Minggu, 11 Desember 2011

NYANYIAN PAGI SELOYANG CHEESE CAKE


    
        Kudengar nyanyian tanpa nadanya berulang lagi dari luar pintu kamar. Masih suara dari mulut dengan bau busuk yang sama. Syair lagunya juga masih sama dengan syair lagunya yang kemarin. Masih soal ice creamnya yang tak pernah bisa kandas kujual. Pagi yang memuakkan! Aku benci pagi dan mulutnya!
       Kusembunyikan diriku lagi di balik selimut tebalku. Ada cheese cake kesukaanku di sana. Tiap kali nyanyian dari mulutnya membuatku muak, tiap kali juga cheese cake menebus semua muakku dengan kenikmatan. Kuraup dengan rakus bagian demi bagian cheese cake itu dan kupenuhi mulutku dengan lumatan gurihnya yang memabukkan indera perasaku.

     
      “Hari ini matahari lebih mengkilat dari kemarin, ice cream kita pasti laris manis hari ini. Ini saatnya merayakan semangat! Kucing harusnya sudah bangun lebih dulu dariku, kemana dia?”

Suaranya jauh di luar kamar, tapi selalu saja mengganggu dan menginjak-injak kebiasaanku melahap habis cheese cake kesukaanku dari balik selimut.
Sendok mungil ini tak lagi memuaskanku untuk menikmati cheese cake. Kubuka saja mulutku lebar-lebar dan kutumpahkan tiga perempat sisa cheese cake ini ke dalam sana. Semuanya kutumpahkan begitu saja ke dalam mulut mungilku. Di sana cheese cake gurihku tadi bertemu nyanyian itu lagi.
     
**
      Pagi ini nyanyiannya mengganggu tidurku lagi. Selalu nyanyiannya yang lebih dulu membangunkan aku. Sekali pun mulutnya tak pernah berhenti bernyanyi dalam keluh kesah. 
      
       “Bodoh! Seperti apa kau  tawarkan ice cream kita pada mereka? Kenapa kau bawa pulang kembali semuanya? Semuanya tidak laku?!”

Kudorong nyanyian itu dengan seloyang cheese cake-ku yang tertawa terbahak-bahak di dalam sana. Kudorong nyanyian itu hingga menyentuh ujung segala ujungnya makanan yang terserap dalam tubuhku. Pembuangan. Ku buang semua nyanyian itu di sana. Di tempat kotor penuh bau busuk, tak akan terlihat dan tak akan pernah lagi bernyanyi.
     
        Pagiku selalu seperti itu, ritual nyanyian memuakkan terus berulang berkali lagi. Tetap dengan mulut yang sama, nyanyian yang sama dan ritualku yang sama pula. Kusembunyikan lagi diriku di balik selimut tebal dengan seloyang cheese cake, sendok dan mulutku yang terbuka lebar, menanti gurihnya merasukiku lagi.

***
     
      “Kucing itu sangat memalukan, selalu membuatku malu. Ice cream saja tak bisa dia jual, apalagi dirinya? Kucing bodoh! Aku membencinya!”

      Lagi-lagi nyanyian itu! Tunggu dulu...Nyanyian itu bukan dari luar kamarku. Nyanyian dari mulut busuknya itu kali ini ada di dalam kamarku! Tidakkk! Sekarang nyanyian itu ada di dalam selimut, tempatku biasa menyembunyikan diri dalam perjamuan cheese cake pagiku. Nyanyian itu keras sekali di telingaku. Telingaku pekak. Mataku membeliak. Hatiku berteriak. Dan sekeujur tubuhku berontak.
            Kusendoki nyanyiannya dengan  seloyang cheese cake. Lahap sekali mulutku menelan semuanya. Ada yang berbeda dengan pagi ini, semuanya berbeda. Rasa cheese cake-ku lebih gurih dari biasanya. Warna krim cheese cake-ku tak lagi broken white, tapi merah, teramat merah. Seperti merahnya darah segar yang mengucur.  
        Di loyang tempatku menyantap habis cheese cake-ku, ada bulat matanya yang membeliak, ada mulutnya yang terbuka dan tertutup menyanyikan lagu pagi yang sama. Kulumat beliak matanya dengan sendok mungilku, lalu kumasukkan dalam mulutku. Kumamah kasar disana, lalu… buang. Kupukul-pukul mulut yang terbuka dan tertutup seenaknya itu dengan sendok. Kutelan dalam mulut, lalu… buang. Kepalanya pecah membuncahkan merahnya darah yang mengucur mewarnai cheese cake-ku. Disana rupanya rasa gurih cheese cake-ku pagi ini bertambah.
        Nyanyian penuh caci makinya tentang diriku yang tak pernah mampu menjual diri seperti  'peliharaannya' yang lain, tak terdengar lagi pagi ini. Serangan amarahnya yang lancang memasuki kamarku, memaksa tangan ini mengetuk kepalanya berkali-kali dengan martil yang selalu kusembunyikan di bawah selimut sejak aku muak dengan nyanyiannya.
     Aku bukan kucing peliharannya! Aku tidak mau menjual kemaluanku yang membeku seperti ice cream tiap kali laki-laki pencari nikmat itu mendekatiku dengan segepok uang. Aku muak dengan nyanyiannya! Pagi ini semua tersudahi. Kusobek mulutnya yang terus terbuka dan tertutup menyanyikan umpatan memuakkan. Darahnya yang mengucur deras mewarnai cheese cake-ku. Pagi yang berbeda, tanpa nyanyian memuakkan dan seloyang cheese cake berwarna merah darah dengan remah-remah otak dan bola matanya disana.

*****

1 komentar:

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"