Kemarilah, aku merindukan cambukanmu pada kaki-kakiku. Cambuk kakiku  lebih keras. Aku belum ingin berhenti, tidak untuk saat ini. Tidak  untukmu. Kemarilah, biar kuceritakan lagi padamu tentang pahitnya  manusia-manusia telanjang yang membawa kemaluannya kemana-mana,  dimana-mana. Yah, seperti hari-hari kemarinku denganmu disini, di  ranjang bisu tanpa selembar selimut pun. Hari ini masih sama, aku  melihat mukanya penuh dengan kesulitan untuk memenangkan keberadaanmu.  Kau tetap direbahkan pada mimpi-mimpi yang tiba-tiba terhenti karena kau  seharusnya tidak boleh ada. Tidak diantara cinta dan pergumulan birahi  yang kerap membuatnya kelelahan mengejar nikmat sekejap lalu dikejar  paksa olehmu. Kau dikalahkan lagi,  harus rela mengalah dan bungkam. 
      "Apakah mereka mencintaiku?" Lembut kau tanyakan itu padaku yang  membelai halus rambut sebahumu dengan airmata yang meleleh. 
      "Tidak, mereka tidak pernah mencintaimu. Tapi mereka pandai bercinta,"  Matamu menatap lurus padaku, menenggelamkanku pada kecewa. Dan kau jahit  lagi mulutmu dengan tali senar dengan jarum dingin yang pelan-pelan  berubah warnanya menjadi merah. Sedikit darah tumpah dari mulut mungilmu  yang tertutup jahitan. 
     Matamu terus mengajakku bicara,  mengajakku melihat bukit hijau di belakang rumah. Bukit tempatmu biasa  menghabiskan pagi dengan embun di ujung hidung dan nyanyian riangmu.  Disana matamu terbeliak menikmati kupu-kupu berwarna kuning yang terbang  mendekat dan menjauhimu. Dari bukit itu kau lihat kehidupan dengan kaki  kecilmu yang tak pernah lelah mendakinya meski sering sekali teriakanku  membuatmu berhenti, sekedar memberiku sedikit senyum dan menarik  tanganku untuk ikut menghabiskan bukit itu denganmu. 
    Hanya  bukit itu yang bisa kuberikan padamu. Bukit yang rapat dengan rindangnya  pohon-pohon tua, penuh dengan kebahagianmu. Kau pernah menggambarkan  bukit itu pada selembar kertas putih ketika kita berdua berpelukan di  teras rumah lama yang penuh dengan desas-desus tetangga tentang kotornya  dirimu ; hitam seperti jelaga pada cerobong asap di dapur-dapur rumah  mereka, rongsokan yang dibuang dan sesekali diludahi dengan penuh jijik,  noda pada kemeja putih dan bibir bergincu mereka. 
     "Ini  cinta," Begitu saja kalimat yang keluar dari mulutmu ketika gambar itu  kau tunjukkan padaku. Bongkahan pipimu menggumpal sekal, memaksaku  menghentikan kesibukanku menampari satu persatu mulut para tetangga yang  sibuk menguburmu hidup-hidup, untuk kemudian kuperhatikan gambarmu  dengan seksama. Dan kubalas ucapanmu, 
     "Ya, ini cinta. Ada  tunas-tunas muda bermunculan pada tanah basah di musim penghujan, rapat  di bawah pohon-pohon tua yang memayunginya dari musim,"
     "Kau  pohon tuaku," Jawabmu, dan sejak itu kita pindah mendekati bukit itu,  mendekatkanmu dengan cinta yang gambarnya kau tunjukkan padaku hari itu.
***
      "Bil, temani aku sore ini ke klinik itu ya? Jodie gak kuat mendengar  tangisanku. Aku gak mau Jodie pingsan lagi seperti tahun kemarin,"
     "Gak ah, ajak Disti saja,"
     "Ayolah Bil, Disti selalu mau enaknya saja, mana pernah mau dia kalau diajak yang gak enak-enak begini. Mau ya?" 
     "Gak mau,"
      "Please...ini yang terakhir deh, besok-besok aku pasang spiral deh biar  gak nyusahin kamu lagi. Tapi kali ini mau ya? Nanti kujemput dikantormu  pas jam makan siang,"
Tuuuuttttt....ttuuuuuutttt, dan telpon itu terputus begitu saja. Menyebalkan.
      Disinilah aku dan Shilla, duduk pada bangku pucat yang terisi beberapa  perempuan dan laki-laki dengan wajah-wajah tegang. Hanya Shilla dan  sepasang pasien yang terlihat lebih santai dengan canda dan obrolan  ringannya. Satu persatu perempuan-perempuan itu masuk dalam neraka, dan  laki-lakinya mondar-mandir di depan pintu neraka dengan muka merah dan  raut muka yang sangat tegang. Tak lama setelah itu, tubuh perempuan tadi  dikeluarkan dari dalam neraka, tergolek pucat dan lemas diatas ranjang  dingin, mencari laki-laki perkasanya. Dan laki-laki resah tadi segera  terbangun dari ketakutannya, buru-buru bertanggungjawab, menggenggam  jemari perempuannya dan mengangkat dagunya yang sedari tadi terbenam di  kerongkongannya.
     "Tampang laki-laki yang kau perhatikan itu  jauh lebih enak dilihat dari muka Jodie sewaktu pertama kali kesini ya  Bil, hahahaha....,"
****
     "Shilla membunuhnya lagi?"
     "Ya, meludahi dengan tawanya yang memenuhi klinik itu dan lagi-lagi,  kalau Shilla tidak lupa, menjahit surganya dengan spiral,"
Kau  menanyaiku pertanyaan yang sama, dan jawabanku juga sama seperti  jawabanku yang dulu. Matamu terus mengikutiku sampai aku membersihkan  tubuh di kamar mandi ; membuang aroma neraka, menghabiskan sisa muntahan  yang masih tertinggal di kerongkongan, mengembalikan kaki-kakiku  padamu. 
     "Mereka saling mencintai?"
     "Tidak, mereka  hanya pandai bercinta," Dan kau terdiam di ranjang, melebarkan  tanganmu, menunggu pelukanku. Dan aku memelukmu dengan tubuhku yang  tidak lagi berbau neraka. Menghangatimu dengan diriku yang lusuh dan  muak. 
     "Aku diperbolehkan hidup, berarti mereka mencintaiku," Kau merengek dalam pelukanku.
     "Tidak, mereka tidak pernah mencintaimu. Mereka hanya pandai bercinta," 
Isak tangismu pecah lagi. Selalu begitu tiap kali jawabanku untuk pertanyaan-pertanyaanmu membuatmu kecewa. 
      "Maukah kau jahit mulutku malam ini? Jari-jariku terlalu gemetar untuk  menjahitnya sendiri," Dengan tubuh gemetar dan airmatamu yang menetes  deras, kau sodorkan jarum bersenar itu padaku. Dan aku mulai menjahit  mulutmu tanpa airmata, hanya saja tubuhku tak kalah gemetarnya dengan  tubuhmu. Matamu yang menghancurkan diriku. Matamu yang membuat tubuhku  bergetar hebat. 
*****
     "Billa,  Billa...untuk apa sih terus-terusan membuat tubuhmu remuk dengan  kelakuan Killi. Kembalikan saja dia pada ibunya, nikmati hidupmu  sendiri," Shilla memandangku dengan jijik di luar pintu kamar mandi  sewaktu kubersihkan pantat Killi dari sisa-sisa kotoran air besarnya. 
      "Shilla benar Bill, kembalikan saja Killi ke ibunya, biar gak ada lagi  laki-laki takut ngawinin kamu," Jodie menimpali keluhan Shilla dari  dapur sambil mengaduk berisik secangkir kopi hitamnya. Aku hanya diam,  sibuk merekatkan diapers pada Killi yang juga terdiam mencengkram  leherku kuat-kuat. Shilla terus membuntutiku dengan racauannya, 
      "Idiiiihhhh...Killi sudah 8 tahun, tapi masih saja pakai diapers. Mana  gak juga bisa ngomong. Duhhhh...Bill, Bill....mau sampai kapan sih kamu  terus-terusan menyusahkan hidupmu sendiri. Sebentar-sebentar susternya  Killi nelpon gangguin kerjaanmu kalau Killi kambuh ngamuknya,  sebentar-sebentar Killi kejang-kejang, sebentar-sebentar....aaaahhhhh,  anak yang menyebalkan, gak tahu diri," Emosiku mulai terkumpul karena  mulut kotor Shilla. 
     "Killi itu bukan anakmu Bill, hanya anak  haram! Ibunya saja membuangnya, kenapa juga kamu besarkan dia.  Kembalikan saja dia pada ibunya, atau kembalikan lagilah Killi ke panti  asuhan itu,"
     "Jodie benar, nanti aku anterin deh kamu kalo'  ngembaliin Killi ke panti. Kawin saja kamu sama temen Jodie yang naksir  kamu itu Bill, ntar kalo' emang cocok, nikahlah dengannya, hamil, punya  anak sendiri. Kalau gak cocok, terlancur hamil, gugurkan, cari laki-laki  yang lain. Hidup itu mudah Bill, gak serumit hidupmu sekarang. Gak  harus memungut anak orang yang nyusahin begitu,"
   Terus saja  Shilla dan Jodie bersahut-sahutan meracuni telingaku dengan kekerdilan  dari mulut-mulut kotor mereka. Emosiku makin terkumpul, membuat mataku  memerah. Dengan ujung mata kulirik Shilla dan Jodie yang masih terus  meracau ; memasuki pagar halaman rumahku, menginjak-injak tunas-tunas  baru pada tubuh Killi, menyayat ujung-ujung daun muda pada pot-pot yang  tiap pagi kuhidupi dengan air jernih dari tubuhku. Aku terpancing. Killi  makin erat memeluk leherku dalam gendongan. Tubuhnya hangat, hangat  sekali. Jemarinya menyentuh lembut pipiku. Matanya mencariku, matanya  ingin melihat mataku. Matanya memintaku, 
     "Kau surgaku, kau cintaku..."
      Tidak ada lelahku menghidupimu dengan cintaku. Tidak akan ada. Sekotor  apa pun mereka menjadikanmu cambuk untuk kaki-kakiku, tidak akan  langkahku terhenti. Killi, kau tubuhku yang berkaca, Nak. Matamu adalah  mataku, pertanyaanmu adalah pertanyaan-pertanyaanku yang pernah  kutanyakan pada siapa pun yang ada di dekatku sejak tigapuluh tujuh  tahun yang lalu. Kita sama, Nak. Aku yang dibuang dan ditinggalkan  begitu saja di panti asuhan setelah pergumulan birahi. Kau yang juga  diludahi ibu bapakmu setelah bercinta tanpa cinta. Aku yang berhenti  bertanya ketika mendapatimu di panti dengan mulut terjahit, memilih bisu  dan diam karena pertanyaan-pertanyaan itu sudah lebih dulu kau tanyakan  dari dalam rahim ibumu yang biadab dan bapakmu yang hanya bisa mencipta  laknat. Kau yang terus berteriak penuh marah dan membuat suster  pengasuhmu kebingungan dan panik memintaku pulang ketika kau ketakutan  kutinggalkan selagi bekerja. Aku yang juga takut kehilangan ketika  laki-laki mendekatiku hanya ingin bercinta, lalu membuatku hamil dan  membuang janin ; membuka pintu neraka. Kita sama, Nak...dari hari ke  hari sama-sama melihat pintu-pintu neraka dibuka paksa dari mereka yang  kotor meski selalu kita yang dinamai kotoran.  
                                                                       ******
hwoooow.. membawa kemaluanya kemana mana :) nice words
BalasHapus