Senin, 30 September 2013

HUJAN SEBELUM PERPISAHAN

Rinai gerimis berjatuhan pada hitam di kedua matanya, mengaburkan jalan berkelok di depan sana.
Pucuk-pucuk cemara itu masih runcing, tajam berjejer dari hutan yang lebat oleh hitam bukan karena malam,
"Sampai sejauh ini, salahkah hujan datang mendahului perpisahan?" melupakan awal yang tak pernah ingin diakhiri, terjamu ambigu, sendiri merasakan malu dikalahkan mimpi-mimpi dari kepalanya yang tak pernah sepi.
Baca Selengkapnya - HUJAN SEBELUM PERPISAHAN

Minggu, 29 September 2013

HITAMKAN SAJA

"Mendekatlah padaku," bersama mengenang angka-angka berwarna hitam yang beberapa kali muncul tenggelam di hari-hari kelahiran.
"Waktu itu kilat petir belum keras menyambar dada," lupakan, hitamkan saja angka-angkanya.

Di kemudian hari, senyum di bibir menggulung jalan-jalan temu, ditelikung pesta semalam diatas panggung mimpi.
"Bukankah keramaian adalah tempat yang tepat untuk menghitamkan angka-angka?" melarikan dosa pada maaf yang tak melahirkan sesal.

Baca Selengkapnya - HITAMKAN SAJA

Sabtu, 28 September 2013

ENTAH...

Pintu-pintu malam diketuknya dengan tubuh renta dan hati yang kalang kabut.
Dihampirinya, entah untuk singgah demi secangkir kopi, ataukah tinggal untuk sejarah yang kerap membuat luka.
Mulutnya bungkam untuk sekian tanya yang tercekat di batang leher. Lelucon pun datang terlambat pada langit yang kehilangan warna merah di bibirnya,
"Hati kerap membatu begitu saja, diam tanpa gerak," lalu waktu berbalik arah, tak lagi saling mengenali.
Baca Selengkapnya - ENTAH...

Jumat, 27 September 2013

FLASHBACK

Seperti punggung perempuan-perempuan tua yang menuruni kening laki-lakinya dari ranjang yang masih hangat, ibuku pulang membawa amarah dalam matanya.
Ditumpahkannya amarah disana, pada pagi yang masih mendengkur dengan kemaluannya yang keras,
"Kopi panasmu sudah di atas meja, bangunlah! Berteriaklah dengan kemaluan yang kau banggakan itu pada dunia untuk mulut anak-anakmu yg mencicit,"

Di matanya tak ada yang lain; ibunya membungkuk dalam renta, tersedu... teringat pilu dibawah tindihan suaminya yang semalam meminta haknya tanpa mengingat wajah ibuku yang kelaparan sedari kemarin.

Baca Selengkapnya - FLASHBACK

Kamis, 26 September 2013

SEORANG DIRI

Bagaimana mungkin bisa kulukis garis-garis wajahmu dengan baik sewaktu senja memeluk bahu mungilmu yang tertunduk menyembunyikan derasnya tangis.
"Lautan itu pernah kau bawakan untukku dalam senja yang teramat hening," hari dimana sekian nama-nama kutinggalkan untuk sekedar menggenggammu lekat dalam jalan-jalan setapak di telapak tanganku.

Bagaimana bisa aku membunuhmu pada senja yang tak pernah mampu mempertemukan janji dari wajah pucatmu yang terlambat meneriakkan rindu,
"Bukankah tak pernah ada cela pada senja di lautan...?" pada rindu yang terlambat pulang, dari senja yang bertamu di bahu mungilmu yang tersedu menumpahkan airmata. Seorang diri.

Baca Selengkapnya - SEORANG DIRI

Rabu, 25 September 2013

BERJALANLAH PERLAHAN UNTUK PULANG

Berjalanlah pulang pada jarak-jarak sejengkal yang malam itu diingat mimpi sebagai masa bepergiannya tembok-tembok kaku tanpa raut muka di dasar hati.
Berjalanlah perlahan...sangat perlahan, agar hatimu tak perlu risau menghitung langkah untuk kaki yang tak pernah benar-benar keluar dari pintu pucat dalam matamu.
"Jangan berkhabar apa pun pada gerimis yang menanggung rindu....," pada musim penghujan yang hendak dihapus kemarau; terusir mimpi sejak mata tak berani terpejam.
Baca Selengkapnya - BERJALANLAH PERLAHAN UNTUK PULANG

Selasa, 24 September 2013

PEREMPUAN YANG MEMBAWA RUMAHNYA KEMANA-MANA DENGAN PUNGGUNGNYA

Tubuhnya tak sebesar rumah yang dibawanya kemana-mana dengan punggung agak membungkuk. Kulitnya coklat gelap seperti kulit pohon yang dibasahi hujan kemarin sore. Tapi kedua kakinya sangat kokoh, tak ada ragu sedikit pun untuk menancapkan jejak pada tanah basah yang menanjak di hadapannya.

Pada tiap pagi yang masih gelap, saat orang-orang meringkuk dalam dengkur panjang di bawah selimut kusut mereka, perempuan itu sudah menantang gigil pagi. Sebatang rokok linting yang baranya enggan memerah diam dicekik jemarinya. Tak ada doa, hanya lirih sapanya pada Tuhannya,
"Pagi Tuhan, apa khabar Kau disana?" Nafasnya menyemburkan buih-buih putih tak seberapa. Dihembuskannya nafas dalam-dalam.
"Ikutlah denganku. Bantu aku membawa rumahku sampai ke atas sana," Tuhan tak banyak bicara. Seperti mulutnya yang lalu terkatup rapat begitu saja. Selalu begitu setiap pagi.

Tak pernah sekali pun waktu membuatnya tertarik untuk meninggalkan senyum pada orang-orang di sekitar perjalanan yang dilihatnya. Melihat pun enggan, apalagi meninggalkan sapa dan sebaris senyumnya untuk mereka. Perempuan itu hanya akan menatap jalanan menanjak di hadapannya dengan dua bola mata yang tak mungkin bisa ditebak ceritanya oleh semua penduduk kampung. Dan tak satu pun dari orang-orang akan menyapanya, setidaknya begitu sejak sekian puluh tahun yang lalu. Jauh setelah tubuhnya menghilang nun jauh di atas sana, sesekali kasak-kusuk sebagian penduduk kampung terdengar.
"Untuk apa sepagi ini dia naik ke atas sana? Sedang suaminya mendengkur sekeras babi di bawah selimut,"
"Puluhan tahun pun, pekerjaannya tak membuat rumahnya berubah. Masih saja miskin!"
"Anak-anaknya cuma maling dan lonte!"
Lalu semua terdiam. Tak ada lagi suara-suara itu. Tiba-tiba semua menjadi enggan membicarakan perempuan yang membawa rumahnya kemana-mana dengan punggungnya yang agak membungkuk itu.

Pagi ini ranting-ranting pohon yang tertidur di atas tanah, basah. Sekali lagi musim hujan membuatnya terbangun. Renta usianya tak lagi bisa membuatnya menangis. Sepanjang waktu memunguti ranting-ranting kayu, dari musim ke musim. Mengumpulkannya satu demi satu untuk dibawa pulang, dijemur, lalu ditumpuknya di sudut dapur yang perapiannya membara hanya untuk ubi dan air, sekedar untuk menemaninya menutup mata dan telinga.
Memilih jadi patung yang diam gagu sewaktu remuk tubuhnya digauli suaminya dengan buas, tanpa peduli sendi-sendi tubuhnya terlepas sejak pulang menuruni bukit diatas sana untuk yang kesekian kali hari itu. Mematung dibawah tindihan tubuh laki-laki yang menamparnya keras dengan akad yang tak pernah membuatnya berkuasa atas tubuhnya sendiri.
Memilih menjadi buta sewaktu anak lelakinya terhuyung memasuki rumah dengan karung besar berisi entah, tak ada ciuman ditangannya dari anak yang dilahirkannya sendiri tanpa bantuan dukun beranak.
Memilih menjadi tuli ketika anak perempuannya mendesah keras dari bilik disamping tubuhnya, entah dengan laki-laki yang mana lagi di dalam sana.

Bukit yang membuat tubuhnya tak pernah lelah naik turun sekian puluh tahun ini hanya bukit yang sunyi. Pohon-pohon tua yang hidup berakar pada tanahnya tampak begitu muram. Disana perempuan itu duduk termangu seorang diri. Rumah kayunya yang tua dimakan musim masih menempel di punggungnya. Tak ada siapa pun disini, hanya ada perempuan itu. Angin sedikit kencang berhembus, membuat bulu kuduk berdiri. Perlahan rumah yang dibawanya kemana-mana diturunkan, diletakkannya disamping tubuhnya yang bersandar letih pada sebuah pohon. Nafas beratnya terlepas. Dihisapnya kuat-kuat sebatang rokok linting yang tinggal seruas jari.
"Tuhan, kemarilah.... duduk di dekatku," Bibirnya bergetar. Matanya nanar menatap rumah-rumah kecil dibawah bukit. Garis-garis halus di ujung matanya tampak begitu jelas meski hari masih ditutupi mendung sedari pagi.
"Ah Tuhan..., sampai kapan rumah tuaku ini kubawa kemana pun tiap aku pergi?" Matanya mulai berkaca-kaca. Semakin dalam dihisapnya rokok di tangan, lalu awan-awan kecil itu berhamburan keluar dari sedikit celah dibibirnya yang hitam.
"Rasanya tak ingin lagi kubawa suami dan anak-anakku di punggung. Tak mungkin lagi menyembunyikan mereka dibelakang punggungku dari mulut busuk orang-orang kampung.....," Tubuhnya tergetar, entah karena apa. Airmatanya menetes. Dingin menguap.

Bukit mulai dihujani gerimis. Gemericiknya menampar daun-daun. Muram kembali datang. Perempuan dengan rumah kayu di punggungnya mulai menuruni bukit. Tubuhnya agak membungkuk, tatapan matanya khusyu' menelan jalanan licin yang tanahnya hitam legam, sehitam kehidupan dibawah bukit yang hendak ditujunya pada ujung perjalanan pulang. Rumah, tempat usia tak pernah membuatnya lelah menyembunyikan aib dan busuknya keringat orang-orang yang disusuinya dengan cinta sampai hari ini.

Baca Selengkapnya - PEREMPUAN YANG MEMBAWA RUMAHNYA KEMANA-MANA DENGAN PUNGGUNGNYA

Senin, 23 September 2013

MALAM

Pagi belum berani mengintip. Hanya sedikit kilat mata malam yang mengintip dari seberang cangkir kopi,
"Tiap kali menyeduh harap, gelap dan senyap merayap..," lebih tepat memandangi hitam dengan hati yang penuh ingatan, daripada menghamba untuk kicau burung-burung angkuh di luar jendela,
"Bukankah pagi ini tepat musim ke sekian aroma kembang-kembang kopi bertamu pada batang lehermu yang tercekat dilunta halaman-halaman buku tanpa huruf dari mulut malam?"
Baca Selengkapnya - MALAM

Minggu, 22 September 2013

PULANG PADA JANJI TEMU

Dari panjang helai-helai rambutmu yang memeluk malam di sekujur tubuhku,
"Aku ingin pulang dengan hati lengang...,"
Tak lagi menengok berisik mimpi dari seberang jalan yang hari itu disusuri doa-doa, yang lalu tanda bacanya habis begitu saja dilahap gerimis.
"Aku sudah pulang pada kota ini...," pada janji temu yang melerai rindu, pada laut yang gemuruh ombaknya datang dari langkah kakimu yang mendekat, tak pernah beranjak dari setia.
Baca Selengkapnya - PULANG PADA JANJI TEMU

Sabtu, 21 September 2013

RINDU HARU

Gerimis datang lebih dulu dari embun. Rintiknya membunuh lampu taman di halaman belakang,
"Biar tetap malam pada cangkir kopi...," tak mengapa gelap, biar hati menikmati hening di telapak tangan dengan aroma basahnya rumput dan bentakan yang menggetarkan kalbu di awal hari,
"Dalam mata terpejam..., pd rasa harunya rindu...," kurapal jejak-jejak kakimu yang kemarin tertinggal di teras belakang rumah; nyaris menyentuh hati, tapi tidak pernah benar-benar lekat.
Baca Selengkapnya - RINDU HARU

Jumat, 20 September 2013

SESENDOK PEMANIS

Tambahkan setelah air mata
Usai beberapa langkah menjauh
Sesendok pemanis datangkan pesta
Tawar getir, duka tak boleh bersauh
Baca Selengkapnya - SESENDOK PEMANIS

Kamis, 19 September 2013

KEMBANG KOPI

Lahir dari gigil
Tak hendak pucat untuk beku
Sejak kuntum menutup diri, gelap memangil
Kembang kopi memilih cangkir, abadi diseduh lamunan tabu
Baca Selengkapnya - KEMBANG KOPI

Rabu, 18 September 2013

PERNAHKAH?

Sekian hari dalam perjalanan rembulan yang pulang pada rahim langit, garis hitamnya tak pernah ingkar untuk setia kembali ke bibir laut.
"Memandangmu dari sini dengan dada lapang dan mata berlinang adalah persembahan atas sederet doa-doa,"

Lirih diri menjamah hatimu yang mengeraskan duka,
"Pernahkah sekali kau campakkan angkuh dan setumpuk keAkuan di kerongkongan demi untuk menikmati gelap disini?" Gelap yang tak pernah membuat pelukanmu lepas untuk lara.

Baca Selengkapnya - PERNAHKAH?

Selasa, 17 September 2013

LANTANG

Biar dada retak
Terhentak sekian jarak
Tak mengapa dihantam ombak
Khianat meludah, Lantangkan hati yang koyak!
Baca Selengkapnya - LANTANG

Senin, 16 September 2013

TANPA YA, JUGA TIDAK

Tak ada Ya, juga Tidak pada penanggalan di belakang punggung. Diam membenamkan raut wajah, juga kenangan dan secangkir obrolan tentang mimpi; dibiarkan kehilangan hangat, juga muka.
"Aku berlari menjauh diusir diri yang sibuk meninggi-tinggikan dadanya pada sekumpulan kembang-kembang di seberang jalan,"

Tanpa Ya, juga Tidak...pagi di sekitar hati segera berkemas; membawa sisa pagi yang terlunta oleh diam dari angka-angka di kalender dinding, terbunuh bungkam.

Baca Selengkapnya - TANPA YA, JUGA TIDAK

Minggu, 15 September 2013

HARI MINGGU

Semalaman merupai langit
diracuni tawa kepura-puraan
seolah sinar bintang tersengit
Kamar kembali kosong, dimana teman?
Baca Selengkapnya - HARI MINGGU

Sabtu, 14 September 2013

LARUNG

Mulut-mulut bungkam
Perjalanan bertemu tanya
Tak ada huruf, nama-nama karam
Telikung melarung janji temu, terlunta
Baca Selengkapnya - LARUNG

Jumat, 13 September 2013

DETAK JARUM JAM

Jalanan setapak di bahumu yang licin dibasahi germis pada muramnya pagi menyembunyikan kusamnya rindu.
Secangkir kopi pahit menghangati ruang-ruang kosong di dasar hati; berhenti merindu, tak lagi berdaya melafalkan tanya.
Sekian perjalanan dari ujung-ujung jemari kaki membawakan sebentuk cermin bernama sejarah,
"Bahkan saat musim hujan menghuni setiap pagi pun, detak jarum jam tak pernah bisa berbohong,"
Baca Selengkapnya - DETAK JARUM JAM

Kamis, 12 September 2013

LAMUNAN DI RUAS-RUAS JARI

Kuturunkan puisi itu dari bahumu yang menguning menghadap pagi. Tak satu pun lirih suara hendak membantah.
"Aku mencandui lamunan dibawah ruas-ruas jarimu yang menjauh,"
Hanya ada aku, kemuning dan desau angin dibalik cuping telinga,
"Jejak-jejak itu hanya akan sampai di batang leher," sesekali membuat kering tenggorokan, acap kali membanjiri lafal namamu dalam hening; menggenang dan menenggelamkanmu.
Baca Selengkapnya - LAMUNAN DI RUAS-RUAS JARI

Rabu, 11 September 2013

SEORANG DIRI

Bagaimana mungkin aku berkhianat pada hening di kedua pipi bangku tua yang tersendirikan oleh gigil pagi di halaman kedua mataku?
Bangunkan aku dengan ketiadaanmu di sepanjang jalan setapak itu..., biar bisa kupeluk tubuh dengan doa yang menghidupi diri dengan senandung lirih dari cintaNya.
Seorang diri..., sendiri menyakini garis-garis takdir di telapak tangan yang setia mengajak bercanda.
Baca Selengkapnya - SEORANG DIRI

Selasa, 10 September 2013

GARIS WAJAH DAN PITA KASET TUA

Di sisi mana sebenarnya tubuh tegakmu setia menetap pada raut wajahku sedari kita mulai bercerita tentang pagi di dada masing-masing?
Pertanyaan itu seperti pita kaset tua yang terus diputar sampai jatuh renta, nyaris tidak mampu lagi mengeluarkan suara.
"Aku merasakan detak jantungmu dari tanah basah di pagi yang gelap...," pada garis-garis wajah yang tak mungkin bisa kau baca dengan baik saat sibuk dengan jarum jam.
Baca Selengkapnya - GARIS WAJAH DAN PITA KASET TUA

Senin, 09 September 2013

MASIH MENGINGAT

Aku masih mengingat dengan baik cerita pohon tua itu tentang benalu yang menempel lekat pada renta dadanya.
"Bagiku, tak mungkin sibuk bersilat lidah dengan hujan dan kemarau, sementara dia mempertahankan hidup dari tubuhku...,"

Sejak itu, aku melihatmu memeluknya tanpa jeda, tak sekali pun melihat gerimis dan pagi yang oranye,
"Lambat laun, kami makin membutuhkan satu sama lain...," dia yang terdekat dengan jantung dan airmataku, mustahil bagiku berbagi cerita pada gerimis dan kemarau yang hanya bertamu dengan puluhan cerita mereka, tanpa telinga di dadaku.

Baca Selengkapnya - MASIH MENGINGAT

Minggu, 08 September 2013

MENGHIAS CERMIN

Buang dulu duka di tempat sampah
Sunggingkan senyuman penuh gairah
Jadilah sempurna untuk Cermin, pandanglah
Aku meraung, pun tersungkur...harus terindah Tegakkan bahu seperti gunung
Biar dada tak lagi canggung
Cermin hendak menari di atas panggung
Meminta haknya dari tubuh yang mematung Cermin tak perlu peduli dengan cerita
Kusut masam tubuhmu bukan deritanya
Gurat tuamu adalah alasannya menjadi durjana
"Hiaslah Cermin sampai habis kulumat tubuhmu yang muda,"
Baca Selengkapnya - MENGHIAS CERMIN

Sabtu, 07 September 2013

MELANKOLI GERIMIS

Ia membunuh kenangan, setelah lelah merias hati. Rintiknya menyayat garis-garis halus di ujung mata, memaksakan warna-warna perak pada mata yang buta dari pilunya rindu. Pagi ke malam, malam ke pagi... musnah tapaknya dihancurkan gerimis. Melankoli akrab bercengkrama dengan gerimis, semena-mena menikam kenangan. Terkubur diam di luar pagar, tak hendak mengingat apa pun.
Baca Selengkapnya - MELANKOLI GERIMIS

Rabu, 04 September 2013

IBUKU TERSESAT

Adakah dia disana, Bu?
Laki-laki yang darahnya di tubuhku
Tengoklah sebentar dari jendela rumah
Adakah matanya berlinangan air mata?

Laki-laki itu disana, Nak
Di pelukan tubuh perempuan bukan ibumu
Menjilat-jilat ketelanjangan tanpa sejarah tentangmu
Gagah meludahi kita dengan kelakarnya

Bapakmu disana, Nak
Lelah mengadu tubuhnya untuk esok
Keringatnya mengucur pada gelas minummu
Esok Bapakmu pulang, memelukmu erat

Bapakku laki-laki setia,
Melupa pulang demi birahi
Ibuku perempuan tersesat,
Dipaksa menjunjung akad dengan mata berlinang

Baca Selengkapnya - IBUKU TERSESAT

Selasa, 03 September 2013

TUHAN DI DALAM DOMPET

Dan wajahnya yang terampas dompet kulit lusuh berwarna coklat sejak sepekan lalu, membuat orang-orang di seluruh penjuru ruangan menjadi hamba, dan dia berhala. Semua benda di sekitarnya tampak kecil, tak lebih besar dari jentik-jentik nyamuk. Dan kalian, entah teman, bahkan lawan pun nyaris tak terlihat. Hanya sebesar kelereng.
Hari ini dia membawa tuhan dalam dirinya untuk cuci mata, berkeliling di sebuah komplek pertokoan terbesar di kotanya. Sudah lama tuhan tak diajaknya masuk ke tempat seperti ini. Dulu tuhan selalu berkeringat dingin dan ragu-ragu masuk tiap kali memasuki mall komplek pertokoan yang dingin ini, sedingin wajah orang-orang miskin.
Setidaknya hari ini tuhan tidak mengeluarkan keringat dingin, dan kakinya melenggang begitu saja, tak lagi ragu-ragu. Pandangan matanya menyapu seluruh kilau lampu dan benda-benda benderang di dalam ruang-ruang berkaca bening. Tak ada yang istimewa sampai sejauh ini kakinya menjelajahi komplek pertokoan ini. Justru ada sedikit rasa bosan ketika mendapati benda-benda terpajang di kanan kirinya tampak begitu kecil.
Tiba-tiba hati tuhan melonjak-lonjak ke langit-langit pertokoan. Tak sadar tuhan dalam dirinya menjerit. "Itu...., itu tempat yang waktu itu membuatku sangat gemetaran," Sebuah swalayan besar dengan gerbang masuk yang juga besar. Tidak. Dalam ingatannya, swalayan itu dulu tampak sangat besar. Tapi tidak demikian dengan hari ini. Matanya memang nyaris tidak menemukan swalayan itu, tapi warna terang dari logo swalayan itu menarik perhatiannya.
Seketika tuhan terburu keluar dari dalam dompet coklatnya yang lusuh. Tuhan dalam dirinya tertawa lebar. Tuhan berlarian memasuki lorong panjang dalam swalayan dengan wajahnya yang sangat gembira. Tubuh tuhan membesar, menjulang tinggi sampai hampir menyentuh langit-langit swalayan. Dan semua benda di dekat tuhan menciut, sekecil jentik-jentik nyamuk, tak lebih besar dari kelereng.
Sudah lama tuhan kehilangan jati diri di dalam dompet coklat lusuhnya. Sangat lama tuhan buta; tak boleh melihat barang-barang yang di jual di pertokoan, tak bisa berlibur di tempat-tempat hiburan berbayar. Sekian waktu kaki-kaki tuhan terpasung; tak ada uang untuk bayar taksi, tak ada uang untuk belanja, tak ada uang untuk makan. Tuhan hanya bisa diam, bersembunyi di dalam dompet.
Hari ini tuhan berpesta dengan segepok uang di sekujur tubuhnya, semua tampak kecil, semua terbeli. Juga wajah-wajah orang di sekitar tuhan yang menjilat-jilati telapak tangan tuhan yang penuh uang. Mereka menjadi hamba, dan tuhan adalah berhala. Entah untuk berapa lama tuhan akan berpesta dengan matanya yang berbinar, tawanya yang menggelegar dan janji-janji yang mandul. Tapi Tuhan tahu, kapan pesta untuk tuhan usai.
Baca Selengkapnya - TUHAN DI DALAM DOMPET

Senin, 02 September 2013

YANG PULANG PADA MALAM

Aku pulang pada malam,
Bersama tubuhnya di atas ranjang
Untuk cerita tentang esok pada bibir, leher, dada&rahimku
Kupaksa senyuman dengan bius di bawah selimut

Malam mengajakku pulang,
Pada Tuhan yang entah dimana
Dalam tubuh lembab dilacur angan
Aku mencari diri dari mereka yang berpesta diatas tubuhku

Tergesa jiwa dikejar malam,
Memunguti jalan setapak untuk pulang
Pun tubuhku telanjang menuju ranjang
Aku lantang untuk pulang!

Baca Selengkapnya - YANG PULANG PADA MALAM