Senin, 26 September 2011

DIBAWAH RINDANGNYA KAMBOJA ORANYE DAN SEKOTAK KAMU

     Disini dulu kukuburkan benda-benda tentangmu yang tak mau kubakar begitu saja ketika kita berpisah dan terpisahkan masa. Dibawah pohon flamboyan berbunga oranye ini dulu kubawa sekotak penuh semua barang-barang yang berisi kamu. Aku masih mengingat dengan baik, bagaimana aku berlari ke taman dibelakang komplek rumahku dalam derai airmata tanpa bisa kubendung dengan membawa sekotak kamu ditanganku. Sore itu aku tak ingin lagi ada dikamarku, aku ingin berlari mengejarmu. Tapi itu tak mungkin! Aku ingin mencarimu diantara angin sore diluaran yang mungkin bisa membawakanmu padaku saat itu. Begitu saja aku berlari meninggalkan kamar tanpa alas kaki. Berlari sekencang-kencangnya tak tahu harus kemana menuju. Hingga aku tersengal-sengal dalam derasnya airmata dan nafas yang menderu. Aku tergugu pilu dibawah megahnya kaki flamboyan oranye ini. Kupeluk sekotak kamu dalam tundukku yang hiruk pikuk dalam raungan tanpa jeda. Kupanggil-panggil kamu, lagi dan lagi. Aku tak berarti ketika aku sampai pada titik yang sedari dulu kutakuti menghampiriku. Luluh lantak aku pada teriak kehilangan akan dirimu yang selama ini begitu membabi buta memenuhiku dengan segenap cinta dan kasihmu yang hangat.
    "Aku mau kau ada disini, jangan tinggalkan aku, jangan....."
    Sepanjang sore itu, kuhabiskan piluku dalam raungan panjang seakan tak pernah kutahu, apakah mampu aku menghabiskan sisa sedihku saat itu. Kupeluk dekap erat kau di dadaku. Kau masih selalu membuat detak jantungku begitu cepat berdegup, bahkan sejak kutahu kau memutuskan untuk meninggalkanku dua minggu  sebelum kepergianmu. Kepergianmu pernah kita bicarakan waktu itu dalam banyak peluk dan berpuluh pintaku. Kutahu matamu begitu tercabik-cabik setiap aku meraung dalam pelukanmu. Kutahu kau pun tergetar nyaris gentar ketika pelukanmu begitu lumat ditubuhku. Waktu itu pun kutahu kalau aku dan kamu terlalu berani meminta  cinta datang sementara dihati. Mestinya sedari awal kita tak memperbolehkan ada cinta merasuk diantara kita. Aku tahu rasa itu yang kelak akan jadi bumerang dan hanya tinggal menunggu saatnya untuk pecah. Aku tak pernah ingin mengenalmu dengan rasa cinta. Aku selalu berusaha senantiasa ada disampingmu dengan dinding tipis itu, menjauhkan cintaku darimu. Yang kutahu pun kau demikian. Kita hanya bertemu dan dipertemukan di satu waktu yang di skenario manusia dan diperuntukkan untuk manusia meski kita melupa bahwa manusia jauh lebih mempunyai hati dan perasaan ketimbang (maaf) binatang.
    Awalnya kau dan aku begitu bersahaja menjaga dinding tipis itu tanpa memperkenankan satu sama lain untuk mengikisnya. Kau datang dan pergi menemuiku dirumah "kita" selayaknya suami dan aku istri, seperti kesepakatan awal kita. Aku menjadi istrimu untuk 3 tahun berikutnya sejak masa dinasmu sementara di kotaku mempertemukan kita dalam drama metropolis. Kau pun menjadikanku istri untuk 3 tahun berikutnya dengan begitu manusiawi. Kau sama sekali berbeda dengan laki-laki lain yang menjadi "suami-suami" temanku. Kau tidak pernah menyentuhku selama 6 bulan pertama "pernikahan" kita. Meski seatap kita dalam satu bangunan, selama 6 bulan pertama itu kau memperlakukanku seperti teman yang baru kau temui. Setelah lepas penatmu sepulang kerja, kau selalu mengajakku berbincang tentang apa saja yang ringan sambil sesekali kau lepaskan canda-candamu. Kau menyebut fase itu adalah masa-masa pacaran kita. Tiap akhir minggu, kau selalu tak mau lembur karena itu waktumu dan waktuku untuk menghabiskan hari mengujungi ujung-ujung kota, berdua saja. Sejak aku mulai merindukanmu, kau pun mulai merasakan cintamu juga tumbuh untukku. Sejak itulah kita benar-benar "menikah" dan berkumpul disatu kamar dalam satu ranjang. Kau selalu memelukku erat-erat tiap malam, tak pernah sekalipun kau membiarkanku tidur tanpa pelukanmu. Kau mulai pintar memanjakanku dengan semua kasih sayangmu. Dari mulai membangunkanku tiap pagi dengan secangkir kopi pahit kesukaanku,  sampai sembarang jajanan yang kau bawa tiap pulang kerja. Kita lebih sering menghabiskan malam didepan telivisi sambil bercerita dan bercanda kesana kemari. Dan kita selalu sangat merindukan malam-malam kita diatas ranjang yang tak selalu penuh adegan ranjang.
    Kau sangat menyukai ketika aku mulai bercerita tentang apa saja yang mau kau dengar selama aku jujur menceritakannya padamu tanpa ditambah dan dikurangi. Sejak itulah aku menceritakan semuaku padamu. Tak jarang aku tergetar dalam tangis penuh nelangsa dipelukanmu yang hangat ketika ceritaku lagi-lagi tentang aku yang kotor dan terpaksa melacur untuk sampai bisa ada dihadapanmu saat itu. Kau memelukku begitu hebat ketika tangisku makin menguat.
    "Aku tak pernah bisa melacur di depanmu meski aku telanjang tanpa sehelai benang sekali pun,"
Aku melacur sejak ibu mendapati suaminya mekangkang diatasku ketika aku masih 15 tahun. Dengan penuh amarah dimatanya yang memerah, ibu membawaku ke seorang perempuan yang tak pernah kukenal sebelumnya. Aku tak pernah tahu apa pembicaraan mereka, namun yang pasti terjadi setelah pembicaraan antar ibuku dan perempuan tadi, aku tak lagi tinggal bersama ibu dan bapakku. Aku tinggal dirumah besar yang siang selalu sepi nyaris mati tanpa geliat kehidupan sama sekali. Namun malam  dirumah besar itu terlalu berisik mengusik semua tanyaku yang akhirnya terbiasa oleh kondisi yang melacurkan aku sejak hari pertama aku datang ke rumah besar itu. Aku melacur ketika aku 15 tahun hingga 8 tahun berikutnya saat aku bertemu denganmu. Dan denganmu aku tak pernah melacur karena kau tidak pernah memperlakukanku seperti seorang pelacur bahkan sejak pertama kali kita bertemu dirumah besar itu.
    Rasa itu datang menyelinap diantara kita begitu saja. Kita tidak pernah menyadarinya hingga satu pelukan makin erat dan teramat erat untuk dipisahkan lagi. Satu malam makin hangat ketika satu tangis terhapus dengan kasih sayangmu yang tak pernah berkurang kurasa tiap hari bertambah sedikit untuk kita. Kita tak pernah menyadari cinta itu datang tiba-tiba dan seketika menghenyakkan sewaktu pisah sudah di depan mata. Kau meninggalkanku karena memang bukan disini tempatmu. Kau punya kehidupan lain dikotamu sendiri. Kehidupan seorang laki-laki yang normal adanya, dengan rumah indah, anak dan istri yang selalu membuat gairahmu bersinar. Kau disini untuk 3 tahun yang hanya sementara. Sebulan sebelum kontrak kerjamu dikotaku usai, tak henti-hentinya kau hujani aku dengan segala apa yang semakin membuatku bahagia dan bangga menjadi "istrimu." Kau mengajakku ke semua tempat-tempat yang pernah kita datangi sewaktu 6 bulan pertama kita dalam masa pacaran. Hingga ketika kita benar-benar diujung waktu, kau berikan kehidupan baru untukku yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam sedetik pun pejam mataku saat aku jadi penghuni rumah besar itu. Kau tinggalkan aku sebagai aku yang bukan pelacur dari rumah besar. Kau mau aku tidak lagi kembali kerumah besar itu. Kau ingin aku tetap jadi "istri" yang membahagiakan dan membanggakan suaminya. Kau tinggalkan aku dengan sekotak masa depan yang kau berikan padaku , sekotak kamu yang kupendam dibawah rindangnya kamboja oranye ditaman belakang komplek rumah kita.
    Sejak kau meninggalkanku, hatiku tak pernah genap memberanikan diri untuk membuka sekotak kamu yang akhirnya kutanam begitu saja dibawah rindangnya kamboja oranye. Sejak aku mengejarmu dan tak pernah terkejar, aku tak pernah mendapatimu lagi dalam hidupku. Aku mencarimu kesana kemari tapi aku tak pernah menemuimu, bahkan meski itu hanya sekedar khabar burung tentangmu. Aku patah tanpa gemeretaknya tulang-tulang sendiku. Aku gontai tak berarti bahkan ditempat yang terindah yang kau berikan padaku, rumah kita. Sejak melepasmu tanpa bekas hari itu, aku hancur tanpa sesiapa pun. Aku mati oleh percaya. Aku terkubur dalam penantian. Aku menunggumu yang tak kunjung datang hingga 4 tahun berikutnya, saat aku kembali bersimpuh dibawah rindangnya kamboja oranye tempatku menyimpan sekotak kamu dibawah sana. Aku luluh lagi untuk kesekian kali dalam wujudku yang kotor tidak karuan penuh sisa-sia birahi banyak laki-laki. Aku melacur lagi ketika kau telah mengangkatku dari lubang terkotor dalam hidupku sebagai seorang perempuan. Dan tiap aku melacur lagi, lagi dan untuk kesekian kalinya aku melacur lagi, aku selalu datang dibawah rindangnya kamboja oranye ini.
     "Pulanglah mas, jenguklah aku sekali lagi. Bawa aku jauh dari sini. Hanya kau yang bisa membuatku jadi perempuan yang berarti. Hanya adamu yang menyelamatkan harga diriku mas. Pulanglah! Bunuh aku kalau kau hanya meninggalkanku dalam keadaan yang sama, bunuh aku mas!"
      Selalu seperti itu, berulang kali selalu seperti itu. Aku pernah benar-benar memenuhi maumu untuk tidak lagi melacur. Aku mematuhi apa yang pernah kau pesankan padaku setiap malam saat kita selalu berpelukan dimalam-malam yang begitu menyenangkan. Aku pun tak pernah ingin melacur lagi. Aku tidak ingin melacur lagi! Itu yang pernah kau minta kuteriakkan ditelingamu keras-keras ketika malam membawa kita dibibir pantai yang gemuruh dengan perasaan kita masing-masing. Aku tidak pernah mengingkari janji kita. Sampai ketika mata orang-orang disekitar rumah kita begitu menghakimi aku. Sampai satu waktu semua mulut mencibirku dengan sebutan lamaku sebagai pelacur yang kehilangan laki-lakinya. Tiap waktu, tiap aku menampakkan diri diluar rumah, selalu hujatan mereka yang kudapati. Mereka mencercaku yang menyelidik mencarimu yang tak pernah terlihat lagi. Mereka melempari rumah kita dengan kondom bekas yang begitu bau hingga aku terpaksa membersihkan sisanya dengan airmata. Aku masih istrimu mas, bahkan ketika satu malam membawaku menangis dalam air mata penuh darah ketika seorang suami dari warga yang selalu mencaciku sebagai pelacur datang tanpa kutahu dan tiba-tiba meminta hak kelaki-lakiannya untuk dipuaskan olehku, yang seorang pelacur. Aku masih istrimu mas, bahkan ketika malam-malam berikutnya tak pernah ada lagi yang datang sungkan-sungkan sekedar untuk menggagahiku yang hanya seorang pelacur. Aku menjerit sekencang-kencangnya tanpa suara diantara desah birahi mereka diatas tubuhku. Aku meronta memanggilmu pun ketika mereka menumpahkan kotoran mereka diatas tubuhku, tubuh istrimu yang kau cintai.
    "Mas, kembalilah persis pada 4 tahun yang lalu saat kau meninggalkanku. Kembalilah. Hujamkan pisau ini dijantungku dan kuburkan aku dibawah rindangnya kamboja oranye tempatku menyimpanmu dalal sekotak kamu. Biarkan aku mati disini karenamu mas. Perkenankan aku mati tepat ketika 4 tahun yang lalu ketika kau meninggalkanku karena aku tak pernah mau lagi melacur!" 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"