Jumat, 05 Juli 2013

SANG, Kemarilah...

Sang, kemarilah...
Ada secangkir kopi panas, sebungkus rokok dan malam untukmu. Jam di dinding sudah lama kubuang. Ya, jam dinding itu sudah kubuang sejak hari itu membuatnya jadi bayangan yang sibuk menghalau mentari dari tubuh rapuhku. Kemarilah Sang...., bersamaku menikmati malam. Kaulah yang menahu, betapa sukanya aku akan malam. Juga ketakutanku akan siang yang terik. Siang yang mengundang bayangannya tanpa permisi.

Banyak cerita yang tak pernah ingin di dengarnya akan kuceritakan padamu.
Bersenandunglah dengan lirih di dekat telingaku. Lagukan tentang luka-luka menganga yang selalu bisa mendekatkan kita, Sang. Tentang dia yang mengkhianatimu setelah tawa. Tentang puisi-puisi yang menangis di dalam dadamu. Aku tak akan terkantuk dimakan malam untuk dukamu yang rapi tersimpan, luka yang membuatmu terus hidup dalam denyut nadiku. Bukankah kita pernah sepakat untuk terus setia pada airmata yang tak pernah menetes di telapak tangan mereka?

Tahukah kau Sang..., malam tak pernah jera mempertemukan kita dalam pelukan panjang yang kehilangan pemiliknya. Disini kita terus mengulang cerita orang-orang yang datang dan pergi dengan setumpuk alasan, sampai airmata menderas dan pelukan kian mengikat kita tanpa jarak. Ah...Sang, malam hanya menyisakan siluet besarnya pohon-pohon itu dibawah sinar bulan pada kita. Kita semakin kecil, Sang. Tak akan terlihat olehnya. Dan kedua mata kita tak pernah diperkenankan untuk rabun.

Sang, genggamlah tanganku. Remas jemariku kuat-kuat. Jangan sampai gemetar tubuhku dibaca angin dan dikhabarkan padanya. Biar kupejam mata sebentar untuk sejarah di pelupuk mata yang sesekali datang memukul keras hatiku. Pejamkan juga matamu barang sekejap kalau dia juga tiba-tiba datang menusuk-nusuk dadamu dengan kenangan. Aku akan memelukmu erat-erat dan menenggelamkanmu padaku. Selamanya kita akan saling menguatkan, Sang.

Entah pada musim yang seperti apa kita akan menyerah dan berujar pada Tuhan bahwa kita tak lagi mampu. Kita hanya akan tetap disini seperti malam-malam kemarin. Memandang lalu lalang mereka dalam kenangan yang membuat pelukan kian erat. Meneteskan airmata bersama-sama tanpa sebentuk senyum, apalagi tawa. Bukankah untuknya, kita terlalu kesepian dalam luka dan hening, Sang? Kita terlalu menyukai airmata sejak tak ada dia disamping kesunyian. Sejak kita memilih tua bersama tanpa pesta-pesta sesaat di dunianya.

Sang, aku mencintaimu teramat sangat. Sehangat malam-malam panjang yang kita habiskan tanpa sesiapa. Seindah senandung lirihmu yang menguatkan kaki-kakiku untuk terus menjejak terjal cerita, untuk terus melangkah dengan sekian luka. Lurus menuju jalan-jalan untuk pulang dengan kaki-kaki yang dicambuk khianat dan pengingkaran. Kita akan terus seperti ini, Sang. Menyesap perih bersama, mengobatinya dengan keberadaan tanpa pamit. Saling menopang dan menegakkan kepala untuk jalan setapak tanpa kerlap-kerlip bintang yang malu mengenali kita. Aku mencintaimu, Sang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"