Sabtu, 30 Juni 2012

BINTANG JATUH PADA BAHU PEREMPUAN YANG MENCARI WARNA MERAH DALAM DARAHNYA

     Malam ini bintang-bintang jatuh di atas jemari kakiku, berkilat-kilatan mengajak raut mukaku tersenyum. Aku hanya tertunduk mengamatinya lamat-lamat dalam busung dada yang penuh sesak. Sepi sekali pinggiran hatiku malam ini, lebih sepi dari malam-malam kemarin. Disana masih kulihat diriku memeluk tubuh laki-laki tua itu dengan airmata berjatuhan di pipi,
"Pak, aku anakmu khan...?"
Jemari tanganku mengusap punggung tuanya, mencoba mencium bau darah dibawah jaringan kulit dadanya, merah tua warnanya, tapi tidak ada bau darahku padanya. Roh laki-laki tua itu tidak bergera, hanya mulutnya yang melumat habis bibirku. Dengus nafasnya mengeluarkan bara api yang membakar mataku. Ruangan ini tiba-tiba gelap, hanya tubuh telanjang kami yang mengkilat karena keringat yang masih menari kesana kemari menganiaya ranjang. Lambat laun tubuhnya luruh, berjatuhan dalam kepingan-kepingan kecil memenuhi lantai kamar yang gulita. Aku benar-benar tak bisa melihat apa-apa, gelap. Seperti yang sudah-sudah, akhirnya bau lembaran uang itu sampai pada hidungku. Pelan-pelan mataku kembali terbuka sewaktu jemari tangannya membelai helai-helai rambutku. Dia bapakku! Takjub jiwaku luruh dalam pelukan hangatnya yang menyelimuti risau hatiku.
Dipungutinya kemeja dan celana kainnya yang berserakan di atas ranjang yang lembab penuh keringat, dan sekedip mata tubuh telanjangnya tertutup. Lembaran uang yang beberapa menit tadi menyadarkanku dari kegelepan, tiba-tiba sudah ada ditelapak tanganku yang tengadah. Setengah berlalu, lamat kudengar bibirnya meninggalkan jejak padaku,
     "Aku bukan bapakmu,"
Aku masih saja sibuk mengendus-endus ke seluruh penjuru kamar, mencari genangan darah yang baunya serupa dengan warna merah darahku. Suara ibuku terus terngiang di telinga ketika tubuh laki-laki tua itu berlalu menjauhi pintu kamar yang sedikit terbuka,
     "Bapakmu selalu mencari pelacur, jadilah pelacur kalau kau masih berkeras hati mencarinya,"
     Malam itu bintang-bintang jatuh di atas pangkuanku. Aku melihat wajah cantik ibuku dipenuhi warna-warni di kelopak mata, alis, pipi, bibir dan lehernya. Banyak warna merah yang kutemukan padanya. Dari kejauhan kulihat ibuku mendesah dalam tawa dan rintih yang tak kumengerti. Suara-suara itu akrab kudengar sejak aku masih meringkuk di dalam perutnya, dan masih juga tidak bisa kumengerti artinya. Di dalam kelambu kusam itu, ibuku menari diatas tubuh telanjang dengan butir-butir keringat yang mengajak lampu kamar menjadi sesekali berkilatan. Lalu ibu tertawa merayu pada laki-laki di hadapannya dengan rambut panjangnya yang berantakan.
     Aku bersembunyi di dalam gelap, tanpa suara, sampai ibuku keluar dan menarik tanganku dengan penuh amarah. Dibawanya aku ke kamar.. Ibu diam dan melirikku ang terduduk disampingnya. Aku mengamati warna-warna merah di wajah dan lehernya yang di hapusnya dengan kapas basah. Warna merah di leher dan dadanya tidak bisa terhapus dengan kapas basah itu.
     "Dia bukan bapakmu!"
     "Kapan ibu memberitahuku yang mana bapakku?"
     "Sudahlah! Jangan merengek terus meminta bapakmu, aku muak!"
Aku terdiam. Ibu juga terdiam. Kekecewaan datang lagi di dadaku. Sepi. Ibu melirikku.
     "Kamu anakku, itu saja sudah cukup,"
Aku diam. Selamanya diam. Hanya malam-malam yang penuh dengan lenguh dan tawa aneh ibuku dari kamar sebelah yang membuatku tak pernah bisa diam. Suara laki-laki yang menggumuli tubuh ibuku sering sekali memaksaku memunguti sejarah dari atas ranjangnya. Pernah sekali kudengar dari dalam sana laki-laki itu bicara,
     "Anak itu anakku bukan?"
Lalu suara tawa ibuku dan laki-laki itu terdengar lebih keras di telingaku. Tak ada apa-apa yang kudengar lagi dari mulut ibuku.
     Aku tercipta dari merahnya darah yang menghablur di atas ranjang. Bapak dan ibuku membuatku terlahir, dan waktu membuatku mengumpulkan warna merah dari tubuh-tubuh mereka yang datang padaku sejak malam aku mencari bapakku.
     "Bapakmu selalu mencari pelacur, jadilah pelacur kalau kau masih berkeras hati mencarinya,"
    Dan bintang-bintang itu jatuh diatas bahuku, membuatku terkubur makin dalam pada kamar gelap yang menghadirkan tubuh telanjang mereka pada tubuhku yang mencari sejarahku bermula dari atas ranjang. Semakin lama semakin membuatku terbenam dari pagi yang menghitamkan raut mukaku. Aku masih mencari bapakku ; mencari warna merah dalam darahku.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"