Minggu, 02 Oktober 2011

36 TAHUN KEMUDIAN

     Kurapatkan selimut tebal ke pangkuanmu. Kuperiksa dan kurekatkan ulang kancing sweater hitammu yang selalu tanpa sengaja kau mainkan dan terlepas sewaktu kau mulai melamun membuang tatapanmu pada rapatnya pepohonan dikaki bukit nun jauh disana dari teras belakang rumah. Sering sekali kita duduk berdua dibangku tua ini berjam-jam lamanya dalam pelukan lama dan hela nafas penuh syukur dalam tenangnya keheningan hati kami masing-masing. Kau usap lengan kananku begitu lebut dan ritmis ketika aku merajuk manja pada pelukan dalam sandar kepalaku dibahumu yang kurus dan renta. Sesekali kita bercerita tentang rusa yang kadang terlihat muncul sebentar dari lebatnya pepohonan diluar sana. Kerap juga kita bersenandung lirih syair-syair lagu-lagu lawas yang kita gemari sewaktu  36 tahun yang lalu kita ditempat yang berbeda. Kita tak pernah lepas berpelukan sejak akhirnya kita bertemu lagi 7 tahun yang lalu.
     Kami teman lama yang sudah saling kenal sejak kami sama-sama sudah cukup umur dan matang sebagai manusia dewasa. Meski sebelumnya kita tidak pernah bersinggungan di satu lingkungan dan komunitas yang sama, tapi entah mengapa, saat kita bertemu waktu itu, kita seperti sudah sangat mengenal satu sama lainnya. Mungkin karena kita berasal dari satu kota kecil yang kemudian bertemu tanpa sengaja disatu kota yang sangat berisik dan penuh pendatang. Sehingga obrolan dalam bahasa daerah yang kami gunakan begitu cepat mengakrabkan kami. Sewaktu itu hanya tiga kali kami bertemu dalam waktu tak lebih dari satu bulan. Setelah itu kami tidak pernah lagi bertemu. Kontak hanya kami lakukan lewat email dan sesekali chat diujung-ujung waktu yang kami curi dari rutinitas. Kami adalah dua kutub berbeda yang sangat bertolak belakang. Dari awal kami bertemu, aku benar-benar merasakan bahwa duniamu dan duniaku sama sekali berbeda. Hal itu juga mungkin yang membuat kami begitu dekat, bahwa perbedaan kami memberikan ketertarikan pada masing-masing untuk saling mengetahuinya, hingga perbincangan apa pun yang terjadi selalu sepertinya tanpa ujung. 
     Aku hanyalah perempuan kuno yang sangat tertutup, hidup dengan pikiran dan pendapatnya sendiri demi satu idealisme yang mungkin buat sebagian orang lain begitu mengerikan. Sedangkan kau laki-laki yang begitu terbuka, sangat supel, banyak teman dan banyak punya kegiatan diluar rutinitasmu. Kau laki-laku yang disuka banyak perempuan. Dan kau laki-laki yang juga menyukai banyak perempuan. Sedangkan saat itu, aku mulai menggeser laki-laki dalam prioritas hidupku. Kau tinggal di kota besar yang dikanan kirimu semua haram bisa dihalalkan. Dan kau disana, didalamnya. Seringkali kau ceritakan malam-malammu dengan perempuan ini dan perempuan itu padaku yang terus saja terheran dan selalu heran dengan hidupmu yang bagiku terlalu ramai itu. Tiap kau bercerita dengan berapi-api tentang berisiknya hidupmu disana dengan semua teman perempuanmu, tiap itu pula hati kecilku  teriris dan miris. Lebih baik aku tidak menikah kalau harus menikah dan punya suami yang kelakuannya sepertimu. Tapi tiap itu pula kau mentertawakan aku sambil mengataiku dengan sebutan macam-macam yang membuatku berang. Kalau sudah di ubun-ubun kesalku padamu, aku selalu meneriakimu di telepon, 
     "36 tahun lagi, kalau tidak ada satu pun perempuan yang mau merawatmu, kalau kau sudah tidak lagi bisa memuaskan perempuan-perempuan itu dengan dengkulmu, cari aku! Aku yang akan menikahi, merawat dan menemanimu sampai kamu mati dipelukanku,"
     Begitu saja perkenalan dan pertemanan kami sampai sekian puluh tahun kemudian berlanjut tanpa ada pertemuan lagi. Kau sibuk dengan kariermu yang menjulang tinggi hingga jarang lagi kita bertemu dalam obrolan dan canda dalam maki dan tawa. Sesekali kudapati wajahmu di telivisi tentang perusahaan yang kau besarkan dengan jerih payahmu. Tak jarang sesekali kau sempatkan menelponku sekedar untuk mengolok-olokku yang masih sibuk dengan mimpi dan idealismeku sendiri. Tapi hanya dengan hadirmu yang hanya sesekali di telpon, sesekali di chatbox dan sesekali di email, kadang aku dapatkan semangat yang entah datangnya dari kalimatmu yang mana. Kau selalu penuh dengan tawa sindiran padaku yang seketika itu juga bersungut-sungut menolak semua tuduhanmu padaku, 
     "Cepat raih itu mimpi, 36 tahun lagi itu tidak lama. Kalau tidak juga kau pegang mimpimu itu, siapa yang akan menikahi, merawat dan menemaniku sampai datang ajal yang katamu menakutkan buatku itu?"
     Dihati kecilku, ingin juga aku seperti kau yang bisa sebahagia itu menikmati dunia. Selalu tertawa dengan lepas, semuanya terlihat begitu gampang dan mudah bagimu, semua ada ditanganmu. Mungkin benar katamu, aku hanya perempuan kampung yang terlalu serius menjalani hidup.Tapi aku tetaplah aku, begitu juga dengan kau. Garis hidup menakdirkan kita untuk menjalani semuanya dengan apa yang memang harus kita jalani. Diantara kerasnya perjuangan hidup yang kujalani, sesekali aku merindukan sosok seorang laki-laki pelindung. Adakalanya airmata tumpah begitu saja. Tapi entahlah untuk apa kau diciptakan buatku. Tiap kali aku merasa jatuh, tiap itu juga kau selalu melintas dalam pikiran. Aku hanya ingin mendengar suaranya. Aku ingin ikut tertawa seperti kau. Hingga begitu saja jemariku mengambil telpon genggam dan memanggil nomornya. Kau selalu angkat teleponku sekalipun kau sedang ditengah rapat dewan direksi. Meski yang sering terjadi adalah kau angkat teleponku saat kau diatas tubuh perempuan-perempuanmu. Dasar laki-laki yang menjijikkan! 
Kau juga begitu, sesekali kau menelponku diwaktu-waktu yang tidak kuduga. Di waktu-waktu yang aku tidak sedang ingin mengetahui khabarmu dalam bentuk apa pun. Kerap sekali begitu yang terjadi, entah kenapa, aku bisa membencimu begitu sangat meski aku jarang sekali bertukar khabar denganmu. Dimataku, kau memang laki-laki dari jenis yang sangat kubenci, laki-laki yang begitu buruk memperlakukan perempuan atas dasar suka sama suka, butuh sama butuh, mau sama mau atau apalagi yang dulu pernah kau ceritakan padaku. Meskipun diseberang sana suaramu terdengar agak beda dari biasanya, tanpa tawa lepas yang selalu jadi ciri khasmu, kalau memang hatiku sedang membencimu, aku tak pernah terlalu dalam menanggapi telponmu. 
     "Buang saja mimpimu itu. Bagaimana kalau 36 tahunmu itu kutawar jadi 16 tahun saja? Itu berarti 2 tahun lagi, maukah perempuan kampung? 36 tahun terlalu lama buatku,"
     Hatiku memang keras, tapi rasa sayangku padanya lambat laun juga begitu mengeras. Pernah diantara satu waktu, ketika kudapati berita kecelakaanmu disalah satu ruas tol dikotanya yang ramai itu dari salah satu koran nasional. Kubaca betul-betul berita itu. Hatiku hancur berantakan mendapati beritamu dengan gambar mobil sedanmu yang rusak parah dibagian depan. Kucoba menelponmu tapi semua nomormu tidak aktif. Seharian itu aku menunggu beritamu ditelevisi. Pasti ada beritamu disana, karena kau memang laki-laki yang cukup terkenal dikotamu dan negara ini. Betul...kudapati beritamu disana, dengan informasi sangat lengkap dari seorang perempuan sangat cantik dan sangat berkelas. Entahlah siapa dia, yang dilansir stasiun berita itu dia adalah "si Nona bla bla" dengan keterangan dibawahnya "Kekasih Direktur Perusahaan bla bla." Langsung kumatikan siaran berita itu. Tentu saja, kenapa aku harus mengkhawatirkannya, tak mungkin kau terlantar disana. Aku memang bodoh.
     Sekian puluh tahun berikutnya kami hanya dua orang dalam pertemanan yang timbul tenggelam. Khabar tidak datang seperti dulu, hanya seperti formalitas saja, cukup lewat sms atau email. Aku pun tak pernah lagi mencari tahu tentangmu entah itu dari berita di televisi, koran ataupun infotainment. Aku merasa kau tidak penting untuk hidupku. Dan pastinya kau juga begitu karena disana selalu ada yang memperhatikanmu dengan baik. Kamu berjalan masing-masing dengan apa yang mau kami dapatkan dalam hidup kami masing-masing. Hingga akhirnya persis di 36 tahun kemaudian sejak aku mengumpatnya ditelepon kudapati emailnya. Saat itu kami berumur 66 tahun. 
     "Perempuan kampung, ini sudah 36 tahun kemudian yang kau janjikan. Aku mencarimu,"
Tersentak aku dengan sebaris saja kalimatnya di inbox yang rutin kubaca tiap pagi begitu kopi pahit sudah terseduh dimeja kerjaku. Ah, apalagi yang dia mau ini? Berkali-kali kubaca lagi emailmu.Seharian itu aku memikirkan apa yang ada dikepalamu waktu kau menulis email itu. Sampai semua berantakan dalam pikir ketika kau menelpon. Entahlah, ini sudah saat yang sangat lama sekali sejak kami tak pernah lagi bertukar khabar, mungkin sudah 13 tahun berselang. Apa yang terjadi selama itu denganmu hingga kini kau mencariku. Aku hanya mengangguk-angguk saja sewaktu mendengarmu berbicara dari seberang. Yang kutahu, malam ini kau hendak berkunjung kerumahku. Bagaimana kau tahu rumah ini? Kau tidak pernah bertanya sedikit pun tentang rumah ini padaku. Kau tidak pernah sekalipun menanyakan hal lain tentangku selain cemoohanmu padaku, perempuan kampung yang kau kenal dari dulu hingga kini yang masih sangat kampungan bagimu. Ini benar-benar sangat aneh. Kau akan datang menemuiku setelah 36 tahun kami tidak pernah bertemu sekalipun dan setelah 13 tahun kontak terakhir yang kita lakukan. Seketika aku limbung. Ada apa ini?
     Kau masih tampak gagah meski tubuhmu terlihat lebih kurus. Rambutmu yang 36 tahun lalu kulihat begitu hitam dan lurus, kini sudah keabu-abuan. Kau berjalan dengan bantuan tongkat kayu dengan agak tertatih. Dandanmu masih saja membuat perempuan jatuh hati. Perempuan? Kami sudah sama-sama tua, sama-sama 66 tahun! Aku mempersilahkanmu masuk tanpa banyak kata. Tapi kau tetap saja seenaknya begitu, masih seperti kau yang dulu, langsung masuk begitu saja hingga tembus ke teras belakang dan duduk dibangku yang menghadap lebatnya pepohonan dibawah kaki bukit nun jauh disana. Aku mengikutimu dengan bersungut-sungut, dasar laki-laki sinting.
     "Aku terima pinanganmu hari ini. Aku suka teras belakangmu. Temani aku tiap aku duduk disini sepanjang waktu. Sini, kemarilah...aku sangat merindukanmu,"
    Sejak kedatangannya setelah 36 tahun kami tak bertemu hingga kini, 7 tahun setelahnya, kau selalu terduduk begitu lama diteras belakang rumahku, bukan...rumah kami. Seperti juga yang kau katakan dari awal kedatanganmu, kau selalu minta kutemani berlama-lama duduk disini hanya memandang lebatnya pepohonan diluar sana. Pelukanmu begitu hangat, aku tenang dalam rengkuh pelukanmu. Tak pernah lepas jari jemarimu mengusap lengan, kepala dan juga punggungku ketika aku bersembunyi dalam pelukanmu. Aku merasa, inilah mungkin ujung mimpi yang selalu kukejar tanpa lelah seorang diri. Memang inilah yang kumau. Rasa damai dan tenang itu tak pernah kudapati dari semua penghargaan akan kemampuanku yang diakui dunia. Rasa ini begitu syahdu menyelimuti bilik hatiku, kau begitu menenangkanku. Kau bukan lagi laki-laki yang dulu selalu membuatku marah, benci dan emosi tanpa alasan yang jelas. Kau pelindungku. Kau laki-laki yang menggenapiku. Kau memang ujung mimpi yang kucari selama ini.
     "Aku mencintaimu sejak pertama aku bertemu denganmu. Perempuan kampung yang keras hati dan maunya, perempuan yang kumaui sedari 36 tahun yang lalu. Aku mencintaimu tanpa pernah melepasmu sedikit pun dalam ingatanku. Sebusuk apa pun aku dimatamu, kau muara mimpiku. Jangan lagi kau teriakkan 36 tahunmu yang lalu, kalau selama 36 tahun kemarin kau begitu menyiksaku dalam tunggu dan harapmu untuk bisa memelukmu seperti sekarang...." 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"