Senin, 19 September 2011

AKU TAK MAU LAGI BERDOA

    Aku puaskan lagi laki-laki itu malam ini dibilik yang sama ketika malam itu dia begitu penuh padu rayu dan peluk pagut tanpa jeda saat dekat denganku. Ini malam kesekian setelah malam-malam sebelumnya akhirnya aku mengenali sedikit raut wajahmu yang tersentuh pendar cahaya lampu. Sedikit  saja yang kulihat, matamu begitu dalam memandangiku dalam panjangnya malam yang selalu menyembunyikanmu di ujung  gelapnya lorong.  Aku tak pernah mengenalinya. Terlebih ketika aku masyuk menjual diriku pada banyaknya laki-laki yang selalu memenuhi lorong ini tiap malamnya. Sesekali saja aku melirik ke sudut yang selalu memberikanmu ruang disana untuk selalu mengamatiku dari kejauhan. Aku tak bisa menikmati adamu terlalu lama, bisa-bisa laki-laki yang mau membeli tubuhku pada kabur kalau cemburu melihat sudut pandangku yang terlalu lama ke arahmu. 
    Kau perlahan mendekati cahaya setelah malam hendak menarik pagi dan lorong yang semalam penuh laki-laki mabuk dengan asap rokok dan birahi kelaki-lakiannya mulai pergi satu per satu dari dekatku. Aku terduduk seenaknya dengan tungkai kaki yang melebar kemana-mana dan sebatang rokok yang kuhisap pelan.
"Tenagaku hanya kupersiapkan untuk empat laki-laki malam ini, tapi yang datang  tujuh. Aku lelah mekangkang!" 
Udara beberapa senti disampingku tiba-tiba menghangat dan terasa agak senyap. Ada kamu mendekat disampingku.Kulirik hadirmu dengan ujung mataku. Tidak kudapati bau kelaki-lakianmu, hmm...kucoba lagi melirikmu sedikit lebih lama. Ada yang aneh dengan laki-laki ini. Aku tetap tidak mencium bau kelaki-lakianmu bahkan saat kau begitu dengan dengan tubuhku yang (kata mereka) selalu memancing kelaki-lakian mereka tegak mnantang birahi. Ada apa dengan laki-laki ini?
    Yang kuingat sejak ujung pagi itu mempertemukanmu denganku setelah sekian lama kau mengintaiku dari kejauhan, hanya satu keanehanmu yang membuatku merasa terasing dan juga bincang satu arahmu padaku yang kelelahan tentang cinta dan rasa yang kau tawarkan padaku. 
"Ah, goblok! Laki-laki tidak pernah punya cinta! Yang kamu mau hanya selangkanganku, jadi jangan tawarkan aku rasa!" 
Aku memang selalu menghebat penuh luapan setiap cinta ditawarkan diawal dan diakhiri dengan sekedar birahi dibawah pusar, biadab! 
Kuingat kau yang melipat hadirmu pagi itu lamat-lamat setelah aku menjauhimu bahkan setelah berpuluh-puluh malam berikutnya kau masih saja disana, diujung lorong gelap yang sama dan masih dengan mata yang sama, memperhatikanku dari kejuahan tanpa pernah lagi berani mendekat padaku. Dan kau masih akan tetap disana sampai malam menarik pagi dan lorong ini menjadi sepi. Hingga beberapa hari berikutnya, kau beranikan diri meninggalkan sebungkus tas plastik dibangku tempat dulu kita pernah berbincang pertama dan terakhir kali waktu itu.
    Setelahnya kau masih seperti itu, datang tanpa kutahu, mengamatiku dari kejuahuan hingga malam menarik pagi dan dibangku tua itu selalu ada bungkusan plastik yang kau tinggalkan. Bungkusan plastik itulah yang lambat laun membuatku larut menginginkan mengenal dirimu lebih dari kemarin. Isi dalam bungkusan plastik itu jugalah yang akhirnya membuatku menarikmu ke dalam bilikku setelah malam benar-benar menarik pagi kala itu. Dan memang kau laki-laki yang aneh. Aku tidak pernah dapat membaui kelaki-lakianmu, bahkan saat berkali-kali kutarik kau dalam bilikku hanya dengan kutang yang tak menampung buah dadaku dengan layak dan pahaku yang kemana-mana, kau tetap tidak membiarkanku membaui kelaki-lakianmu. Kau hanya terus memelukku, meraba lembut rambut hitamku yang penuh dengan keringat birahi setelah semalaman memuaskan beberapa laki-laki. Kau selalu begitu, diam tanpa geming, hanya memelukku dan hanya menyayangiku dengan caramu yang terlampau biasa. Bagiku, kau tetap laki-laki yang aneh, laki-laki yang bau kelaki-lakiannya tak pernah kubaui.
    Sejak mengenalmu, sejak kau dan bungkusan plastik itu menemuiku, aku jadi lebih berani untuk berdoa.  Beberapa kali kukembalikan bungkusan plastik itu padamu, namu berkali pula kau  simpankan bungkusan plastik itu dipangkuanku. Setelah kau menenangkanku, lalu pergi meninggalkanku, kubuka dan kututup secepat kilat bungkusan plastik itu. Tapi toh akhirnya, kunikmati juga isi didalam bungkusan plastik itu. Hingga akhirnya aku mengiyakan untuk berdoa karenanya.Aku masih belum suci putih ketika memberanikan diri untuk berdoa. Tapi aku memberanikan diri. Aku punya keinginan sekarang yang kuminta padaMU karenanya. Aku masih memilikinya yang membiarkan aku berteduh setelah lelah mekangkang dan berpeluh keringat dari laki-laki yang tentu selain dia. Dan dia selalu mendapatiku disini dengan banyak tanda merah dileher, dada dan dimana-mana. Tanda merah dari beberapa mulut laki-laki yang beringas melahapku dari tiap malam. Dan dia masih tetap aneh, tetap hangat memeluk dan mengelus lembut tangannya pada kepalaku.  Aku tenang dan hangat saat dia memperlakukanku seperti anak kucing yang mendapati induknya yang lama hilang. Matanya tak pernah menelanjangiku. Pelukannya tidak juga memaksaku untuk melayani kelaki-lakiannya yang tak juga bereaksi kala kami lekat dalam hangat. Doaku terlepas,
"Perkenankan aku berhenti,"
Doa itu pernah kupintakan padaMU sewaktu pertama kali aku masuk dan hidup dilorong gelap ini. Bertahun-tahun berikutnya aku tak pernah lagi berdoa dan meminta, karena kutahu, memang ini yang harus kujalani. Dan dia, laki-laki yang tidak pernah kutahu siapa nama dan darimana asalnya ini seketika membuatku merasa perlu untuk berdoa lagi.
     Doaku penuh dengan harap, terlebih ketika dia tetap datang seperti biasanya dan menggenapiku sebagai perempuan yang lemah tanpa daya dan membutuhkannya, laki-laki tegak yang kupintakan dalam doa untuk menyelamatkanku dari riaknya kehidupan kotorku. Aku siap untuk meninggalkan lorong gelap yang selalu suram dan pengab dengan deru nafsu dan rayu birahi. Lorong gelap yang tak pernah sepi tapi selalu membuatku menangis ditengah-tengah pekik nikmat banyaknya laki-laki yang mekangkangiku tiap malam. Aku hanya mengkilat kala kelaki-lakian mereka terangkat, selebihnya aku bukan siapa-siapa. Kala benderang ada dikepalaku, tak satu pun dari mereka yang mengenaliku. Aku ingin jadi mahkota siang. Aku ingin menjadi perempuan yang kau bahagiakan dan menemanimu mencari kebahagian kala dunia terang benderang tak lagi remang-remang. Aku perempuang penuh keringat laknat yang sekali lagi punya pinta dalam doa pendekku.
    Beberapa malam setelah itu, sejak doaku itu kupintakan, aku tak lagi pernah mau berdoa. Aku tetaplah aku yang dulu, yang hidup dilorong gelap, penuh dengan laki-laki penuh birahi kelaki-lakian, yang selalu merayu padu untuk sekedar bisa mekangkangiku. Tiap aku berdoa, aku tak pernah lagi mau berdoa. Dan kau pun, laki-laki yang sedari awal kudapati tanpa bau kelaki-lakianmu, kini kau pun jadi laki-laki yang membuatku berhenti berdoa. Persis ketika aku selesai berdoa memintaberhenti untuk kau selamatkan dari riak malam, seketika itu juga aku membaui kelaki-lakianmu yang murka atas birahimu diatas selangkanganku. Tepat ketika kalimat terakhir doaku, kau...laki-laki yang awalnya tidak kubaui kelaki-lakianmu, begitu membabi buta mengelupas cinta penuh rasa yang dulu kau tawarkan padaku dengan kelaki-lakianmu yang keras menantang hebat menerobos selangkanganku. Menggagahi rasa cintaku yang pelan merayap pada mimpi-mimpiku untuk menjauhi lorong gelap ini sekedar ingin berlari menjauh denganmu dan mencari terang benderang yang putih untukku. Seketika itu juga kau menghabiskan semua rasa cinta yang ingin kujaga denganmu hanya dengan desah nafsamu yang menderu hebat inginkan kepuasan. Dan aku kembali kecewa.
    Aku kembali lagi disini, dilorong hitam dengan laki-laki yang masih penuh dengan bau kelaki-lakiannya, asap rokok dan bau alkohol dimana-mana yang bersabung rayu birahi. Dan kini aku didekatmu, dengan kau juga yang lekat disampingku. Laki-laki dulu yang akhirnya memberikan kesempatan padaku untuk membaui kelaki-lakiannya disaat-saat terakhir aku ingin berhenti melacur. Dan aku tak mungkin lagi berhenti melacur. Tak mungkin lagi aku berdoa, aku tak mau lagi berdoa. Aku tak akan lagi punya keinginan berlarian dengan laki-laki tanpa bau laki-laki yang (mungkin) bisa membawaku menjauh dari lorong ini dan memahkotakanku dikepalanya sebagai dewi putih suci yang akan dibawanya kemana-mana dengan bangga penuh basuh cintanya yang tulus bersih untuk aku yang kemarin legam hitam dilorong gelap penuh birahi. Aku tak mau lagi berdoa. Aku berhenti berdoa!


   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"