Minggu, 11 Desember 2011

AKU MEMILIKIMU DALAM TAS BEPERGIANKU


     Kubuka mulut tas ini lebar-lebar. Harusnya bisa lebih lebar dari ini. Aku mau sofa tua di ruang dudukku bisa masuk ke dalamnya. Sofa dengan warna coklat tua yang empuk itu selalu lebih bisa membuatku terlelap ketika kurebahkan tubuhku di sana dalam genangan airmata yang menghangatiku. Aku harus membawanya.
       Aku juga mau genta angin di depan jendela kamarku yang gemerincingnya membawaku ke bibir laut pada merahnya senja itu juga bisa masuk ke dalam mulut tasku ini, lengkap dengan laut dan senjaku yang memerah. Genta angin, bibir laut dan senjaku ada juga di dalam tas bepergianku. Ini akan jadi perjalanan yang luarbiasa buatku.
       Ada satu lagi benda yang ingin kumasukkan ke dalam tasku. Yang ini benar-benar tidak boleh terlupakan.
      “Kemana bersembunyinya dia? Selalu saja merepotkan,” gerutuku.
      Ini dia! Bau busuknya tak mungkin bisa menghindari seluruh cintaku padanya. Aku mau tubuh penuh luka ini muat juga kumasukkan ke dalam tas bepergianku.Kutarik tubuh penuh sayatan dan darah yang sudah mongering ini mendekat ke dalam mulut mulut tas bepergianku.
      “Uuuhhh…harusnya tubuhmu tak sekaku ini kalau sudah membusuk. Susah sekali memasukkanmu dalam tas bepergian kesayanganku. Hah!” Mulutku begitu kesalnya mengeluh sampai harus monyong sekian senti dari bentuk aslinya.
       Lumayan juga acara packingku sore ini, melelahkan. Aku mau kopi dan sebatang rokok sebelum kutinggalkan rumah ini. Kuambil satu sachet kopi hitam yang begitu saja kutumpahkan dalam cangkir dan menyeduhnya dengan air panas tanpa gula.Kubawa secangkir kopi panas buatanku ke beranda belakang rumah. Kuletakkan cangkir kopiku di meja di samping kursi malas dan menghempaskan tubuhku pada kursi malas bisu ini. Kucium aroma basahnya tanah karena gerimis yang turun, hhhmmmm…., kubakar sebatang rokok dan mulai kunikmati nikotinnya.
      “Aku tidak bisa meninggalkannya, Des,” Suaranya bergetar. Sekali lagi emosinya terpancing.
      “Kau harus bisa meninggalkannya! Harus!” Jawabku dingin dalam tatapan mata kosong.
Setiap malam di akhir pertemuanku dengannya, selalu percakapan itu saja yang kami lakukan. Tidak pernah ada pembahasan topik lain yang jadi bahan pertengkaran kami. Dia selalu dengan mukanya yang kebingungan, dan aku selalu dengan mukaku yang dingin tanpa ekspresi.
      “Hanya kematian yang bisa memisahkan aku dengannya,”
       Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit……………. Tak ada lagi kelanjutan kalimat itu setelah kusumpalkan belati ke dalam hatinya. Kutusukkan lebih dalam belati itu di sana. Darah segarnya membasuh mukaku, hangat. Kucabut belati itu. Kusobek mulutnya dengan belati berdarah itu. Kalau pun hidup, dia tidak akan lagi bisa bicara dengan jelas setelah mulutnya kurobek hingga cuping telinganya. Matanya… ah, biarkan saja matanya, aku suka matanya yang membeliak itu. Mata itu sering terlihat memelas di depanku, aku menyukai matanya. Sekarang telinganya yang harus kupotong. Telinganya terlalu sering mendengar ancaman dari ibu dan istrinya yang membenciku. Dan sekarang, kau tidak miliki telingamu. Biarkan kucing-kucing rakus itu yang memakan telingamu.
       “Kalau aku mati dan kita bertemu lagi dalam kehidupan yang baru, aku akan selalu menemanimu dengan secangkir kopi pahit dan sebatang rokok di beranda rumah pantai kita, Des. Akan kupeluk selamanya kau diatas sofa coklat ini sambil menikmati ombak dan gemerincingnya genta angin kesukaanmu itu,”
       Kita akan ke rumah pantai sekarang. Tempat biasa kita memadukan cinta terlarang kita di akhir pekan. Kau, sofa coklat dan genta angin kesukaanku, sudah semua di dalam tas bepergianku. Selamanya kita akan di sana. Selamanya akan kupeluk dan kumiliki tubuh tanpa telingamu yang hatinya pecah memerah oleh darah. Aku dan matamu yang terus membeliak, memelas. Akan selalu menikmati secangkir kopi pahit dan sebatang rokok di atas sofa coklat ditemani gemerincingnya genta angin yang syahdu. Aku memilikimu.  
**********************

4 komentar:

  1. Luar biasa! Binalnya!

    BalasHapus
  2. @ Anonim mas Sutan :
    Ketahuan "belang" penulisnya ya :D

    BalasHapus
  3. ...hmm...terlalu terburu-buru di ending...dan bertele-tele di prolog...(walau tetap saja ku akui aku menyukainya)...

    jaya wardhana

    BalasHapus
  4. @ mas Jaya Wardhana :
    Kuperhatikan sangat jeweranmu mas.
    Aku masih terus belajar, mohon selalu bimbingannya.

    BalasHapus

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"