"Kita harus berhenti..., tak ada lagi makna setelah titik," sama halnya dengan terhapusnya senyummu yang kemarin kubawa kesana kemari.
"Aku masih menyukai koma dalam lipatan keningmu yang perlahan menggelindingkan butiran-butiran keringat dari hatimu yang lelah mengayuh...," sampai keningmu memutus anak-anak tebing, dan mempersilahkan kita kembali bercengkrama pada sepanjang sore yang hening.
Tapi kita memang harus mulai menyukai titik; buru-buru menuduh sebuah buku terlalu banyak mencemooh, lalu berhenti.
"Adakalanya halaman-halaman putih itu harus dibiarkan tanpa satu huruf dan tanda baca sama sekali...," biar tanpa mauku, juga tidak dengan maumu, biar angin laut dan basah lumut-lumut hijau membisikkan maunya pada kita yang terlanjur angkuh untuk sekedar bergenggaman tangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"