Kamis, 07 Juni 2012

SENANDUNG LIRIH LAGU TANPA SYAIR DI GELAPNYA MALAM DAN SEEKOR ANJING HITAM YANG TERTIDUR DIATAS RANJANG


Kusisir helai demi helai rambut  panjangku yang menjuntai sampai ke pangkuan dengan jemari-jemari tangan yang bergetar. Kupandangi wajahku di depan cermin besar yang menggantung diam di dinding kamar sambil bersenandung lirih. Lagu yang sama, lagu yang tiap malam kunyanyikan sayup-sayup saat bercermin dan menyisir rambut. Tak satu pun kerlip lampu di dalam kamarku, tak juga jelas mata mereka memandangku ketika bercermin. Hanya ada diriku sendiri disana, hanya aku yang bisa melihat.
    
     “Kenapa selalu lagu itu yang kau nyanyikan tiap bersamaku?”

Kusisir rambutku dari atas hingga sampai pada pangkuan, pelan. Aku menikmati setiap kali  duduk di depan cermin dan menyisir rambut dalam gelapnya kamar. Terkadang tidak ada tanya yang mengganggu ketika aku bercermin, hanya sesekali terdengar suara mirip gumam tak jelas dan hembusan angin yang menerobos masuk lewat jendela besar disamping tempatku duduk memagut diri.

Aku terus bersenandung lirih. Malas rasanya menghentikan nyanyian dan membuka mulut untuk menjawab pertanyaannya. Dari kejadian yang sudah-sudah, kelanjutan adegan berikutnya sangat mudah ditebak. Kemarin aku akan menghentikan senandung lirihku, membalik badan, menatap wajahnya dan menjawab pertanyaannya dengan santun. Tapi sekarang tidak lagi. Aku akan bergeming, terus bersenandung tanpa menggerakkan sedikit pun tubuhku. Dan dari cermin tempatku berkaca, dengan sudut mata kupandangi anjing itu teronggok bisu diatas ranjangku. Tak bergerak. Bulu-bulu hitamnya yang tebal seperti makin menambah gelapnya malam di dalam kamarku. Telinganya yang terbungkus bulu-bulu tipis bergerak naik turun seirama tarikan nafasnya. Moncong hidungnya mengkilat ditimpa sisa lendir yang mungkin di dapatnya dari bagian tubuhku. Entah, bagian tubuhku yang mana. Aku membuang pandangan dari anjing berbulu hitam itu, aku membuang keinginanku untuk ikut berbaring disampingnya, diatas seprai kusut yang masih menyimpan hangat tubuh kami beberapa menit yang lalu. Anjing hitam itu tertidur dengan damai, kedua tangannya memeluk lekat guling itu di dadanya. Ah, hangatnya jika aku ada dalam pelukannya malam ini. Helai-helai rambut yang sebagian menutupi tubuh telanjangku mulai menari ditiupi angin malam. Dingin. Angin malam mulai membuatku ketakutan. Desirnya menyentuh lembut cuping telingaku, bulu kudukku berontak. Kulihat lagi anjing hitam itu dari cermin di depanku. Tidurnya begitu melenakan. Aku ingin ada di sampingnya, luruh dalam buaian bulu-bulu tebalnya, menggulung semua kelelahan, menyerahkan diriku dan memimpikan indahnya cinta yang mungkin ada padanya malam ini. Aku ingin.
    
     “Kau cantik, Nak”

Ibu membelai rambutku dengan lembut ketika kurebahkan diri di pangkuannya malam itu. Senandung lirihnya mulai terdengar di telingaku. Lagu itu, lagu sama yang selalu kunyanyikan tiap malam saat menyisir rambut dengan jemari tangan di depan cermin dalam gelapnya kamarku.
     “Kelak akan banyak laki-laki membayar kecantikanmu dengan ego mereka, Nak. Masa itu tidak akan lama lagi,”

Aku tidak terlalu mendengar apa yang ibu katakan. Kepalaku dipenuhi nada-nada dari lagu yang tadi lirih di nyanyikannya. Lagu itu tidak bersyair, hanya nada yang iramanya mengalun seperti deru ombak di laut lepas pada malam-malam yang di sinari bulan purnama, mengajak mata menerawang menjauhi raga. Lagu itu sudah sedari kecil kudengarkan dari bibir ibu yang menggendongku dalam tubuh telanjang dengan keringat hangat yang menyelimutiku dalam gendongannya. Sering aku terkaget ketika dalam tidur lelapku butir-butir airmata ibu menetes di kedua pipiku yang direngkuhnya dalam pelukan menggigil. Terasa sekali tubuhnya yang bergetar memelukku terlalu erat. Aroma tubuhnya tidak seperti aroma tubuhnya yang biasa ku kenali, ada bau lain di helai-helai rambut, leher dada dan sekujur tubuhnya. Entah, aroma apa dan siapa yang menempel pada tubuh ibu malam itu.

Sejak malam dimana aku mengenali ibuku dengan aroma tubuh yang tidak seperti aroma tubuhnya yang akrab dengan penciumanku, sejak itu pula lagu itu menghipnotis malam-malamku bersama ibu. Bahwa sejak malam itu ibu dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar tempatku terbaring di atas ranjang sendirian dengan tubuh telanjangnya, memelukku erat-erat dengan airmata yang menetes satu-satu, adalah malam dimana aku mulai belajar menjadi dewasa.
    
     “Kenapa aku tidak boleh memelukmu?”

Aku menunduk sebentar, menghindari tatapan matanya, lalu berlalu beberapa langkah mendekati jendela. Dia hendak memulai langkahnya,
    
     “Apakah semalam aku tidak memuaskanmu?” Tanyaku.

Dia membatalkan langkahnya, membuat senyum tipis, dan menjawab,
    
     “Hanya kau satu-satunya perempuan yang membuatku bisa menikmati persetubuhan Ryn,”
     “Dan selama ini tidak pernah ku kecewakan birahimu di ranjang meski tanpa pelukan,”
     “Memang benar….,”
     “Pergilah Dan,”

Dan seperti yang lainnya, kau pun akan berlalu, menjauhiku dan membiarkanku menikmati tegak punggung kalian yang perlahan pudar dari pandangan. Kau datang sewaktu matahari tak bisa menyapa wajahmu, dan sebelum matahari datang, kau sudah tidak lagi denganku. Esok, mungkin kau akan kembali, mungkin juga tidak akan pernah kembali. Yang lain tetap akan datang, meski perlakuan kalian terhadapku sama.

Denganmu dan juga mereka tidak akan merubah kebiasaanku pada malam-malam gelap di dalam kamar. Aku tetap akan duduk berlama-lama di depan cermin dalam tubuh telanjang, menyisir rambut dengan jemari tangan sambil berdendang lirih sampai datang pagi, sampai kalian menghilang. Aku harus tetap terjaga saat kau ada di atas ranjangku. Bercermin dan bersenandung di samping jendela besar yang menghitamkan malam-malamku adalah pilihan yang tidak lagi bisa kutawar dengan hal lain.

Aku tidak boleh menyerahkan diri pada ranjang berseprai kusut yang beberapa jam lalu telah menjadi tempat kita membakar birahi dalam tubuh telanjang yang saling mengejar nikmat. Aku tidak akan merebahkan diri di samping seekor anjing berbulu hitam yang sedang pulas dalam tidurnya. Sebesar apa pun kantuk datang menyerang, aku harus bertahan. Aku tidak mungkin bisa tertidur dengan pikiran yang penuh dengan rasa jijik sewaktu membayangkan moncong hitamnya yang berlendir itu menyentuh leher, dada atau mulutku. Aku tidak mau. Aku memilih untuk duduk telanjang di depan cermin sambil menyisir rambut panjangku dengan jemari tangan, bersenandung lirih dengan lagu yang selalu sama dan berharap pagi bisa datang lebih cepat.

Apa yang kulakukan dan pikirkan saat di depan cermin di malam-malam gelap tidak pernah sedikit pun berubah sejak ibu meninggalkanku untuk selamanya. Helai-helai rambut yang kusisir dengan jemari tangan, yang panjangnya sudah sampai pada pangkuanku, adalah malam-malamku berbicara dengan ibu. Ibu meninggalkan banyak cerita pada helai-helai rambutku yang selalu dibelainya tiap malam sewaktu ibu masih hidup. Sebesar apa pun keinginanku untuk bisa tidur disamping laki-laki yang terlelap di ranjangku, sebesar itu pula aku harus membunuh keinginanku. Aku hanya merasa harus duduk bersenandung menatap malam dari luar jendela kamar sambil menyelimutkan rambut panjangku pada sebagian tubuh telanjangku, mengubur jauh-jauh keinginanku akan pelukannya.
    
     “Kita tidak boleh memeluk laki-laki yang datang pada kita, Nak,”
     “Kenapa tidak boleh Bu?”
     “Kelak kau akan menemukan sendiri jawaban dari pertanyaanmu itu,”

Tiba-tiba ada hening diantara kami. Ibu memandang jauh ke depan dalam tatapan kosong. Aku masih berharap ibu menjawab pertanyaannku.

     “Apakah ibu juga tidak memeluk laki-laki?”
     “Pernah sekali, dan itu kesalahan besar yang pernah ibu lakukan,”

Tak ada penjelasan lagi tentang pertanyaanku itu di kemudian hari. Tiap kali aku bertanya tentang alasan ibu untuk hal yang dilarangnya itu, tiap kali juga aku tidak pernah mendapatkan jawaban dari ibu.

Sampai suatu saat tanpa sengaja aku melihat ibu memeluk erat seorang laki-laki yang tidak ku kenal dari dalam kamarnya. Kedua tangan ibu melingkari punggung laki-laki yang tubuhnya jauh lebih tinggi dari ibu. Mereka berpelukan lama sekali. Ibu melanggar ucapannya sendiri! Aku kecewa pada ibu. Kemarahanku memuncak, aku merasa perlu bereaksi dengan pengkhianatan ibu padaku. Emosi membuatku hendak membuka lebih lebar pintu kamar ibu yang sedari tadi tidak tertutup rapat. Baru saja hendak kubuka pintu kamar ibu lebih lebar, ketika tiba-tiba kudapati seekor anjing berbulu hitam legam berada persis di kepala ibu. Anjing hitam itu mengibas-ngibaskan ekornya dengan moncongnya yang basah, lalu mulutnya terbuka lebar. Ibu masih memeluk laki-laki itu dengan erat, ada sedikit senyum di bibirnya. Laki-laki itu memeluknya dalam seringai yang sulit kutebak artinya. Mata laki-laki itu menatap ibuku dengan pandangan yang sangat aneh. Kedua tangannya yang memeluk tubuh ibuku penuh dengan bulu-bulu hitam legam dan kuku-kukunya yang runcing itu nyaris menusuk punggung ibuku. Aku hendak meneriaki ibu, tapi mulutku gagu dan tubuhku kaku. Anjing itu mencakar-cakar kepala ibu, menumpahkan liurnya di sekitar wajah ibu. Ibu diam saja. Ibu tersenyum!

Secepatnya aku berlari ke kamar meninggalkan ibu dengan laki-laki berbulu hitam tebal yang memeluknya dengan kuku-kuku tajamnya. Perutku terasa mual sekali menyaksikan pemandangan yang membuat perasaanku bercampur aduk,  bingung, marah, heran dan benci. Aku bingung, tak menahu ada apa sebenarnya dengan ibu. Apa yang sudah ibu lakukan, kenapa ibu diam saja ketika anjing hitam legam itu mulai mencakar-cakar tubuhnya dengan jemarinya yang dipenuhi kuku-kuku tajam? Lama aku bergelut dengan semua kebingunganku, berhari-hari mengurung diri di dalam kamar, menjauhi ibu. Sampai akhirnya malam itu ibu menghampiriku di kamar.
    
     “Perempuan seperti ibumu ini tidak boleh berharap, Nak…karena harapan yang menghampiri, datangnya selalu bersamaan dengan penderitaan,”

Pandangan mata ibu menerawang jauh, entah ke masa yang mana. Di bawanya kepalaku bersandar di pangkuannya.
    
     “Perempuan seperti kita benar-benar tidak boleh memeluk laki-laki yang datang pada kita. Ketika kita memeluk mereka, ketika itu juga kaki-kaki kita patah, jari-jari kita terlepas, kepala kita pecah berkeping-keping di udara dan hati kita hancur tak berbentuk,”

Suara ibu bergetar, aku tak berani menghentikan ucapan ibu.
    
     “Kita ini hanya pelacur Nak, tempat laki-laki membuang nikmat di pangkal pahanya. Semalam dipakai, selebihnya tak pernah diingat,”

Ibu menangis.
    
“Kalau saja sedari dulu ibu tidak pernah membiarkan tubuh ibu dipeluk laki-laki, mungkin ibu tidak akan pernah mengerti seberapa kotor dan hinanya pekerjaan ibu,”

Tangis ibu pecah. Butir-butir airmatanya menetes sampai pada luka-luka menganga berwarna merah yang ada di sekujur tubuhku. Perih. Tapi aku tak mampu merintih kesakitan, tidak juga mampu menangis. Seluruh tubuhku lemas. Aku tersungkur di bawah kaki laki-laki itu. Helai demi helai rambut panjangku terlepas dari kulit kepala, berhamburan satu persatu menyentuh lantai dan terbawa angin malam. Luka itu bertambah banyak dan memenuhi tubuh telanjangku yang mulai berwarna merah karena darah yang terus mengucur dari setiap luka yang ada.

Laki-laki itu memelukku. Menghujaniku dengan mimpi tentang sebuah rumah kecil dengan taman bunga yang bermekaran di pagi hari dengannya dan dengan diriku yang tidak lagi telanjang. Mataku berhias wajah-wajah mungil dua anak kecil yang sedang berlarian di atas rumput hijau yang membungkus halaman kecil rumah indah itu. Aku tidak lagi telanjang, aku bukan pelacur. Aku perempuan yang mempunyai seorang suami dengan dua anak dan rumah mungil bertaman bunga. Rambutku tak sepanjang cerita-cerita ibu yang penuh dengan kisah muram dan sedih. Aku memiliki semua yang dimiliki perempuan lainnya. Aku bukan pelacur, aku punyai semuanya.

     “Tidurlah, aku harus pulang malam ini. Besok aku akan kemari lagi,”

Kuku-kuku runcingnya yang sedari tadi membelai tubuhku dengan lembut tiba-tiba menusuk tajam menembus kulit dan nadiku. Mulutnya memanjang ke depan, moncong hitamnya berkilatan dengan lendir. Taring-taringnya mencabik-cabik tubuhku. Aku tersungkur penuh luka memerah. Perih. Kucoba mencari rumah mungil, taman bunga, dua wajah anak kecil dan laki-laki itu kesana kemari. Kutengok ke kanan ke kiri, ke depan ke belakang, tak ada apa pun. Tak ada satu pun terlihat di mataku. Hilang.

Hanya ada anjing berbulu hitam di depanku. Anjing hitam itu terus mencabik-cabik tubuhku dengan biadab. Kemaluannya mengencingi mukaku yang penuh dengan gurat luka cakar. Aku diam, tak mampu melawan, segala daya upayaku memuai. Kakiku patah, jari-jemariku  terlepas satu-satu, kepalaku pecah berkeping-keping di udara dan hatiku hancur tak berbentuk. Sekali lagi aku berusaha mencari sosok laki-laki yang tadi memeluk tubuhku dengan erat, aku mencarinya. Tanganku yang tak lagi berjemari, menggapai-gapai ke udara, dimana dia? Pagi sudah datang, tapi mataku tak bisa melihatnya di ruangan ini.

     “Kau melakukan kesalahan pertamamu, Nak,”

Aku tersentak. Suara dan sosok ibu tiba-tiba hadir di hadapanku.
Aku menangis tersedu.

     “Kita terlanjur kalah, Nak,”
     “Aku hanya ingin merasakan pelukannya Bu, sekali saja…,”
     “Menangislah kalau kau ingin menangis,”
     “Ibuuuu…………………..,”

Ibu memelukku dengan penuh kasih. Tangisku pecah di bahunya.

     “Aku melihat surga ketika aku memeluknya, Bu…,”
     “Aku menginginkan surga itu, Bu…,”

Ibu tidak berbicara, hanya pelukannya terasa makin erat.

     “Surga tidak pernah ada untuk pelacur seperti kita, Nak…Surga yang kau lihat saat memeluknya akan begitu saja terpendar saat pelukannya harus berakhir di pagi hari. Dia akan kembali pada dunianya yang benderang, dunia yang tak kita kenali. Dan kita akan berakhir lagi disini, sendiri menunggunya kembali dengan harapan dan mimpi, sampai terbunuh waktu yang tak pernah lagi membawanya kembali pada kita,”

Dalam perih yang masih terasa sampai malam ini, aku terus bersenandung di depan cermin besar di samping jendela besar dalam tubuh telanjang sambil menyisir rambut panjangku yang sudah sampai di pangkuan dengan jari-jari tangan yang bergetar. Senandung lagu yang sama, lagu tanpa syair. Dan jauh di dalam cermin tempatku berkaca, anjing hitam itu tergolek di ranjang berseprai kusut yang masih menyimpan hangat sisa bara tubuh kami selepas bercinta beberapa jam yang lalu. Bulu-bulu hitam di tubuhnya semakin legam menutupi sekujur tubuhnya. Moncong hitamnya masih mengkilat karena lendir yang menempel disana. Aku masih seorang pelacur yang tiap malam dalam ketelanjangannya menunggu pagi datang dengan senandung lirih lagu tanpa syair ; tak lagi menginginkan pelukan dari anjing-anjing hitam yang datang padaku, tak lagi ingin bermimpi tentang surga yang tak pernah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"