Sabtu, 16 Maret 2013

PAGI TAK PERNAH INGKAR

Dari mulutmu yang bungkam, sebelah kiri tubuhku kian jalang merauti ceceran pertanda-pertanda yang telanjang di mataku,
"Aku suka manakala pagi tak pernah ingkar benderang setelah malam tak lebih dari desah rindu pada baumu,"

Hingga retak cangkir kopiku; penuh dengan wajah tuamu yang melolong, memohon untuk tak beranjak tapi terus menjual malam pada wajah-wajah berderet di dalam botol-botol kusam yang tak pernah bisa membuatmu tertidur, "Entah untuk apa menamai resah dengan nama belakangmu...," kalau sedari awal pun tak pernah ada sumpah di atas selembar puisi yang huruf-hurufnya tak bisa kubunyikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"