Selasa, 03 September 2013

TUHAN DI DALAM DOMPET

Dan wajahnya yang terampas dompet kulit lusuh berwarna coklat sejak sepekan lalu, membuat orang-orang di seluruh penjuru ruangan menjadi hamba, dan dia berhala. Semua benda di sekitarnya tampak kecil, tak lebih besar dari jentik-jentik nyamuk. Dan kalian, entah teman, bahkan lawan pun nyaris tak terlihat. Hanya sebesar kelereng.
Hari ini dia membawa tuhan dalam dirinya untuk cuci mata, berkeliling di sebuah komplek pertokoan terbesar di kotanya. Sudah lama tuhan tak diajaknya masuk ke tempat seperti ini. Dulu tuhan selalu berkeringat dingin dan ragu-ragu masuk tiap kali memasuki mall komplek pertokoan yang dingin ini, sedingin wajah orang-orang miskin.
Setidaknya hari ini tuhan tidak mengeluarkan keringat dingin, dan kakinya melenggang begitu saja, tak lagi ragu-ragu. Pandangan matanya menyapu seluruh kilau lampu dan benda-benda benderang di dalam ruang-ruang berkaca bening. Tak ada yang istimewa sampai sejauh ini kakinya menjelajahi komplek pertokoan ini. Justru ada sedikit rasa bosan ketika mendapati benda-benda terpajang di kanan kirinya tampak begitu kecil.
Tiba-tiba hati tuhan melonjak-lonjak ke langit-langit pertokoan. Tak sadar tuhan dalam dirinya menjerit. "Itu...., itu tempat yang waktu itu membuatku sangat gemetaran," Sebuah swalayan besar dengan gerbang masuk yang juga besar. Tidak. Dalam ingatannya, swalayan itu dulu tampak sangat besar. Tapi tidak demikian dengan hari ini. Matanya memang nyaris tidak menemukan swalayan itu, tapi warna terang dari logo swalayan itu menarik perhatiannya.
Seketika tuhan terburu keluar dari dalam dompet coklatnya yang lusuh. Tuhan dalam dirinya tertawa lebar. Tuhan berlarian memasuki lorong panjang dalam swalayan dengan wajahnya yang sangat gembira. Tubuh tuhan membesar, menjulang tinggi sampai hampir menyentuh langit-langit swalayan. Dan semua benda di dekat tuhan menciut, sekecil jentik-jentik nyamuk, tak lebih besar dari kelereng.
Sudah lama tuhan kehilangan jati diri di dalam dompet coklat lusuhnya. Sangat lama tuhan buta; tak boleh melihat barang-barang yang di jual di pertokoan, tak bisa berlibur di tempat-tempat hiburan berbayar. Sekian waktu kaki-kaki tuhan terpasung; tak ada uang untuk bayar taksi, tak ada uang untuk belanja, tak ada uang untuk makan. Tuhan hanya bisa diam, bersembunyi di dalam dompet.
Hari ini tuhan berpesta dengan segepok uang di sekujur tubuhnya, semua tampak kecil, semua terbeli. Juga wajah-wajah orang di sekitar tuhan yang menjilat-jilati telapak tangan tuhan yang penuh uang. Mereka menjadi hamba, dan tuhan adalah berhala. Entah untuk berapa lama tuhan akan berpesta dengan matanya yang berbinar, tawanya yang menggelegar dan janji-janji yang mandul. Tapi Tuhan tahu, kapan pesta untuk tuhan usai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"