Minggu, 15 April 2012

TUBUH-TUBUH TELANJANG DAN SELIMUT KUSAM MOTIF BUNGA DI KAMARKU

     “Jangan merk itu bang, nanti gatal-gatal aku,”
Alis matanya bertemu, sudut bibirnya terbuka sedikit. Aahh, rupanya egonya mulai berteriak.
     “Beneran bang, dulu mantan pacarku pernah pakai merk itu. Gatal-gatal aku dibuatnya,”
Dibuangnya tatapan sinisnya pada bungkus-bungkus kondom yang berjejer warna-warni di rak-rak untuk deretan obat sebuah minimarket dekat kostku. Segera kuambil satu pak kondom berwarna hijau dan menyeretnya ke meja kasir. Mukanya masih saja cemberut. Laki-laki bodoh!
Kutarik tubuhnya menjauhi minimarket setelah kondom itu kumasukkan ke dalam saku celananya, berat sekali menarik setumpuk ego ditambah berat tubuhnya yang hampir dua kali lipat berat tubuhku. Akhirnya pintu kamar kostku sudah di depan mata. Kubuka pintu itu dan buru-buru juga ditutupnya pintu kamarku. Baru saja kumulai satu langkah, tapi ditariknya tanganku. Di dekatkanya tubuhku dengan tubuhnya yang menjulang tinggi di hadapanku. Tangannya keras meremas dadaku, tak satu pun bagian tubuhku terlewat dari tangan dan bibirnya. Telanjang menelanjangi, gumul menggumuli, dia menyetubuhiku dengan beringas, sangat bergairah. Nafasnya memburu, lidahnya membasahi batang leherku, dan akhirnya kemaluannya ang terbungkus karet kondom merasuki tubuhku tanpa ampun. Selimut kusamku yang menyelimuti ranjang terpaksa berlarian kesana kemari mengikuti maunya. Dan kemaluannya muntah membasahi selimutku. Meninggalkan bercak-bercak noda kental dimana-mana, pada motif bunga-bunga merah jambunya. Kusam, selimutku pucat, terlipat-lipat dengan garis-garis tak beraturan. Pudar dalam beberapa menit, lalu diam tanpa kata.
Dia terbaring lunglai, seperti setumpuk sayur bayam di pasar induk. Tubuh telanjangnya mengatur nafas ; mengatur egonya yang terlanjur muntah dalam senggam tak lama. Aku memulas senyum, ku ambil sebatang rokok dan membakarnya.
     “Mantan pacarmu itu tidak akan bisa memuaskanmu seperti aku memuaskanmu malam ini,”
Tawaku meledak begitu saja. Bunga-bunga pada selimut kusamku tiba-tiba bermekaran, putik warna kuningnya terlihat jelas. Rupanya selimut kusamku ikut tertawa, tawa yang sama kerasnya dengan tawaku, sampai tumbuh duri-duri tajam dari tangkainya.
Tak lagi terdengar satu kata pun dari mulutnya, hanya dengkuran panjang yang mengganggu telingaku. Dia terbaring dengan kepala pada kakinya, semua yang sampai pada mata, telinga, hidung dan mulutnya mulai di injak-injak oleh kakinya sendiri. Duri-duri tajam pada bunga-bunga di selimut kusamku mulai menusuk-nusuk kakinya. Dia tak bergerak, hanya terus mendengkur. Duri-duri tajam dari tangkai bunga-bunga pada selimut kusamku menusuk kakinya lebih dalam. Dan,
     “Tidak Sayang, aku tidak bohong. Weekend ini memang ada pertemuan dengan klien dari Korea,”
Sekali lagi aku tertawa keras, sampai igauannya tak berlanjut dan terpaksa kudengarkan lagi dengkurannya yang mengganggu telingaku. Rokok-rokok ini harus kubakar, aku tak mau berlama-lama merasa bersalah karena kehadirannya disini. Bukan, bukan aku yang memintanya datang kemari untuk menyetubuhiku dan membuat mulutnya berbohong pada istri dan anak-anaknya. Bukan! 
     Dia bukan laki-laki pertama yang membuat pucat selimut kusam di kamarku. Bukan juga laki-laki beristri yang pertama menumpahkan harga dirinya dengan kemaluan yang mengeras lalu lemas terkulai disini. Dan aku pun tentu bukan perempuan pertama yang mereka setubuhi dengan puluhan alasan bodoh. Aku tidak pernah minta uang dari mereka, jadi aku bukan pelacur. Aku juga tidak pernah meminta mereka menikahiku, jadi aku bukan perempuan murahan yang merelakan tubuhnya disetubuhi untuk mengikat mereka dengan akad perkawinan. Atau aku ini perempuan jalang yang kemaluannya sering gatal dan butuh dipuaskan? Tidak, aku tidak pernah mendahului persetubuhan dengan cumbuan yang membuat kemaluan mereka mengeras. Tidak juga merasa puas hanya karena cairan kental itu luber dari liang kemaluanku.
     “Aku merindukanmu,”
     “Aku tidak,”
     “Ayolah…jujurlah padaku sekali ini saja, Mars,”
     “Jawabanku itu jujur,”
Ditindihnya tubuh telanjangku. Lama dia perhatikan mataku. Tubuh telanjangnya yang masih penuh dengan keringat terlihat mengkilat di bawah sinar lampu. Diciumnya bibirku, dilumat. Kubalas ciumannya. Lama.
     “Ciuman bibir itu isi hati manusia yang sebenar-benarnya, Mars,”
Kata-katanya seperti pernah kudengar dari percakapan di film-film barat yang pernah kutonton. Dia masih mencari jawaban dari kedua mataku dengan penuh harapan.
     “Kata siapa?”
     “Kataku dan kata kebanyakan orang,”
     “Dan kau sudah membuktikan kebenarannya?”
     “Selama ini, iya. Tapi belum kudapatkan kebenarannya darimu,”
Setelah malam itu, dia terus mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya yang tak pernah ingin kujawab. Aku tak punya jawaban untuk pertanyaan melankolis dari laki-laki yang hanya ku kenali kemaluannya. Untuk apa menjawab pertanyaan mereka ketika mereka mulai merasa memilikiku, memiliki tubuh telanjangku. Tidak ada keharusan untuk menyerahkan diriku pada mereka yang datang dan pergi hanya untuk melabuhkan kemaluannya, lalu berlalu begitu saja ketika hatiku mulai kuserahkan. Kelopak bunga-bunga selimutku mulai rontok satu-satu. Bunganya yang berwarna merah, memudar. Bunganya yang berwarna kuning menutup diri, kuncup. Setelah persetubuhan dengan mereka, tak ada yang bisa memeluk tubuhku. Tak satu pun dari mereka. Hanya kita yang berbincang, tertawa, saling mengejek, menangis lalu kembali pada diri masing-masing. Aku dengan diriku sendiri dan kau dengan bunga-bunga, duri-duri dan warna-warni juga kusut kusamnya dirimu diatas ranjang.
     Sejak aku memutuskan untuk disini, tanpa siapa pun, meski mereka terus hadir dan berlalu, datang dan pergi, aku tak pernah mengutuk diriku. Aku berhenti mengharapkan sesuatu yang tak pernah kukenali. Berhenti untuk menunggu kehilangan datang dan merampas satu persatu anggota tubuhku. Sejak itu aku memulai segalanya disini hanya dengan selembar selimut kusam bermotif bunga. Sering kali noda mengotori kelopak-kelopak bungamu, sesering duri-durimu mengabarkan kebenaran padaku tentang mereka yang datang hanya untuk berbagi kelamin dan beberapa yang hendak membuang sauh lalu menyerah pada keangkuhan yang memagari remuk redamnya hatiku.
     Tak ada yang bisa kupercaya selain selimut kusam di kamarku yang selalu kupeluk erat dengan airmata dan tawa diantara kemaluan-kemaluan mereka yang memintaku jujur di antara pergumulan birahi. Kerap kali aku menggigil ketakutan setelah pergumulan semalam tanpa satu pun pelukan menenangkan. Terkadang tawa kerasku juga lumer begitu saja ketika kebenaran demi kebenaran itu terjawab tanpa perlu kutanyakan.
     “Mars, menikahlah denganku,”
     “Ibumu tidak menyukaiku,”
     “Rebutlah hatinya,”
     “Kenapa bukan hatinya yang kau minta merebut hatiku?”
Diam. Menunduk. Berlalu dan tak pernah lagi kembali mengucap cinta.
Aku menunggumu disini dengan selimut kusamku yang bunganya enggan mekar, sama-sama merasakan cemas dan gundahnya menanti.
     “Kenapa tidak kau ambil uang pemberianku?”
     “Aku tidak sedang menjual kemaluanku padamu,”
 Dagunya terangkat. Senyumnya sinis. Berlalu dan kepalanya terinjak-injak oleh kakinya sendiri. Aku disini, memeluk erat selimut kusamku, bunganya masih enggan mekar, tapi duri-duri tajamkeluar dari leher tangkainya, senang rasanya bisa menyakiti otak yang hanya sekecil biji kemaluannya.
     Sudahlah, kita akan selalu disini selimut kusam motif bungaku. Murunglah bersamaku, tertawa keras-keras denganku di waktu-waktu yang tak pernah berjeda. Aku tak akan kemana-mana, akan tetap disini denganmu, mempersilahkan mereka datang dan pergi, merampas harga diri mereka yang ku kencingi hanya dalam semalam, lalu meludahi mereka dengan noda-noda yang mereka tinggalkan. Biarkan mereka datang dan pergi, singgah dan berlalu, seperti ombak yang datang bergulung-gulung, lalu pupus.
     “Apakah kau tidak ingin memeiliki satu diantara mereka?”
     “Tidak,”
     “Kau tidak takut sendirian, kesepian dan tidak memiliki siapa-siapa?”
     “Aku memilikimu. Bunga-bunga dan duri-duri tajammu masih tetap menemaniku,”
     “Pilihlah satu diantara mereka, Mars. Aku hanya selembar selimut yang serat-serat kainnya retas perlahan dimakan waktu. Bisa tercabik-cabik dan terburai, lalu terbuang. Tak mungkin selamanya bisa menemanimu,”
Aku terdiam. Menundukkan kepala dalam-dalam pada dadaku yang sesak dan, .....aku menangis.

8 komentar:

  1. luar biasa tulisannya, vulgar, apa adanya, tapi kena bangetttt. gregett...keren.
    mbak, orang sby? kalo boleh tau sby mana ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah berkenan mampir ke blog saya.
      Mohon selalu sentilan dan jewewran mesranya, saya masih dan sedang belajar untuk menulis cerita.
      Ya, saya lahir dan besar di Surabaya, tapi sekarang masih nomaden, hehehe...

      Hapus
    2. tinggalnya di surabaya mana ya mbak? wah, teman saya tertarik sekali dengan tulisan2 mbak...berhubung dia ada di luar negeri jadi dia minta tolong saya untuk mencari CP mbak :D alamat email paling tidak :D

      Hapus
    3. Email saya di yayagyp77@gmail.com

      Hapus
  2. Balasan
    1. Anoimnya ada dua, kenapa gak sebut nama aja ya, hiks :(

      Hapus

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"