Selasa, 10 Juli 2012

BANGKU TUA DI TAMAN KOTA

Gerimis, Taman Kota

Tak ada banyak orang sore ini, tak ada siapa pun menemani bangku tua yang diam di guyur gerimis. Dingin yang dibawa gerimis membuat gurat tua di wajahnya berseloroh,
“Tak akan ada yang datang menemanimu menghamburkan kata,”
Kelabunya langit mengajaknya muram ; tubuhnya gemetar memanggil kemarin. Ah, mungkin dia masih tersesat.

Taman ini tidak begitu jauh dari jendela rumahnya, aku bisa melihatnya menghabiskan batang demi batang rokok kreteknya dari sini saat bulan bulat sempurna. Dia yang kuingat adalah aku yang lelah mengabdi pada sepinya malam-malam dingin.
Kami saling menghibur dari kejauhan ; berbicara pada kerlap-kerlip bintang tanpa menahu nama.
Begitu seterusnya, sampai tumpahan airmatanya menghangatkan tubuhku yang merindu. Entah apa yg ditangisinya, kami tak pernah bertukar kata, hanya punggungnya memenuhi dadaku saat kami bertemu malam itu. Selalu begitu...kaki dan tanganku mulai berkarat setelah sekian gerimis, embun, panas matahari dan airmatanya menggenangi diamku. Besok akan kukhabarkan pada jemari kakinya tentang bunyi-bunyian kerikil hitam yang menghuniku.



Taman Kota, masih gerimis

Pohon-pohon tua makin perkasa mengubur sejarahku;tunggu menunggu dalam bisunya rindu. Aku tak lagi bisa melihat jendela rumahnya dengan mata yang mulai rabun. Tangan dan kaki-kakiku yang keropos di huni karat tak lagi mampu meraba jejaknya. Sedikit sisa nafas kubiarkan melarung waktu, disini...
“Aku merindukan aroma puluhan batang rokok kreteknya yang membuatku melirik runduk dadanya dalam sedannya hening,” ....masih disini, pada gerimis di Taman Kota yang muram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan "cacian"mu dan ajarkan saya agar tetap bisa "menunduk"