Sabtu, 08 Oktober 2011

PINANGAN

    Aku tinggalkan cangkangku malam ini. Akhirnya genap sudah hatiku meninggalkannya. Kutinggalkan kau dengan hangatnya bulir airmataku. Tak lagi kutengokkan mauku untuk kembali dan mengurungkan niatku padamu. Gegap penuh harap langkahku berjalan meninggalkan cangkang tuaku ini. Ada sedikit senyum yang terus terkembang didalam hatiku ketika langkah kaki membawaku makin menjauh darimu. Disana kau menungguku dengan kedua tanganmu yang luas merentang menantiku dalam pelukanmu. Sedikit kupercepat langkahku. Bukan kau yang memintaku untung meninggalkan cangkangku. Kau tidak pernah berkata satu patah kata pun ketika aku selalu menumpahkan semua airmataku dibahumu yang terus menerus menghangatiku dalam pelukan. Aku memelukmu kuat-kuat dan lebih lama dari semua pelukanku padamu sebelumnya. Sedikit kulirik binar matamu yang menyimpan sedikit kecemasan akanku malam ini. Tapi pelukanmu untukku benar-benar melumpuhkan semua kecemasanmu sendiri. Aku menelusup masuk jauh kedalam pelukanmu, dalam hatimu. Kaulah ujung yang kutuju selama ini, ujung paling akhir yang selalu kucari selama ini. 
    Kau bawa aku ke tempat dimana tiap malam aku ingin berada. Hanya satu petak kecil ruangan yang hanya berisi aku dan kamu. Kita memiliki tempat ini sejak 3 tahun yang lalu kita bertemu. Disini begitu banyak kenangan yang kita gantungkan dilangit-langit. Tak seluas cangkangku yang begitu luas tapi kosong. Disini hanya ada aku dan kamu. Kau dengan rokok diujung bibirmu, dan aku yang tak pernah lepas dari pelukanmu. Seakan kau tahu betapa berkecamuknya hatiku saat ini, tak sedikit pun kau tinggalkan aku dalam naunganmu. Kau tidak pernah menjanjikan apa pun padaku sejak mula kita bertemu. Tak pernah satu pun barang-barang pemberian yang kudapat darimu. Aku pun tak pernah meminta apa pun ketika kudapati dirimu selalu ada untukku setiap kumau kau ada. Aku tak pernah banyak bicara padamu, hanya ingin selalu ada dalam pelukanmu. Kaulah laki-laki yang terlalu mampu menelanjangi diriku tanpa pernah membuatku bercerita dalam banyak kata. Hanya matamu dan mataku yang berbicara sejak awal kita bertemu. 
    Lama berselang aku dan kamu hanya seperti ini, saling meringkuk dalam pelukan. Angin malam yang masuk dari jendela yang kau buka semalaman begitu membuatku terlena. Aku melihat jauh disana, sedikit bibir laut masih tersinari syahdunya rembulan. Itulah lukisan yang selalu aku dan kamu rindukan dari tempat ini. Kau usap selalu punggungku dengan jemari tanganmu yang lembut, 
"Antarkan aku kembali kalau memang apa yang kulakukan ini salah dan membebanimu,"
Tak satu pun jawaban dari mulutmu kudengar ditelingaku, hanya eratnya pelukanmu yang makin kurasakan. Airmataku terus menderas hangat disekalnya pipiku. Kau hapus dengan jemarimu. Begitu lembut semua gerak tubuhmu. Aku memelukmu. Aku tahu dimana tempatku sekarang berada. Aku mencintaimu bukan karena aku mengharapkan cintamu. Aku mencintaimu karena kau memperkenankanku mencintai dan memilikimu disaat-saat terburuk dalam hidupku. 
    Bagiku, cangkang tempatku berasal tak pernah menggenapiku sebagai perempuan yang istimewa. Aku tak pernah istimewa. Aku ada karena tidak pernah dimaui untuk ada. Adaku pun tetap membuat mereka tidak berkenan. Aku mendewasa tanpa sesiapa yang mengajariku arah yang harus kutujukan untuk melangkah. Aku kosong dan hitam yang tak terlihat. Pilar Kokoh dalam cangkangku tak pernah mendengar tangisku bahkan disaat atap cangkang tempat aku dan Pilar Kokoh itu berada, membunuhku perlahan-lahan hanya dengan hentakan-hentakannya yang tak pernah kuduga datangnya, 
"Kau bukan siapa-siapa, dan tak akan pernah jadi apa-apa!"
Semua adalah benarnya atap cangkang, dan Pilar Kokoh selalu menutup telinga atas semua titahnya. Aku terus merajuk dibawah pilar kokohku tiap dia begitu menjulang tinggi bagiku yang berdarah-darah memohonkan lindungannya. Dan berkali itu juga aku muntah darah dibuatnya. 
"Aku bukan pendosa yang tak harus selalu kau anggap tak ada. Aku ingin kau melihatku ada,"
Dan untuk kesekian kalinya Pilar Kokohku menganggapku tak pernah ada demi tunduk patuh Sang Pemilik Atap Cangkang. Cintamu yang teramat luas pada Atap Cangkang telah membawamu begitu jauh dariku, seonggok ketidakberartian dalam cangkang tempat kita bersama selama ini. 
    Sembah sujudku pada perlambang-perlambang cangkang hidupku tak pernah sirna. Tiap aku sejenak meninggalkan kalian, selalu kusampaikan salamku dengan lirih bathin. Aku tak boleh berkata-kata dan terlihat. Selalu berjalan membelakangi kalian dan tidak pernah boleh bersuara. Aku bisu dan mati. Kucari diriku yang tak ada didalam cangkangku diluaran yang gemerlap, ramai dan tak pernah sepi. Aku mencari Pilar Kokohku diluar sana. Aku mencari Atap Cangkangku dijalanan. Aku menginginkan kalian selalu ada meski haru kucari dan kudapatkan dari luar cangkangku. Aku menghebat bak pemenang lotere dirumah-rumah judi Las Vegas ketika Pilar Kokoh yang berkumis tebal menjilati batang leherku dan mengucap satu dua patah kata rindu dan sayang padaku. Aku menghangat lekat pada Cangkang Atapku diluaran yang selalu memeluk dan mengusap-usap kepalaku saat kuserahkan beberapa lembar uang kertas warna merah. Aku berharga dan berarti ada untuk mereka, Cangkag Atap dan Pilar Kokohku diluaran.
    Aku adalah aku yang hilang dan tak lagi mengenali siapa diriku ketika aku di dalam cangkangku dan diluaran sana. Didalam cangkangku, kerap aku menangis meronta ketika artiku tidak pernah diperkenankan ada. Diluar cangkangku, aku selalu tertawa lebar dengan mulut bau alkohol dan airmata berceceran yang tumpah ketika Pilar Kokohku menindihku dengan kelaminnya yang sangat menusuk kesepianku. 
"Aku bukan siapa-siapa, dan tidak akan jadi apa-apa,"
Magisnya sihir kata-kata itu terus terpatri dalam seluruh aliran darahku. Memintaku selalu teringat dan harus mengingat ketidakberartianku. Aku bukanlah apa-apa, bahkan saat kau menemukanku diselokan dengan muntahan isi perutku disatu malam dengan sekujur tubuhku yang penuh bekas tumpahan cairan kental para Pilar Kokohku. Kau meraihku, menggendongku ketempatmu yang sekarang kita tinggali. Kau membasuhku dengan air hangat, kau bersihkan sekujur tubuhku dan memakaikan selembar bajumu lalu memelukku begitu saja. Kau laki-laki yang membersihkan aku dalam ketelanjangan penuh noda tanpa menutup mata hatimu padaku. Kau yang memelukku disaat kau tidak pernah mengenal siapa dan bagaimana diriku. 
     Setelah malam kita pertama bertemu, aku tak pernah menahu kenapa pagiku selalu berakhir ditempatkmu ini. Mungkin aku terlalu mati dan terbunuh setiap malam menjadikanku pemburu hangatnya Cangkang Atap dan Pilar Kokoh. Kau tidak pernah menanyakan apa pun padaku, tidak pernah juga kau tinggalkan aku sedikit pun disini tanpamu. Sejak itu, aku terbiasa menangis dipelukanmu. Mencarimu diantara ketidaksadaran yang mengharuskanku kembali ke cangkangku. Aku terlanjur terbiasa mendapatimu tegak disampingku. Terlanjur mencandu hangat pelukanmu. Dan kau tidak pernah menolakku. Kau tidak pernah memintaku pergi, meski kerap gaun-gaun malamku yang compang-camping membuatmu jadi tertuduh dibawah mata mereka tiap kali kau raih aku dalam gendonganmu di nyaris tiap malam. Kau tutup telingaku rapat-rapat ketika beberapa batu mereka lemparkan ditempat kita sekarang saat malam-malam aku luluh dipelukanmu tanpa satu ikatan apa pun. Kau tidak pernah bergeming untuk siapa pun. Bahkan sampai ketika Cangkang Atapku diluaran membawa empat laki-laki berbadan kekar meninju sekujur tubuhmu di malam kesekian kau menggendongku, kau tetap memelukku tanpa airmata sedikit pun yang menetes dari matamu. 
"Aku mencintaimu mutiara hitamku,"
Bisik lirihmu itu yang kudengar persis ditelingaku ketika kau membekapku dalam pelukanmu ketika malam-malam begitu berat untuk kita lalui. Aku terlalu bodoh untuk mendengarnya diantara ketidaksadaranku, namu hatiku merasakan semuamu dalam hatiku. 
     Disinilah kita berada, disatu tempat yang membuatku memilikimu. Aku hanya ingin berada disatu tempat yang menerimaku apa adanya dengan semua kekuranganku akan cinta dan kasih. Aku tak menginginkan sesiapa pun disini, hanya dirimu...laki-laki ringkih yang tak pernah pandai bicara namun keluasan hatimu memberiku megahnya dunia untuk kutinggali. Aku tak akan pernah lagi mengharap kasihsayang dari Cangkang Atap dan Pilar Kokohku. Aku lelah untuk selalu mencari dan mengharap. Aku memilikimu. Memiliki sorot matamu yang meminangku untuk tetap kuat menjejak pijak tanpa harus mengotori diri sendiri, karena aku adalah aku yang kau maui dengan seluruh kotor, noda dan airmata tanpa kata hingga ujung takdir memisahkan kita. Akulah pengantin yang kau pinang ditiap malam kau gendong aku dalam mabuk kepayang akan esok kita. Akulah pengantin yang kau nikahi ketika bajuku compang-camping penuh noda para Pilar Kokoh dalam penyerahan diriku yang tak terbatas. Aku Mutiara Hitam yang kau pinang hanya dengan pelukan dan tanpa kata-kata. Dan aku bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"