Sabtu, 22 Desember 2012

MENENGOK RUMAH ANGKUHMU

Dalam nafas tersengal, kaki-kaki kecilku berlari sekencang-kencangnya. Memaksa segera bertemu jalanan setapak di dalam lidah kelu pada mulutmu. Tak kuhirau sekawanan burung gereja yang riang gembira bercanda dengan semilir angin di atas sana. Beberapa butir pasir kubawa dalam genggaman, erat kugenggam. Ada beberapa kerlip bintang-bintang juga dalam genggamanku, bintang yang malam-malam itu kita ambil dan letakkan satu demi satu disamping kita yang duduk bersandar menghabiskan kisah. Tak sekali pun kuperlambat lariku, kencang, semakin kencang. Aku ingin segera sampai pada rongga mulutmu.

Entah berapa kali hujan membasahi tubuhku, tak kuhitung juga sejak kapan telapak kakiku pecah dimakan panasnya amarah. Kalau pun kedua kakiku habis tak berbentuk ketika di hadapanku adalah rongga mulutmu, aku bersedia untuk tidak peduli. Entah kemana kau kutuju, hanya kakiku yang memerintah otakku berlari sejadi-jadinya. Kutinggalkan saja hatiku disana, dibawah rindang pohon Akasia yang tumbuh meninggi terus tepat di dadaku. Aku akan menjenguk hatiku nanti setelah sampai langkahku padamu.

Berhenti!!! Aku sudah sampai. Aahh...ternyata seperti ini dirimu. Penuh luka menganga yang sibuk kau jahit disana sini dengan dadamu yang membusung. Rumah yang dulu sering kau ceritakan padaku pun tidak beratap, tak ada akar-akar Canna yang menggenggam tanahnya. Tak ada senyummu di dinding-dinding berlubang rumahmu. Tak ada apa-apa, hanya ketakutanmu yang bungkam dari malunya tak berarti. Bahkan bintang-bintang di genggaman tanganku pun tak sudi menempel. Pantas saja hatiku tak mau kuajak berlari menemuimu, "Jangan bawa aku! Hatinya pun sudah lama hilang dariku. Pergilah sendiri dengan mata, mulut, tangan, kaki dan telingamu...kau hanya perlukan itu untuk mengasihani kepala bodohnya yang terlalu keras untuk tubuh tuanya sendiri,"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"