Selasa, 24 September 2013

PEREMPUAN YANG MEMBAWA RUMAHNYA KEMANA-MANA DENGAN PUNGGUNGNYA

Tubuhnya tak sebesar rumah yang dibawanya kemana-mana dengan punggung agak membungkuk. Kulitnya coklat gelap seperti kulit pohon yang dibasahi hujan kemarin sore. Tapi kedua kakinya sangat kokoh, tak ada ragu sedikit pun untuk menancapkan jejak pada tanah basah yang menanjak di hadapannya.

Pada tiap pagi yang masih gelap, saat orang-orang meringkuk dalam dengkur panjang di bawah selimut kusut mereka, perempuan itu sudah menantang gigil pagi. Sebatang rokok linting yang baranya enggan memerah diam dicekik jemarinya. Tak ada doa, hanya lirih sapanya pada Tuhannya,
"Pagi Tuhan, apa khabar Kau disana?" Nafasnya menyemburkan buih-buih putih tak seberapa. Dihembuskannya nafas dalam-dalam.
"Ikutlah denganku. Bantu aku membawa rumahku sampai ke atas sana," Tuhan tak banyak bicara. Seperti mulutnya yang lalu terkatup rapat begitu saja. Selalu begitu setiap pagi.

Tak pernah sekali pun waktu membuatnya tertarik untuk meninggalkan senyum pada orang-orang di sekitar perjalanan yang dilihatnya. Melihat pun enggan, apalagi meninggalkan sapa dan sebaris senyumnya untuk mereka. Perempuan itu hanya akan menatap jalanan menanjak di hadapannya dengan dua bola mata yang tak mungkin bisa ditebak ceritanya oleh semua penduduk kampung. Dan tak satu pun dari orang-orang akan menyapanya, setidaknya begitu sejak sekian puluh tahun yang lalu. Jauh setelah tubuhnya menghilang nun jauh di atas sana, sesekali kasak-kusuk sebagian penduduk kampung terdengar.
"Untuk apa sepagi ini dia naik ke atas sana? Sedang suaminya mendengkur sekeras babi di bawah selimut,"
"Puluhan tahun pun, pekerjaannya tak membuat rumahnya berubah. Masih saja miskin!"
"Anak-anaknya cuma maling dan lonte!"
Lalu semua terdiam. Tak ada lagi suara-suara itu. Tiba-tiba semua menjadi enggan membicarakan perempuan yang membawa rumahnya kemana-mana dengan punggungnya yang agak membungkuk itu.

Pagi ini ranting-ranting pohon yang tertidur di atas tanah, basah. Sekali lagi musim hujan membuatnya terbangun. Renta usianya tak lagi bisa membuatnya menangis. Sepanjang waktu memunguti ranting-ranting kayu, dari musim ke musim. Mengumpulkannya satu demi satu untuk dibawa pulang, dijemur, lalu ditumpuknya di sudut dapur yang perapiannya membara hanya untuk ubi dan air, sekedar untuk menemaninya menutup mata dan telinga.
Memilih jadi patung yang diam gagu sewaktu remuk tubuhnya digauli suaminya dengan buas, tanpa peduli sendi-sendi tubuhnya terlepas sejak pulang menuruni bukit diatas sana untuk yang kesekian kali hari itu. Mematung dibawah tindihan tubuh laki-laki yang menamparnya keras dengan akad yang tak pernah membuatnya berkuasa atas tubuhnya sendiri.
Memilih menjadi buta sewaktu anak lelakinya terhuyung memasuki rumah dengan karung besar berisi entah, tak ada ciuman ditangannya dari anak yang dilahirkannya sendiri tanpa bantuan dukun beranak.
Memilih menjadi tuli ketika anak perempuannya mendesah keras dari bilik disamping tubuhnya, entah dengan laki-laki yang mana lagi di dalam sana.

Bukit yang membuat tubuhnya tak pernah lelah naik turun sekian puluh tahun ini hanya bukit yang sunyi. Pohon-pohon tua yang hidup berakar pada tanahnya tampak begitu muram. Disana perempuan itu duduk termangu seorang diri. Rumah kayunya yang tua dimakan musim masih menempel di punggungnya. Tak ada siapa pun disini, hanya ada perempuan itu. Angin sedikit kencang berhembus, membuat bulu kuduk berdiri. Perlahan rumah yang dibawanya kemana-mana diturunkan, diletakkannya disamping tubuhnya yang bersandar letih pada sebuah pohon. Nafas beratnya terlepas. Dihisapnya kuat-kuat sebatang rokok linting yang tinggal seruas jari.
"Tuhan, kemarilah.... duduk di dekatku," Bibirnya bergetar. Matanya nanar menatap rumah-rumah kecil dibawah bukit. Garis-garis halus di ujung matanya tampak begitu jelas meski hari masih ditutupi mendung sedari pagi.
"Ah Tuhan..., sampai kapan rumah tuaku ini kubawa kemana pun tiap aku pergi?" Matanya mulai berkaca-kaca. Semakin dalam dihisapnya rokok di tangan, lalu awan-awan kecil itu berhamburan keluar dari sedikit celah dibibirnya yang hitam.
"Rasanya tak ingin lagi kubawa suami dan anak-anakku di punggung. Tak mungkin lagi menyembunyikan mereka dibelakang punggungku dari mulut busuk orang-orang kampung.....," Tubuhnya tergetar, entah karena apa. Airmatanya menetes. Dingin menguap.

Bukit mulai dihujani gerimis. Gemericiknya menampar daun-daun. Muram kembali datang. Perempuan dengan rumah kayu di punggungnya mulai menuruni bukit. Tubuhnya agak membungkuk, tatapan matanya khusyu' menelan jalanan licin yang tanahnya hitam legam, sehitam kehidupan dibawah bukit yang hendak ditujunya pada ujung perjalanan pulang. Rumah, tempat usia tak pernah membuatnya lelah menyembunyikan aib dan busuknya keringat orang-orang yang disusuinya dengan cinta sampai hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"