Sajak-sajak itu tumbuh pada kaca jendela yang sedari
pagi dihiasi embun-embun bening berwajah kenangan.
Akar-akarnya berserabut halus di sudut matanya
yang baru belajar menatap pagi setelah sekian
lama tertanam lekat di dada yang berlubang,
"Biasanya pagi mengajak berbincang,"
menanya khabar yang tak pernah kau hidupkan
dibawah dagu yang enggan dituduh bersalah,
"Kadangkala rindu menjadi sengsara
diucapkan sewaktu diri sibuk merawat
tuhan,"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"