Sabtu, 28 Januari 2012

MENCINTAIMU DIANTARA PINTU YANG TERBUKA DAN TERTUTUP

           "Jangan ikuti aku. Aku sedang tidak ingin diganggu. Tidurlah duluan, nanti aku menyusul,"
       Tiba-tiba hangat tubuhmu menghilang. Tipis kulit tubuhku mencarimu. Hidungku meraba aroma tubuhmu. Tak ada. Baru saja kau disini bersamaku, menikmati sore dengan secangkir kopi panas dan cerita-cerita kemarin yang menyelimuti kita. Sore-sore yang selalu kunantikan setelah pagi memisahkan kita dengan keharusan akan ini itu. Sering sekali kebersamaan kita tiba-tiba terhenti saat aku mulai terbawa nikmatnya menyandarkan kepalaku pada bahumu. Aku yang terbuai ketika meninggalkan hembusan nafasku yang teratur pada irama nafasmu yang melenakan. Selalu saja harus kutelan kehampaan ketika tubuhmu beranjak. Dan setelah semuanya kau tinggalkan, aku selalu saja mencarimu. 
      Terbawa tubuhku pada langkah kakimu yang beranjak menjauh. Ingin rasanya kuteriaki punggungmu yang berlalu. Tidakkah kau merasa, kata-katamu selalu menampar hatiku dengan sangat. Tidakkah kau merasa kau telah menyakitiku? Berkali hatiku memanggilmu, berkali pula mataku kau buat terbuka lebar-lebar dengan pintu besar yang selalu berhasil menyembunyikanmu dariku. Pintu angkuh yang menjulang tinggi dengan kokohnya seakan-akan menginjak-injak adaku dihadapanmu. Disana kau menyembunyikan dirimu berlama-lama tanpaku. Tiap malam hanya ruangan itu yang bisa memilikimu. Dan langkahku yang mengikutimu selalu terhenti begitu saja ketika tubuhmu hilang disana. 
      Dulu, ketika semuanya masih menjadi sesuatu yang baru kunikmati denganmu, kerap aku mencibir pintu bodoh itu dengan umpatan dan cacian. Menunggumu berjam-jam di depan pintu itu dengan hati yang kembang kempis sekedar menantimu keluar dari ruangan sialan itu dan meninggalkannya. Sering sekali aku merindukanmu teramat sangat ketika berjam-jam kau disana tanpa menghiraukanku. Aku menunggumu diluar pintu. Mengharapmu secepatnya keluar agar bisa kurengkuh lagi tubuhmu yang kurindukan. Puluhan harap dan rinduku tak pernah sekali pun membuatmu keluar dari pintu angkuh itu. Kau hanya keluar dari sana ketika kau memang mau keluar dan meninggalkan ruangan itu. Aku, cinta dan rinduku tak pernah bisa memaksamu keluar dari sana. 
      Sejak berkali airmataku tak juga kering kau hapus dengan jari-jari tanganmu ketika aku menunggumu diluar pintu, aku tak pernah lagi menunggumu disana. Tak juga kuiikuti lagi langkah kakimu yang meninggalkanku pada sore sore-sore kita dengan secangkir kopi panas dan obrolan. Aku biarkan dirimu ditelan pintu sialan itu berjam-jam. Silahkan. Aku sudah lelah memintamu keluar dari pintu itu. Aku sudah muak dengan diriku yang terus meronta di depan pintu bisu itu. Entahlah berjam-jam atau seharian kau disana, mati atau sekarat...terserah! Kuhabiskan diriku dengan waktu yang kukelabui dengan berita-berita basi di televisi dengan berpuluh cangkir kopi dan rokok sampai kantuk memelukku sebelum mataku mendapatimu kembali dihadapanku.

***
         "Selamat pagi sayang," Ciumanmu menyapa pipiku
          "Pagi,"
        Pagi ini, seperti biasanya kusiapkan roti lapis isi selai nanas kesukaanmu dan secangkir kopi pahit di meja makan. Pagi yang biasa, saling bertukar senyum, pelukan, sesekali ciuman seadanya. basa-basi dua tiga kata, lalu kita terpendar pada rutinitas masing-masing. Tunggu dulu! Ini tidak biasa, ciumanmu berlanjut pelukanmu pada pinggangku. Pelukan yang erat dan lama. Baru saja kusadari kejanggalan itu diantara kebosananku mengoleskan selai nanas pada roti lapismu. Kenapa pelukanmu tidak juga usai? Kau sandarkan kepalamu pada bahu belakangku. Pelukanmu belum juga kau lepaskan. 
         "Apakah kau mencintaiku?" Tanyamu sambil menciumi bahuku.
         "Ya," Jawabku penuh curiga. Ini aneh. Sangat aneh. 
       "Jangan pernah tinggalkan aku ya?" Aku terperangkap lagi dalam pertanyaan-pertanyaanmu yang sangat tidak biasa. Seharian ini kau memelukku tanpa jeda. Sesakali aku mencuri pandang pada bola matamu. Sesekali aku terlena lagi pada kenyamanan yang tidak pernah tepat kau hadirkan diantara kita. Aku tidak akan terlena lagi, tidak boleh! Pintu itu akan mencurinya lagi dariku. 
      "Hari ini mintalah ijin pada kantormu. Aku ingin berdua denganmu seharian ini. Aku     merindukanmu," Pelukanmu belum juga lepas. Aku menikmati permintaanmu dengan mata sendu yang memelas. 
          "Ya, aku akan menemanimu."
      Seharian kau menempel padaku, begitu liat, seakan ada ketakutanmu kalau kutinggalkan. Kemana pun aku melangkah, kau mengikutiku. Terus mengajakku bicara dan bercanda. Aku masih belum bisa mempercayai keanehanmu hari ini sampai akhirnya aku luber dalam airmatamu yang membasahi pipiku ketika eratnya pelukanmu pada tubuhku membuatmu terguncang, 
          "Aku sangat mencintaimu, Tam. Sedari awal aku menemukanmu di hatiku, hingga hari ini, aku terus mencintaimu,"
Aku mendongakkan kepalaku, mencari bola matamu disana. Kurasakan detak jantungmu begitu kuat pada telinga kiriku. Tubuhmu makin erat merengkuhku.
          "Aku ingin selalu bersamamu. Bantu aku menutup dan mengunci pintu itu selamanya, Tam. Bantu aku..." Tubuhmu terguncang hebat dengan airmata yang menderas. Bola matamu kosong dan begitu luas tanpa dirimu. Bibirmu bergetar, berkali-kali mengucap kalimat yang sama.
            "Bantu aku, Tam. Bantu aku!"
Aku terperangah penuh iba dan juga airmata. Kupeluk tubuhmu dengan penuh haru. Kupejamkan mataku mencoba meresapi sekujur tubuhmu yang bergetar dalam pelukan penuh harap dan ketakutan. Aku memelukmu dengan pelukan yang teramat sangat erat, lebih erat dari pelukanmu. Kuusapkan buku-buku jariku pada punggungmu.
         Dan masa yang kutakuti itu akhirnya tiba, meski tak pernah kuharap datang disaat-saat seperti ini. Disaat kau kembali pada cintaku. Kau beranjak dengan lunglai. Melangkah pelan dalam gontainya langkah-langkah kakimu yang berat. Pintu sialan itu lagi yang kau tuju. Menghilangkan dirimu dalam sekejap mata disana dalam hening yang menyentakku. Aku harus menggapaimu. Harus. Hatiku hancur tiap kali kau menyembunyikan dirimu dalam pintu bodoh itu. Tapi kali ini aku harus menguatkan hatiku untuk menarikmu keluar dari pintu itu. Kau yang memintaku mengeluarkanmu dan mengunci pintu itu selamanya darimu.
             Dengan hati yang remuk, kupaksakan kakiku menghampiri pintu itu. Semakin mendekati pintu itu, hatiku semakin tidak karuan. Kakiku gemetaran. Kuseret lagi beberapa langkah hingga sekarang aku benar-benar berada di depan pintu itu. Kupejamkan mata dan kutarik nafasku dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Rapat kakiku menopang tubuhku yang masih sedikit terguncang. Kusentuhkan jemari tanganku pada pintu itu. Bibirku gemeretak. Sekali lagi kupejamkan mataku. Kucari daun pintu yang dingin itu. Dalam pejam mata, kudorong pintu itu perlahan. Terbuka.

****

      Tangisanmu sangat memilukan. Rintihanmu terus membuatku menggigil dari luar pintu. Tiap kali aku mengantarmu masuk ke dalam pintu itu, melihatmu membukanya, lalu memaksa tanganku menariknya agar bisa rapat tertutup, selalu jadi ritual menyakitkan. Sejak hari kau memintaku menarikmu keluar dari pintu itu, aku tak pernah lagi membiarkan tubuhku berlalu dari pintu itu. Tidak seperti malam-malam sebelum kau memintaku membantumu keluar dari sana. Tidak lagi kuperkenankan tubuhku terlena berita-berita basi dengan puluhan cangkir kopi dan entah berapa ratus batang rokok. Tidak lagi.
         Sejak kupaksakan diri membuka pintu itu, hatiku tak pernah lagi meninggalkanmu. Aku terus berdiri di depan pintu itu selama berjam-jam, bahkan seharian, dengan mata yang terus mengeluarkan airmata, tubuh bergetar dan telinga berdarah. Airmata ini makin deras mengucur ketika rintihanmu makin menyayat hatiku. Tubuhku makin terguncang dengan darah yang deras keluar dari telinga ketika teriakanmu lirih menyiksaku dari luar pintu. Kau sakit. Dan kau menyakitiku.
        
*****

       
Disana, dalam gelapnya ruangan yang tak pernah sekalipun kumasuki hingga hari ini, kulihat kau memeluknya dibawah kerlip cahaya bulan yang menerobos masuk dari jendela kaca. Kau memeluknya seperti memelukku, erat dan liat. Kau menciuminya. Mengajaknya bercerita tanpa henti. Bertukar tawa penuh kehangatan, lalu menangisinya. Berulang lagi kejadian itu selama berjam-jam kemudian. Terus begitu. Mataku terbeliak, hatiku tersayat. Kau begitu terlarut dalam ruangan itu. Aku tak mampu menghampirimu, terlebih untuk menarikmu menjauh dan mengunci pintu itu selamanya, seperti yang kau minta padaku. Aku tak mampu!
        Aku tak miliki keberanian itu. Aku belum berani memaksakan cintaku bertarung dengan dirimu yang memujanya sedemikian hebat dari dalam pintu sialan itu. Aku masih belum berani menghampirimu, mengambil dan membanting pigura dengan wajahnya yang kau peluk kuat-kuat, kau ciumi, kau ajak bicara dan kau tangisi dengan begitu khidmat. Aku belum mampu dengan seluruh cintaku padamu untuk memintamu membuang semua kenangan masa lalumu dengannya yang kau simpan begitu lama di balik pintu itu. Aku tak punya keberanian bahkan setelah mengetahui laki-laki yang menikah dan hidup denganku selama 7 tahun terakhir  tak pernah utuh mencintaiku setelah memisahkan diriku dengannya dari balik pintu sialan itu. Aku tak tahu bagaimana cara membunuh kenanganmu darinya dan utuh hidup denganku tanpa kesedihanmu yang panjang akan kehilangan perempuan itu. Aku belum mempunyai keberanian untuk menarikmu keluar dari dalam pintu itu dan membuat matamu buta akan pintu sialan itu.
      Cintailah kenanganmu akannya selama kau mau. Milikilah dirinya pada sisa waktumu tanpaku di dalam pintu itu. Aku akan menunggumu dari luar pintu. Aku menunggumu. Menunggumu utuh mencintaiku tanpa dirinya dan kenanganmu dengannya. Sepanjang masa pun aku akan menunggumu. Cintaku teramat dalam padamu. Dan aku tidak pernah punya hak dengan setengah cinta yang kau berikan padaku untuk memisahkanmu dari kenanganmu akannya yang telah lebih banyak mencurimu dariku. Biarkan aku menunggumu mencintaiku sepenuhnya diantara pintu yang terbuka dan tertutup, diantara keberanianmu untuk melupankannya atau tetap kembali padanya. Aku akan tetap disini, menantimu di luar pintu.

2 komentar:

  1. ...melelahkan...terlalu absurd...butuh energy lebih untuk membacanya huruf demi huruf...sayang aku tak punya energy lebih itu...(mungkin tema yg kurang "kuat" tak bisa memantik energy ku yg tersimpan...he..he..he..)

    jaya wardhana

    BalasHapus
  2. @ mas Jaya Wardhana :
    Belum mau ku edit yang ini kalo energimu belum ada buat bacanya lagi mas.
    Semoga nanti ada waktumu membaca ulang yang ini.

    BalasHapus

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"