Selasa, 03 April 2012

MIMPI-MIMPI YANG PULANG MEMENUHI RAHIM BERISI NISAN-NISAN PUCAT

     Pecahan beling itu mulai menusuk-nusuk dinding rahimku. Perih rasanya di dalam sana. Tuhan, berikan lagi satu kekuatan untukku kali ini. Ini bukan proses kelahiran pertama yang kualami, aku pasti bisa melaluinya dengan biasa saja. Aku pasti bisa. Tak perlu berkeluh kesah, tak usah juga ada airmata, ini bukan yang pertama!. Ku usap-usap perutku dengan perlahan, berulang dan ku usap lagi. Berpuluh nafas panjang kubuang dalam dengus yang tidak tenang. Aaahhh…segeralah lahir, jangan menggangguku selama ini, aku sudah muak.
     “Dalam setahun ke depan kita akan punya satu rumah di komplek perumahan mewah itu Sayang, ini benar-benar luar biasa!” Dengan semangat dan jemari tangan yang menunjuk kesana kemari tanpa jeda, kau muntahkan semua kegembiraanmu di ruangan sempit yang penuh sesak dengan  mimpi-mimpimu yang kau bawa pulang. Aku pusing melihatmu yang tak henti-hentinya bergerak kesana kemari. Tubuhku yang rebah lunglai pada kursi di ruangan ini dengan menahan sakit sedari tadi tidak kau pedulikan. Dagumu begitu menjulang, aku tak bisa melihat wajahmu dari tempatku duduk. Dan aku malas mencari wajahmu, ruangan ini sudah terlalu membuatku gugup kalau harus kupaksakan diri untuk menghadirkanmu.
     Tiap kali kau pulang dengan mimpi-mimpimu yang kau bawa pulang, tiap kali pula hatiku menjerit. Tak pernah ada ruang yang cukup untuk kita, untukmu dan untukku saja. Selalu ada mimpi-mimpimu dan orang-orang lain yang kau bawa pulang. Aku tak pandai mengingat, bukan  karena aku bodoh, hanya saja aku malas mengingat siapa saja teman-temanmu yang kau kenalkan padaku. Yang kuingat hanya suara dan tawa mereka yang sama nada dan bunyinya dengan suara dan tawamu, suara-suara yang bisa membuatku merinding.
     “Ini Arya yang kuceritakan padamu waktu itu, Sayang,”
     “Gara-gara keuletan Pram inilah, tender-tenderku mulus. Kau mengingatnya khan, Sayang?” Tidak! Aku tak mengingat satu pun dari mereka yang kau kenalkan padaku sedari kau menceritakannya. Aku tidak ingin mengenal mereka.
     Rasa sakit makin menggila di dalam rahimku, pecahan-pecahan beling itu seperti makin menusuk-nusuk. Aku tak mampu lagi duduk bersandar dengan tenang. Sesekali punggungku harus membungkuk dengan tangan mencengkram perut kuat-kuat. Sepertinya proses kelahiranku kali ini akan lebih cepat dari yang dulu-dulu. Duh, Gusti…andai saja ibuku masih ada. Aku harus berdiri. Aku ingin dirimu. Aku inginkan pelukanmu. Dimana kau? Mataku tiba-tiba gelap, tubuhku ringan seperti kapas, melayang-layang dan tiba-tiba, bbbuuuuummmmm..!
Aku terjatuh di lantai. Tak ada yang bisa kulihat, semuanya gelap. Tubuhku tergeletak begitu saja pada lantai yang dingin. Mataku terbuka pelan-pelan. Mulutku terkatup rapat. Apakah aku pingsan? Ataukah sudah mati? Oh tidak Tuhan….jangan sekarang. Aku coba untuk menggerakkan kaki dan tanganku bersamaan. Bisa! Aku belum mati. Terimakasih Tuhan. Aku harus berdiri. Aku ingin dirimu. Kucoba untuk berdiri. Rasanya sangat berat untuk menarik tubuhku dari lantai ini. Kucoba lebih keras lagi untuk berdiri. Tidak bisa! Ada apa ini? Dimana aku? Kenapa tiba-tiba aku terjatuh di lantai dan tidak bisa berdiri lagi meski tangan dan kakiku bisa kugerakkan?
     Pelan kugerakkan leherku ke kiri dan kanan. Kau masih di sana, berdiri tegak di bawah lampu hias yang menyala warna-warni. Masih mondar-mandir dan mulut yang terus bersuara. Aku bisa melihat dan mendengarmu, tapi sekujur tubuhku tak bisa kugerakkan, apalagi untuk berdiri.
     “Kau tahu Sayang, beberapa dealer mobil besar di kota ini mulai memberikan katalog-katalog mobil mereka yang di bawa sales managernya hari ini. Aku tinggal memilihnya,”
Jemari-jemari tanganku terus berusaha menggapaimu dari bawah sini. Kucoba terus untuk mengangkat tubuhku. Tak bisa. Aku berusaha berteriak memanggil namamu. Berteriak sekeras-kerasnya, sampai rasanya kering sekali tenggorokanku. Tapi kau tetap meracau dengan semangat yang tak kendur sedikit pun. Sesekali tertawa terbahak-bahak, lalu melompat-lompat bahagia. Kenapa kau tak mendengar aku memanggil namamu?
     Tiba-tiba perih yang teramat sangat mulai merajam dinding rahimku lagi. Kali ini lebih hebat lagi sakitnya. Tolonglah aku, Mas…aku kesakitan. Sepertinya sekaranglah saatnya. Aku selalu melahirkan di tempat ini. Berkali kucoba menjauhi tempat ini ketika waktuku melahirkan mendekat, berkali juga benih dari tubuhku terlahir diruangan ini. Diantara kesakitan yang teramat sangat ketika hendak melahirkan, di dekatku juga kau selalu ada. Dari sekian proses melahirkan, kau tetap ada di sampingku. Kau yang membuatku harus melahirkan! Aku mulai meneriakimu, lebih keras dari sebelumnya. Entahlah ini teriakanku yang ke berapa, aku menyerah untuk berteriak lagi. Airmataku menetes satu-satu. Pipiku mulai hangat oleh airmata. Kaki dan tanganku terentang lunglai, membisu di lantai ruangan ini. Rasa sakit itu sudah tidak lagi bisa kurasakan. Tubuhku tak bergerak, mulutku terkatup dan aku menangis.
     Suaramu makin lamat ku dengar. Tubuhmu makin pudar dalam pandanganku. Tubuhku menggigil, bergetar pelan dan makin cepat. Kraaakkkkk…kraaaaakkkk…suara itu akhirnya datang lagi. Kucoba menutup mataku pelan-pelan dan menikmati bunyi itu dengan telinga dan kedalaman hatiku. Perih itu tidak lagi bisa kurasakan, meskipun kemaluanku mulai sobek, kraaaakkkkkk...Darah menyeruak dengan derasnya. Darah. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuhku, hangat menyeruak tak terbendung. Tubuhku masih menggigil, tapi keringat yang mengucur ini begitu hangat. Aku memanggilmu lirih. Tak sekali pun kau menengok padaku. Dan dari kemaluanku keluarlah apa yang sedari dulu selalu keluar dari kemaluanku dalam beberapa kali proses kelahiran yang ku alami. Tak ada sakit yang kurasakan ketika nisan-nisan itu keluar dari dalam kemaluanku yang robek. Satu…dua…empat, kali ini empat nisan dari batu berwarna kusam dan terlihat pucat yang keluar dari dalam rahimku.
     “Apa yang kau inginkan, Sayang?”
     “Aku menginginkan dirimu yang dulu,”
     “Aku masih laki-laki yang sama, laki-laki yang kau cintai dan mencintaimu,”
     “Kau semakin berbeda dari hari ke hari,”
     “Itu hanya perasaanmu saya, Sayang,”
     “Kau tidak pernah lagi membiarkan aku bicara,”
     “Bicaralah sekarang kalau kau mau, aku akan mendengarkanmu,”
     Aku tidak pernah lagi bicara sejak semuanya terlambat untuk kita. Tak pernah lagi. Aku sibuk mendengarkan semua isi kepalamu. Aku berusaha keras mengingat teman dan kolega-kolegamu. Kau terus mengajakku masuk pada duniamu yang penuh dengan ambisi. Kau sibuk berlari seorang diri. Tak pernah lagi kita menghabiskan waktu bersama hanya untuk duduk berlama-lama diruangan ini untuk melihat film-film yang kita suka tanpa harus memenuhi hari dan ruangan kita dengan semua hal dan orang-orang yang tidak ingin kukenal. Sejak itu aku menganggapmu tidak ada. Sejak itu aku dan kita menjadi nisan-nisan tanpa kubur di dalam rahimku. Sejak itu, aku membunuh semua tentang kita yang tak pernah lagi kau isi dengan diriku, dirimu ; kita. Sejak itu, tiap kali kau pulang membawa mimpi-mimpimu, tubuhku menolak lagi untuk menerimamu. Kita terus terpendar dalam jarak yang membentang sekian waktu tanpa pernah kau sadari. Aku tak pernah lagi mengenalmu, mungkin juga begitu denganmu. Rasa sakit yang terus terasa ketika hidupmu penuh dengan semua hal yang tidak ku kenali, memaksa tubuhku menyimpan benih-benih amarah dan kekecewaan yang kian menggerogoti tubuhku. Aku muak menjadi orang asing di depanmu dan aku benci ketika semua mimpi-mimpimu menelanmu bulat-bulat hingga menjadi laki-laki aneh bagiku. Aku menguburmu tidak jauh, masih disini…di dalam rahim yang terus melahirkan nisan-nisan pucat bertulis namamu dan nama kita. Kita sudah lama mati, Sayang.  
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"