Jumat, 23 September 2011

7 TAHUN 34 HARI

     Kulepaskan jaket lusuhmu perlahan sambil kutatap luruh dua bola matamu. Tak sabar rasanya beruntun menanyaimu dengan semua resah yang ada memenuhi isi kepalaku sedari aku mendapatimu masuk pelataran halaman dengan motormu. Kusandarkan jaketmu dikursi begitu saja seakan tak mau melepas pandang mataku dari sosokmu. Rasanya belakangan hari ini semakin tua kudapati tubuhmu menahan masa yang datang menghampirimu. Kau duduk begitu saja dengan mulut yang masih terkunci rapat dan lamunan dimatamu yang belum bergeser. Aku berlari secepat halilintar ke dalam untuk mengambilkanmu air putih. Secepat itu pula aku mendekat padamu dengan segelas air putih. Kuusap pelan punggung tanganmu dan memintamu menatap mataku. Sejenak matamu menatap mataku, lalu beringsut kudekatkan tanganmu pada segelas air putih yang ada ditanganku. Pelan kau menyadari perintah dan tanya berkecamuk yang ada dimataku. Kau memilih untuk mengambil segelas air putih ini dari tanganku lalu meminumnya seteguk dan menyerahkannya lagi padaku. Kuletakkan gelas itu begitu saja dimeja dekat kami yang saling berkecamuk dengan pikiran kami masing-masing. Kau menarikku mendekat padamu untuk duduk disampingmu. Dan begitu saja kau membenamkan dirimu dalam pelukanku. Seperti itu selalu kau tiap banyak sekali isi dalam kepalamu tak bisa kau lepas seperti pegas, bahkan kepadaku. Kuusap lembut kepalamu. Hatiku menangis tiap kali mendapatimu seperti ini. Lunglai ragaku. Tak mampu lagi aku menatap matanya yang masih kosong menatap entah apa dikejauhan sana. Dan akhirnya kami sama dalam satu keadaan yang hening dalam tarik nafas kerap desah panjang kelelahan. 
     "Bagaimana aku bisa memahkotakanmu diatas kepalaku, kalau tiap kali aku masuk halaman istana kecil kita masih kudengar serapah banyak mata dalam lidah-lidah api bercabang dua diluaran sana? Aku raja yang kau sanjung tiap aku memasuki istana kita, tapi kenapa aku tidak pernah bisa menyanjungmu diluar pagar istana kita? Aku ingin meletakkanmu dikepalaku!"
    Kita selalau nelangsa tiap mata kita bertemu diawal langkahmu memasuki halaman rumah kita. Aku tak pernah lepas cekat setiap kau datang kembali dari pintu itu. Dan aku belum pernah melewatkanmu begitu saja ketika kau memasukinya bahkan setelah 7 tahun 34 hari "pernikahan" kita. Tiap pagi aku melepasmu dalam doa dan bisik mesra ditelingamu sambil mengusap punggungmu yang begitu lekat menempel pada pelukanku. Sering kudapati kau yang gentar untuk keluar rumah dengan sebait keluh kesah kala kau hendak menghabiskan sarapan pagimu. Tak jarang juga kulihat matamu yang merajuk melas padaku untuk sekedar ijinkan memperbolehkanmu tetap dirumah sehari itu saja. Tapi kau memang laki-lakiku, laki-laki tangguh yang kucintai sejak dari awal kita bertemu. Laki-laki yang mencintaiku dengan segenap rasa bahagia dan kebanggaan. Semua bisa kuputuskan tepat disaat kau sudah harus bekerja dipagi hari. Kurapatkan kancing jaketmu dan kucium punggung tanganmu kemudian kau balas dengan ciumanmu dikeningku. Dalam senyum kulepas kau setiap pagi meninggalkan halaman rumah kita dengan aku yang selalu menunggumu. Tiap pagi juga, setelah punggungmu menjauh dariku, aku berjongkok sejenak menempelkan tanganku pada bekas kakimu yang terakhir memijak halaman rumah kita. Kututup kelopak mataku perlahan, menempelkan tanganku dibekas jejak kakimu, lalu membawa telapak tanganku ke dalam dadaku dan meletakkannya di jantung hatiku sejenak dalam doa lirih yang tak pernah berubah kuucap sejak 7 tahun 34 hari yang lalu, 
    "Terimakasih telah mencintai dan menjagaku lagi dalam bahagia yang kau berikan semalaman tadi. Pergilah rajaku, aku akan selalu menunggumu lagi disini, untuk menggenapimu lagi dengan bahagiaku untuk hatimu,"
     Sore selalu menjadi waktu yang sejenak hilang dari kami. Selalu ada jeda untuk hening, lamunan, nelangsa dan airmata. Seperti sore ini yang tidak berubah banyak dari sore-sore yang sudah selama 7 tahun 34 hari ini kami lalui. Tapi setelah jeda itu lewat, aku yang memelukmu dalam peluk erat tanpa kata-kata selalu tiba-tiba jatuh ke dalam pelukanmu dalam hangatnya air mata kami yang bertemu. Berganti kau usap-usap lembut punggungku dengan ciumanmu yang menghangatkan wajahku. Selalu sore yang panjang dengan pelukan, tangis dan kemudian senyum bahagia. Bahagia karena aku masih memilikimu dan kau masih memilikiku hingga hari ini. 
   Setelah semua jeda setiap senja, kita selalu tersenyum ketika mengingat janji yang kami buat ketika kami dipertemukan lagi dalam cinta yang pernah kami pungkiri dan memilih berpisah karena adat yang tidak berani kami tentang. Hingga 7 tahun 34 hari yang lalu kami bertemu lagi pada satu malam yang penuh dengan rindu yang biru. Rindu kala malam-malam aku disini dan entah kau dimana yang membuat kita mengingat satu sama lain dalam desah lirihnya pinta pada Sang Kuasa untuk memohon sekali lagi diperkenankan bertemu dan bersatu. Perih kala masing-masing sendiri terpisah jauh, aku disana dan entah kau dimana, ketika semua yang ada didekat kami tak pernah lengkap menggenapi dan menguatkan kami untuk masing-masing sendiri. Dan saat pinta kami kabul dalam ketulusan cinta kami, kami lantang menelan pil pahit aturan hidup dalam adat yang memasung kami. Aku dan kamu, tak pernah lagi mau berpisah. Tak pernah lagi ingin memaksa cinta mati dalam masa-masa yang begitu pernah menyiksa kami. Dan, tepat pada 7 tahun 34 hari yang lalu kau menikahiku dengan caramu. Hanya dengan dua tatap matamu kau ikat aku untuk hidupmu hingga mati. Dan hanya dengan pelukanku aku bersumpah tidak akan pernah lagi meninggalkanmu hingga maut mencabutku dari dekatmu. 
    Kami tinggal disini, rumah kecil kami yang rindang penuh pohon-pohon besar dan beberapa anggrek  kesukaanku dihalaman. Tiap pagi kusiapkan sarapan untuknya diteras belakang, hanya nasi goreng dan secangkir kopi di meja dengan aku dan dia dalam obrolan dan canda ringan. Lalu melepasmu berangkat bekerja dengan beberapa pekerjaan rumah yang menungguku hingga sore aku menantimu pulang kerja diteras depan. Jeda. Lalu hidup lagi malam dengan kami yang selalu tak pernah lepas berpelukan hingga pagi kembali. Jeda itu sudah biasa buat kami. Sudah terlalu biasa juga untuk kami habiskan dengan air mata. Bukan hujatan orang yang mencibir pernikahan kami. Bukan juga mata penuh selidik kebanyakan khalayak yang begitu ingin tahu kehidupan di dalam rumah kami. Bukan. Kami begitu menikmati jeda itu karena disanalah tiap saat itu juga aku semakin mencintaimu, begitu pula dengannya. Kami hanya berdua disini. Kau menjagaku begitu lekat seakan tak pernah ingin lagi menyakitiku dengan gunjingan orang diluar sana. Dan aku juga merasa sangat perlu untuk menjauhkannya dari berat pikiran yang membenamkannya pada rentanya usia dimasa-masa tersulit kami belakangan hari terakhir.
    Perlu banyak energi untuk tetap mempercayai cinta kami bahkan setelah satu dasa warsa kami saling mengenal dalam cinta yang teramat sangat. Terputuskan kami dari hangatnya nadi dan darah sekandung yang mencipta adanya kami di dunia. Kau selalu memelas tiap matamu mendapatiku terdorong beberapa langkah ke belakang ketika nadi dan darah kami menyayat dalam teriak untuk memisahkan kami lagi. Tak sadar aku terpental ke belakang dalam lemah gontai yang kulupa tanpa mengingat janji kami untuk bersama lagi ketika itu. Kulihat matamu tersayat dan aku lemas. Tapi kau tetaplah laki-lakiku yang selalu ada di depanku setiap bimbang, lelah dan sakitku. Sigap kau rengkuh aku dalam pelukmu. Kau tutup telingaku dengan ciumanmu. Kau halang pandang mataku dengan tubuhmu yang kokoh merengkuhku hingga tak sedikit pun celah kau biarkan aku untuk mengintip perlakuan keji mereka yang ingin membunuh mati kau untukku. Kau bisikkan selalu kalimat-kalimat itu disela ciuman dan pelukanmu yang makin menghebat. 
    "Kita selalu disini. Kau dalam pelukku, aku memelukmu. Lihatlah didepan sana, jangan lagi kau pandang yang dibelakang dan disamping kita, lihat saja yang lurus disana denganku. Selalu denganku,"
    Apalah aku tanpamu laki-lakiku...Aku hanya perempuan yang mencintaimu karena kau begitu mencintaiku. Mungkinkah kita adalah dosa penuh noda hingga cinta kita saja tak cukup membuat mereka merelakan kita bahagia? Aku pun menikahkan hatiku padamu dengan caraku mencintaimu. Aku tidak pernah menginginkan pesta semarak semalam suntuk seperti pesta pernikahan teman-teman perempuanku yang lain, tidak. Aku selalu berpesta dalam semarak peluk dan adamu tiap saat ketika aku dan kamu saling mencintai. Aku tak pernah mengingingkan selembar buku nikah itu bahkan ketika semua orang memintaku menunjukkannya pada mereka ketika banyak tanya dikepala mereka bagaimana kau menikahi dan menjadikanku istrimu. Aku tak menikahkan hatiku padamu hanya untuk selembar buku nikah itu, tidak. Kasihku padamu lebih tebal dari selembar buku nikah itu, jauh lebih tebal dari hanya sekedar selembar buku nikah. Aku menikahkan hatiku padamu tak lain hanya karena aku selalu ingin lekat dan dekat denganmu hingga akhir hayat dan kiamat merenggut kita. Aku akan selalu disini denganmu, meski berpuluh kali lagi aku terpapar cecar maki mereka yang menuntutku darimu. Biarlah kita menua dan renta bersama dalam juang kita untuk cinta kita yang masih juga belum mereka terima. Biarlah aku menguatkanmu saat kau beberapa langkah mundur ke belakang seperti yang selalu kau lakukan ketika aku pernah beberapa langkah mundur kebelakang karena perlakuan mereka. Biarlah kita saling menguatkan untuk tetap dalam satu pijak janji cinta yang tak pernah mereka syahkan tapi begitu kultus dalam benak hati kita. Bahkan untuk 7 tahun 34 hari ke depan, aku dan kamu tetaplah aku dan kamu yang sekarang, yang mencinta karena cinta tak perlu batas pemisah. Biarlah dua kali dari 7 tahun 34 hari ke depan setelahnya pun kau tetap mencintaiku seperti aku mencintaimu, tanpa jeda yang tidak kita lewati dalam peluk yang saling menguatkan. Aku mencintaimu rajaku,  mencintaimu untuk tiga hingga empat dan lima kali lagi dari 7 tahun 34 hari ke depan, selamanya aku mencintaimu laki-lakiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"