Jumat, 12 April 2013

BIAR TANPA TANDA BACA

Kita mulai menyukai titik setelah beberapa kata yang kita baca sulit dilagukan, terbata.
"Kita harus berhenti..., tak ada lagi makna setelah titik," sama halnya dengan terhapusnya senyummu yang kemarin kubawa kesana kemari.

"Aku masih menyukai koma dalam lipatan keningmu yang perlahan menggelindingkan butiran-butiran keringat dari hatimu yang lelah mengayuh...," sampai keningmu memutus anak-anak tebing, dan mempersilahkan kita kembali bercengkrama pada sepanjang sore yang hening.

Tapi kita memang harus mulai menyukai titik; buru-buru menuduh sebuah buku terlalu banyak mencemooh, lalu berhenti.
"Adakalanya halaman-halaman putih itu harus dibiarkan tanpa satu huruf dan tanda baca sama sekali...," biar tanpa mauku, juga tidak dengan maumu, biar angin laut dan basah lumut-lumut hijau membisikkan maunya pada kita yang terlanjur angkuh untuk sekedar bergenggaman tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"