Kamis, 26 April 2012

POHON-POHON BESAR YANG TUMBANG DI BAWAH BANTAL DAN DI DEPAN PINTU KAMAR DENGAN BANYAK ALASAN


     Kubuka jendela kamar lebar-lebar, aku ingin sekencang-kencangnya udara dari luar menggantikan pengabnya suhu kamarku. Dengan sigap juga, cepat-cepat ku buka seprai berwarna abu-abu gelap ini dari kasur, membuka juga sarung bantal dan gulingnya. Harus segera diganti dengan yang masih bersih. Aku tidak mau keringat laki-laki itu menempel lagi ditubuhku, meski dari selembar seprai yang beberapa jam lalu jadi alas kami bercinta. Kulemparkan begitu saja seprai, selimut, sarung bantal dan guling ini ke mesin cuci dan memutarnya lama-lama disana, tak boleh ada baunya yang tertinggal lagi pada seprai itu. Buru-buru juga ku pasangkan seprai baru yang ku ambil dari lemari dan membungkuskannya pada kasur dan bantal gulingnya. Nyaris selesai…, ku hampiri rak bukuku di samping pintu kamar dan mencari pewangi ruangan yang kuletakkan di bagian atas rak bukuku itu, lalu menekan tombol manualnya disana. Kurebahkan tubuhku diatas kasur dan kutarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Wangi pengharum ruangan mulai tercium, hhmmm…lega rasanya.
     Keringat sisa panasnya persetubuhanku beberapa jam lalu dengan laki-laki itu masih menempel di sebagian tubuhku, kening, leher, belahan dada, punggung dan pinggang. Pada kening, leher, dada, punggung dan pinggangku pula aroma tubuh laki-laki itu menempel. Begitu ingatanku sampai di situ, aku panik, secepatnya aku masuk ke dalam kamar mandi dan menghujani sekujur tubuhku dengan air hangat yang mengucur deras dari mulut shower. Berkali-kali kugosokkan spon yang sudah kugenangi dengan sabun cair pada sekujur tubuhku. Aku tak mau ada jejaknya pada tubuhku. Aku jijik!
     “Kau betul-betul perempuan yang bisa memuaskan aku, Leks,”
Kemaluannya yang menciut belum juga di keluarkannya dari dalam tubuhku. Pergilah dari tubuhku, aku sudah tidak membutuhkanmu.
     “Tapi kau bukan laki-laki yang bisa memuaskan aku, Ndra!”
     “Mungkin karena aku terlalu capek hari ini, Leks…”
     “Mungkin…,”
     “Tapi aku pernah membuatmu puas khan Leks?”
     “Selama ini…belum pernah,”
     “Kamu serius Leks?”
     “Iya,”
Wajahnya yang baru beberapa menit lalu seperti wajah seorang raja tamak yang memenangkan tahta dengan culas tiba-tiba berkerut-kerut sedemikian rupa. Entah kenapa. Tapi setidaknya karena obrolan barusan, akhirnya kemaluannya terlepas dari tubuhku. Lega.
     “Benarkah selama ini aku belum pernah memuaskanmu Leks?”
Tubuh telanjangku yang baru saja lega mengatur nafas di atas lembabnya kasur karena keringat yang membasahi, seketika merasa begitu bertenaga, begitu ingin beranjak. Ketika kulirik dengan ujung mataku dan kudapati pohon-pohon besar yang besar batangnya tak cukup dengan dua pelukan terentang orang dewasa itu tumbang, terjungkal dan diam terpasung di bawah bantal disamping tempatku berbaring. Bantal itu menutupi kepala pohon yang lebat bercabang dengan daun-daun besar berwarna hijau. Pohon itu begitu besar, rasanya terlalu memalukan kalau pohon sebesar itu tiba-tiba tumbang dan menyembunyikan raut mukanya di bawah bantal.
     “Pulanglah, aku mau tidur cepat malam ini,”
Dikeluarkannya kepalanya dari bawah bantal yang sedari tadi menjadi benteng persembunyiannya.
     “Bolehkah sekali ini aku menginap disini Leks? Aku ingin menemanimu semalaman,”
     “Tidak boleh,”
     “Kenapa Leks, apa karena aku tidak pernah bisa memuaskanmu?”
     “Aku tidak suka tidur dengan orang asing,”
     “Leksa, aku ini bukan orang asing. Nyaris tiap minggu aku kesini untuk bercinta denganmu, kenapa kau sebut aku orang asing?”
Aku malas menjawab rengekan laki-laki yang memang tidak pernah kukenal selain kemaluan dan tubuh telanjangnya yang sok perkasa tiap kali menyetubuhiku. Ku ambilkan kemeja dan celananya yang tercecer di lantai saat saling mencumbu tadi. Kulemparkan diatas ranjang dan kuhempaskan tubuhku pada sofa kecil di depan rak tv, mencari remote dan menyalakan tv dengan setengah hati, ayo…segeralah pergi!
     Hampir tiap kali Indra dan laki-laki lain yang sengaja ku undang kemari untuk bercinta denganku selalu kuperlakukan tak lebih dan tak kurang seperti perlakuanku pada Indra. Dan reaksi mereka juga belum ada yang sama sekali berbeda dengan reaksi Indra, meratap, penasaran, mengharap, sekaligus kehilangan nyali di waktu yang sama. Hanya karena jawabanku tentang kemaluan mereka yang tidak bisa memuaskanku, nyaris seluruh harga diri mereka terbuang. Garis-garis wajah mereka akan turun beberapa senti, dan mata mereka seperti tak punya keberanian untuk menatapku. Mulut mereka pun akan tiba-tiba terkunci rapat,  kehilangan nyali untuk berdebat dengan penolakanku terhadap mereka.
     Aku begitu kecanduan pada reaksi mereka. Aku tidak pernah mencari kepuasan dari kemaluan-kemaluan mereka, tapi aku memburu garis-garis wajah dan kecewa yang terbaca pada mata mereka. Aku bisa tiba-tiba mengalami kepuasan luar biasa, ketika dengan kepala tertunduk dalam-dalam, mereka berlalu meninggalkanku sendiri, tepatnya setelah aku mengusir mereka. Aku puas ketika mereka menyembunyikan wajah dan membuang harga diri mereka di bawah bantal hanya karena sebaris kalimatku tentang ketidakpuasaanku bercinta dengan mereka.
     “Jangan tinggalkan aku,”
     “Sudahlah Leksa, pergilah… dan jangan pernah lagi kemari,”
     “Tapi aku mencintaimu Restu, aku ingin selamanya tinggal disini denganmu,”
     “Aku sudah tidak membutuhkanmu Leksa, ini sudah sangat cukup. Aku bosan denganmu,”
     “Katamu kau mencintaiku Res?”
     “Itu dulu, dulu sekali. Sekarang aku mencintai perempuan lain,”
Aku tumbang. Tanganku yang bercabang kemana-mana hingga nyaris menyentuh langit, tiba-tiba mengering, retak dan patah satu-satu, berguguran pada tanah yang terbungkus katun bercorak. Aku tak mampu menatap wajah Restu, laki-laki yang kucintai, laki-laki yang membuatku tumbuh subur penuh cabang dan berakar kekar dengan cinta.
     “Kenapa baru sekarang kau bosan padaku Restu?”
     “Kau sudah tidak bisa memuaskan gairahku di ranjang Leksa. Terlalu banyak kewajiban ini itu yang kau bawa di ranjang ketika kita bercinta. Selalu kau ceritakan ini itu tiap kali kita hendak bercinta. Aku muak dan bosan dengan itu, ikatan, tanggungjawab, semuanya begitu menyesakkan. Aku tak bisa lagi bergairah denganmu,”
Aku mengering, kulit coklatku betul-betul mongering, mengelupas bagian demi makian, runtuh menjamah tanah. Seluruh bagian tubuhku luruh dan jemari-jemari tanganku yang bercabang sampai nyaris menggapai langit memaksaku tumbang. Aku tenggelam di bawah bantal, tak lagi berani menatap Restu, tak ingin mengucap apa pun lagi. Aku tumbang.
     “Leksa, kemarilah…,”
     “Ada apa?”
     “Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin memelukmu,”
Aku tidak menatapnya, tidak juga meliriknya. Telingaku merasa asing ketika mendapati permintaannya. Ini tidak biasa, dia tidak pernah melakukan itu setelah kami mengakhiri pergumulan di atas ranjang.
     “Aku hanya ingin kita berpelukan dan mendengarkan ceritamu,”
Aku diam. Tak sedikit pun bergerak, menengok pun tidak. Aku selalu disini tiap kali selesai bercinta, di sofa menikmati siaran tv yang sama sekali tidak kutahu sedang menyiarkan apa.
     “Aku terlalu sering menceritakan hidupku. Kali ini aku ingin mendengar tentang kisah hidupmu. Kemarilah Leksa,”
     “Cepatlah pulang, waktumu sudah habis. Aku ingin sendirian,”
     “Aku masih punya banyak waktu Leksa, bahkan untuk menemani selamanya disini,”
     “Aku tidak memerlukanmu selama itu,”
     “Mungkin…, sudahlah…kemarilah, peluk aku,”
Kakiku mulai mengeluarkan akar-akar kecil dari sela-sela jemari. Begitu juga tanganku, akar-akar itu tumbuh sangat pendek, tapi tumbuhnya bersamaan.
     “Apakah kau tahu namaku Leksa?”
Mulutku terkunci.
     “Biasanya kau menyebutku laki-laki hari Senin, karena aku selalu menemuimu tiap hari Senin. Tapi itu bukan namaku. Apakah kau mau tahu siapa namaku?”
     “Pulanglah, ini bukan rumahmu dan aku tidak pernah butuh teman ngobrol,”
Aku meninggalkannya, menuju dapur dan membuat secangkir kopi. Kuperhatikan akar-akar kecil yang tumbuh di sela-sela jemari kaki dan tanganku. Hanya karena dia menyediakan waktu dan kepalanya untuk mendengarkan kisah hidupku, akar-akar ini sudah tumbuh. Bodoh! Aku harus mencongkel akar-akar itu dengan pisau dapur. Dan aku mulai mencongkelnya dengan ujung pisau yang runcing. Aku tidak mau akar-akar itu menjadikanku pohon yang kian hari kian besar, berakar dan bercabang karena banyak harapan, waktu dan mungkin cinta yang diberikannya saat ini dan beberapa saat ke depan. Aku tidak mau! Aku tidak akan pernah mau menjadi pohon besar yang tumbuh menyentuh langit, lalu tiba-tiba di tumbangkan begitu saja olehnya.
     “Cepat, pulanglah!” Aku menghampirinya dikamar dan berteriak sekencang-kencangnya. Histeris. Dia tersentak kaget. Menatapku sebentar lalu buru-buru memunguti pakaiannya.
     “Tenanglah Leks,”
     “Cepat pergi dari sini, aku muak!”
 Dia melirikku dengan tubuh gemetaran ketika mendapati sebilah pisau di tanganku. Ternyata pisau yang kupakai mencongkeli akar-akar di sela-sela jemariku tadi masih kugenggam erat-erat.
     “Iiiyaaa Leksa….,”
     “Cepat!”
Dengan buru-buru, dipasangnya kemeja dan celana panjangnya sambil sesekali melirik siaga ke arahku.
     “Namaku Pambudi Widagdo, aku suka membaca. Aku bisa membacakan buku tiap kali kau hendak tidur. Aku ingin mengenalmu Leksa,”
Mulutnya yang kurang ajar, seenaknya mengeluarkan kalimat-kalimat yang kembali membuat akar-akar yang tadi ku congkeli tumbuh lagi.
     “Pergiiiiiiiiiiiiiiiiii…..!”
Wajahnya langsung pucat pasi mendengar teriakanku. Kepalanya menunduk dalam-dalam menatap lantai. Buru-buru dia tinggalkan kamar tanpa berani lagi menengok padaku. Pohon besar itu tumbang, daun-daunnya rontok memenuhi lantai, akar-akarnya mencabut tanah basah dan menghitamkan sebagian lantai yang tertutup dedaunan. Pohon besar itu kali ini tidak tumbang di bawah bantal, tapi di depan pintu kamar.   

2 komentar:

  1. wedew... aku suka penggunaan kata pohon besar dan akar, apik mbak, cocok dan pas. tahu gak? satu2nya mahluk hidup yg tak bisa mati (umurnya hampir selamanya) hanya tumbuhan. jadi tepat utk menggambarkan rasa cinta/sayang. mantabz. tapi alurnya kurang dramtik mbak, jadi kesanne mendengar mbak yayag cerita, blum bisa kayak me;ihat sendiri kejadian ini, opo mergo alurnya lurus wae gitu yo? coba nek digawe flash back, atau tragedinya di awal cerita, hi hi hi maap mbak hanya usul hi hi hi

    salammmmmmmmm :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Bowo jeli!
      Tak tulis pas lagi mumet, konsentrasi mlayu mrono mrene, makane tak post karo ngedumel, "Hadoooooooooooohhhh...!"
      Ben sik, ngenteni sing njewer tambah akeh kah, hihihi....
      Maturnuwun sanget waktune mas Bowo ;)

      Hapus

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"