada belantara dunia bahwa aku budakmu yang gemilang.
    Namun tiba-tiba waktu membuatku lelah dan resa mekangkang. Aku ingin kembali pada cangkangku, berharap rentang luas tanganmu memelukku dan meninggikan aku. Aku pulang bersungut dalam asa yang haus akan dirimu, duhai Bulan dalam Darahku. Baru ingin kumemasukimu, kau injak aku begitu lumat hingga darahku kembali tumpah bercecer dan aku kembali mati. Kau membuangku jauh kembali pada dunia yang baru saja kutinggalkan karena aku lelah. Aku terjerembab lagi, 
"Tetaplah jadi sundal. Aku tak mau ditempeli benalu. Aku bukan anjing!"
    Aku hanya anjing yang setia mengharap pelukmu Bulan dalam Darahku. Aku sundal yang menghibur laki-laki pencari orgasme demi untuk senyummu yang bangga akan aku, benalu yang bisa menelan dunia untukmu. Aku akan berlalu karena aku lelah dan redup untuk mengejar terus kasihmu yang tidak pernah kudapat dalam doa tulus saat aku telanjang digagahi laki-laki hidung belang itu, 
"Aku alan berlalu dan selalu jadi sundal pada laki-laki itu duhai Bulan dalam Darahku. Aku lelah mengharapmu. Aku tak akan lagi minta berlindung padamu. Aku tak akan lagi minta uang pada laki-laki diluar sana yang mengangkangiku, aku hanya akan minta pelukan mereka, itu mencukupiku. Selamat tinggal Bulan dalam Darahku, aku tak ingin lagi punya darahmu dalam matiku..."  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"