Senin, 30 Januari 2012

PESAN DI PINTU LEMARI ES YANG MELUKIS MALAM DENGAN AIRMATA

       "Jangan kau nyalakan dulu lilin itu. Kemarilah,"

Setengah kaget kutengok asal suaramu yang berat dan memecah heningnya malam. Disana kau menggelar luasnya dekapanmu. Kubatalkan airmata yang nyaris berontak. Gontai kuhampiri dirimu yang tersenyum. Jatuh galauku dalam pelukanmu, laki-laki yang kucintai sebelum malam menghitam.
       Ini malam di luar kebiasaanmu denganku. Tidak seperti biasanya. Tubuhku penuh siaga dalam pelukanmu yang entah untuk apa malam ini. Belai jemarimu pada helai-helai rambutku tak pernah bisa kurasakan lagi hangatnya. Satu lagi keterasingan menghantuiku ketika kita beradu raga demi cinta yang terlampau lama kandas. Kucari malamku dari luar jendela yang tak terbungkus gordyn. Aku mencari diriku disana. Sepi.

**

       Pagi ini kubaca selembar catatan yang kau tempel pada pintu lemari es,
     
Sore ini pakailah gaun merah dan sepatu beludru yang kubelikan untukmu minggu lalu. Aku akan menjemputmu sore ini., Kita makan malam dengan teman-teman lamaku. Gerai saja ikal rambutmu yang indah itu . Biarkan aku jatuh cinta lagi padamu malam ini. 


Makan malam lagi, ramah tamah lagi, senyum basa-basi lagi, hah....ini pasti akan jadi hari yang membosankan lagi. Kuremas gemas kertas berisi pesanmu dan kulempar begitu saja. Berat tiba-tiba menyerang kakiku. Malas. Kunyalakan TV dan kurebahkan tubuh pada sofa empuk di ruangan sepi ini. Pikiranku tak mau diam, terus meracau penuh kesal hanya karena selembar pesan di pintu lemari es. Aku ingin tidur lagi.

***

       Tak henti-hentinya pelukanmu menyembunyikan tubuhku pada ruangan dingin yang menakutkan ini. Sesekali kau cium kening dan rambut ikalku yang tergerai indah, seperti yang kau mau. Tawa teman-temanmu tak juga kering sedari kita datang sampai sejam berlalu dengan kejenuhan mematikan buatku. Beberapa pasang mata teman-temanmu melirikku dengan penuh selidik. Ini bukan pertemuan pertamaku dengan beberapa temanmu, bukan juga basi-basi sekali dua kaliku dengan mereka, tapi berada di dekat teman-temanmu sellau membuatku tidak nyaman.
       Senyummu kutingkahi juga dengan senyumku, aku selalu sempurna seperti yang sudah kau pesankan pada secarik kertas di pintu lemari es. Semakin aku sempurna, semakin erat pelukanmu. Semakin bertubi-tubi pula ciumanmu.
      
        "Aku mencintaimu. Malam ini kau membuatku jatuh cinta lagi,"
    
     Malam ini aku sangat sempurna!
Aku memakai gaun merah dengan potongan V dan sepatu beludru hitam berhak tinggi dengan rambut ikal yang kugerai begitu saja. Disana ciumanmu mendarat berkali-kali. Rambut hitam ikalku selalu jadi ornamen yang kau suka dari keseluruhan tubuhku. Malam ini seperti malam-malam kemarinku denganmu dan beberapa temanmu. Malam yang habis dengan cerita dan tawa yang tak kumengerti. Malam yang membeku di ruangan berpendingin dengan makanan dan minuman mahal yang selalu memaksaku menggigil pada liatnya dekapanmu. Malam-malam yang membunuh.

***
       Balkon ini selalu bisa membuatku jujur setelah berpuluh malam yang tak kumengerti membunuhku. Kau akan menciumku dalam pelukan yang rapat setelah semua peran kulakukan dengan sempurna. Lalu rutinitasmu tuntas dalam beberapa menit dan ranjang itu melenakanmu dalam lelap. Dan aku disini, telanjang tanpa sehelai benang, duduk memeluk diriku yang sendiri. Bersembunyi pada lebatnya rambut ikalku dengan sebatang rokok. Angin malam meniupi sekujur kulit tubuhku. Angin malam tak sedingin kita. Dalam ketelanjangan di balkon, kerap kali aku mengingat kita yang telah lama mati pada kisah. Aku mencintaimu di masa lalu. Ketika kau membunuh segala rasaku dengan berlembar-lembar pesan di pintu lemari es, disana aku mulai menikmati angin malam dengan ketelanjangan dan berpuluh batang rokok yang kusundutkan pada dada, perut, paha dan kemaluanku.
       Kau, laki-laki yang kucintai. Laki-laki yang mengajariku bagaimana melukis malam dengan airmata. Laki-laki yang tidak pernah melihat tubuh telanjangku. Laki-laki yang sibuk menuliskan berlembar-lembar pesan di pintu lemari es untuk malam yang sempurna bagi duniamu.
Dan aku perempuan yang menyerah pada lelah untuk menggapai diriku pada hatimu. Perempuan yang terus menangis dengan tubuh telanjang di balik lebatnya rambut ikal yang kau suka. Perempuan yang lebih memilih membakar kulit tubuhnya dengan rokok di hampir seluruh malam pada balkon dan malam.
       Aku diam dengan airmata, tak pernah lagi mampu memanggil namamu, sekali pun kulitku memerah terbakar panasnya rokok yang kusundutkan di dada, perut, paha dan kemaluan. Airmata jatuh menumpahi luka pada tubuhku, airmata yang menggarami luka. Aku terlanjur mencintai kebisuan pada tubuh laki-lakiku yang telah lama membuatku hilang.
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"