Senin, 27 Agustus 2012

GERIMIS YANG MANDUL DI TANGANMU

     Gerimis datang pada hidung, menutup rindu yang berkabut dalam segunung kealpaan tanpa kehadiran. Entahlah, apakah malam akan tetap jadi sebuah penantian, tapi yang pasti terasa pada kantung mataku adalah puluhan nanti dan tunggu tanpa pelukan. 
Sebenarnya sejak jejak wajahmu mencabuti satu persatu harapan yang kemarin tumbuh karena kusemai dengan mau, sudah mulai kubiasakan untuk berhenti melukiskan rumah kecil di kaki bukit yang terhibur gemericik larinya air dari tebing di depan mata. 
"Kita akan bercocok tanam disini sampai terlahir anak-anak janji yang memanggilmu Niang,"
Ya, kita akan....bukan kita harus.
Aku menyukai "harus" yang sering memaksa kakiku berjalan tegak lagi saat lelah mendera, saat asa membentur dinding-dinding keras ; melumpuhkan mau. Tapi itu hanya aku, bukan dirimu. 

     Gerimis datang lagi membasahi helai-helai rambut, ingin menawar hitam disana dengan suara ritmisnya, melenakan. Aku tidak mau terlena! Dan hilanglah gerimis memangkas semua candu yang menidurkan akal sehatku.
"Aku sudah terlanjur sampai di kaki bukit,"
Tempat cat minyak warna-warni itu membawa imajiku kesini, terlanjur. Aku bukan jam dinding yang jarum-jarumnya bisa berulang di putar maju atau bahkan mundur ke belakang sekian masa. Jadi aku akan tetap tinggal disini, mulai memberikan ruang untuk air dari tebing di atas sana datang melewati rumah kecilku tiap detik semaunya.  Akan kumulai melahirkan anak-anak janji yang dulu hanya kau candukan di belakang telingaku, disini. Tidak lagi dengan penantian, karena aku bersiap melahirkan diriku pada harap dan mimpi yang mandul di tanganmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"