Minggu, 31 Maret 2013

RUANG KOSONG

Janji-janjinya gugur dari garis-garis halus di ujung matanya, muram... semuram usia yang tak pernah genap melukis jejak pada seperempat malam-malamnya,
"Entah kenapa aku masih disini...,"

Menanggung rindu untuk jiwa-jiwa yang kelelahan, kehabisan cara untuk bicara, seperti mengemis ruang pada dinding-dinding yang melupa bagaimana caranya tersenyum,
"Aku hanya menunggu kaki-kakiku berhenti di tempat yang menyejukkan hati...," ruang kosong pada hati yang lapang.

Baca Selengkapnya - RUANG KOSONG

Sabtu, 30 Maret 2013

SIHIR MALAM

Pada wajah malam, haru datang menghampiri.
Kau tertidur dari pelukan yang singgah, datang lalu hendak beranjak..., dan kau terlelap pada jalan-jalan pulang yang tergenggam.
"Aku hidup dari wajah-wajah kalian...," dari bagaimana kalian melafalkan huruf-huruf pada namaku; menghidupkan hatiku atau dihidupi olehku, sewaktu gelap membawa sihirnya pada jujurnya malam di pembaringan.
Baca Selengkapnya - SIHIR MALAM

Jumat, 29 Maret 2013

PULANGLAH

Pada tanah basah yang berhala dari sisa-sisa malam, kutangkap lirih syahdu kisah tentang redupnya warna hitam pada helai-helai rambutnya,
"Aku kerap meringkuk sendiri disini, mengerami sunyi...," lelah seharian melukis merah pada tulang pipi, menggantung senyuman pada takdir yang garisnya tak segera temurus.

Pagi sering mengutuk senja, tepat saat berkali pernah kubisikkan arah di tipis telingamu kala gerimis membuat kita berdua muram,
"Pulanglah...," bersama lagi menanam benih-benih kembang yang kemarin malu mekar dibentak prasangka dan amarah. Pulang.

Baca Selengkapnya - PULANGLAH

Kamis, 28 Maret 2013

MERINGKUK DI RAHIM EMAK

Perempuan-perempuan itu gontai mendudukkan letih di sudut-sudut kamarnya. Rambutnya panjang tergerai, tubuhnya telanjang tanpa sebutan, tahta terlepas dari kedua kakinya,
"Rindu rasanya menjadi manusia di luas dadamu...,"

Dan para lelaki mereka mulai meraja, mengasah kemaluannya pada telaga yang kelelahan; hening tanpa nafas.
"Gusti, dimana aku bisa meringkuk seperti orok di rahim Emak setelah aku terlahir?"

Baca Selengkapnya - MERINGKUK DI RAHIM EMAK

Rabu, 27 Maret 2013

ADA

Sebelum tanya
Menghalau nelangsa
Seusai pertengkaran takdir
"Batu tak selamanya sabar menunggu tetes air melubangi,"
Baca Selengkapnya - ADA

Selasa, 26 Maret 2013

MENGINGAT JALAN-JALAN PULANG

Di tengah ratusan kuncupnya kembang-kembang kopi, aku menanak usia dalam segenggam berita tentang aroma surga,
"Semalam seperti rindu-rindu usang yang kau ratapi," seperti muak dengan riak ombaknya, tapi gelisah teraniaya suara deburnya.

Semalam seperti tiba-tiba harus pulang pada luas lautan, dengan rambut tergerai jauh menyeberangi dadamu,
"Bagaimana bisa kutinggalkan begitu saja risau di tempat gelisahnya begitu berisik?"

Sekian jera yang memukul keras tempurung kakinya, seperti keharusan yang memuakkan,
"Tubuhmu terlalu angkuh untuk menemaniku duduk tanpa alasan disini...," di bawah rindang kembang-kembang kopi yang melembabkan hati, sekedar mengingat sepi di bibir lautan, manakala kita begitu ketakutan untuk bicara.

Aku masih ingat betul bagaimana pagi di bibir laut pada matamu yang syahdu mengajak pulang,
"Kita terpendar, sibuk berkelakar dan meratap, tapi aku tak pernah lupa jalan-jalan setapak untuk membawamu pulang pada rumah tua di samping telaga yang dindingnya kian lembab...," Aku tidak pernah lupa.

Baca Selengkapnya - MENGINGAT JALAN-JALAN PULANG

Senin, 25 Maret 2013

BULAN

Tinggallah di kamar
Ceritakan tentang jalan-jalan pulang
Suarakan sepi layaknya sebuah nyanyian
"Sendiri itu seperti bintang-bintang yang dihidupkan dadanya dari luar?"
Baca Selengkapnya - BULAN

Minggu, 24 Maret 2013

BERCERMIN DI DADAMU

Tidak mungkin lagi sisa rasaku memerintahkan akar-akar halus di dadaku berjalan mencari jawab, jauh ke dalam dadamu.
Tiap akar-akar di dadaku mencarimu, satu per satu serabutnya tercabut, hilang dan lambat laun habis,
"Carilah disana, dia yang menyimpan jawabanku,"
"Pergilah padanya, dia yang kupercaya untuk menyimpan kenanganku,"

Dan suara-suara itu makin membuatku kecil, dari bayangan menjadi titik yang bahkan tak terlihat pada selembar kertas kosong.
"Andaikan namaku ada pada udara, air, laut dan api...," tak perlu kudatangi setiap pintu yang di dalamnya wajah-wajah mereka menertawakanku dalam kelakar yang menundukkan keberanianku untuk mencintaimu.

"Aku hanya ingin duduk sendiri dengan sebatang rokok dan secangkir kopi pahit di genggaman...," untuk apa memaksa melihat, kalau dirimu terus menyimpan semua jawab untuk duniamu yang membuatku kian renta ketika bercermin.

Baca Selengkapnya - BERCERMIN DI DADAMU

Sabtu, 23 Maret 2013

RUANG

Cerita-cerita pulang
Tangis luka menghilang
Wajah-wajah baru bertandang
Tak cukup ruang, doa-doa menuju petang
Baca Selengkapnya - RUANG

Jumat, 22 Maret 2013

SECANGKIR KOPI TANPA MATA DAN TELINGA

Baru saja hendak kumatikan lampu di halaman depan; membutakan dua matamu yang seharian memunguti akar-akar baru yang biasanya kutanam disana.
Dan kilat cahaya dari redup matamu mematikan mauku,
"Jangan matikan lampunya...," biar tetap bisa kutelisik dengan rinduku, pucuk-pucuk baru yang tumbuh bahagia di halaman rumahmu.
"Kenapa tidak kau ketuk pintu rumahku....," meminta secangkir kopi panas dan duduk tanpa mata dan telinga disampingku, hanya dengan hati dan jemari tangan yang basah dengan keringat; dihujani resah.

"Aku terlanjur terbiasa mengenalmu dari kejauhan...," memilih lupa, kalau dari mulutmu banyak hal yang tidak kau tanam di halaman rumahmu. Memilih diam dan enggan bertanya, ketika dari kejauhan hatiku kehilangan dirimu yang sebenarnya.

Baca Selengkapnya - SECANGKIR KOPI TANPA MATA DAN TELINGA

Kamis, 21 Maret 2013

PINTU

Tempat tanya datang
Yang pergi pun pamit
Biasanya ada nelangsa
"Hujan musim ini lebih deras, pintu tua ini tak lagi mampu menahan badai...,"
Baca Selengkapnya - PINTU

Rabu, 20 Maret 2013

SEKEJAP MENGGUNCANG RANJANG, LALU...

Aku tak mengenalnya,
Tidak juga kemaluannya yang berujar cinta
Memburuku dalam ketelanjangan menakutkan
Lidahnya basah oleh birahi, cinta yang tak kukenali

Semalam menanam rasa pada tipis telinga
Datang dengan bahu lapang menadah sekian luka
Lalu jemarinya sibuk merampas tubuhku penuh mau
Inilah cintanya, cukup terjawab dalam senggama semalam

Matanya berbinar di sekujur telanjang tubuhku
Meninggalkan jejak cinta dalam letupan desah mengerikan
Lalu kehilangan kata setelah semua terlepas dari selangkangan
Seperti inikah cinta, sekejap mengguncang ranjang lalu hening memasung hati?

Baca Selengkapnya - SEKEJAP MENGGUNCANG RANJANG, LALU...

MEJA TUA DI BAWAH GERIMIS

Untuk doa-doa yang datang berkumpul di atas meja tua yang sendirian di tengah gerimis, matanya berkaca-kaca dengan mulut terkatup,
"Aku lebih suka menangis di bawah hujan," hatiku menggigil, tapi gumpalan pipiku setia menadah luka.

Jemari tangannya mulai erat menggenggam kecewa yang berlarian keluar dari dadaku,
"Bagaimana bisa kuselamatkan lukanya kalau aku lebih dulu sekarat karenanya?" dan hujan semakin deras, menyulitkan hati untuk merasakan denyut jantungnya.

Hari itu aku melihatmu pergi meninggalkan halaman rumah yang pagar pembatasnya baru saja kucabuti dengan rindu-rindu yang yatim,
"Seperti apa seharusnya bertahan, kalau kita kian berani menjamu sepi...," mengasingkan meja tua itu dengan hujan, tempat kita dulu biasa pulang untuk rindu yang tumbuh subur.

Baca Selengkapnya - MEJA TUA DI BAWAH GERIMIS

Selasa, 19 Maret 2013

BERANDA

Bernafas dari dada
sewaktu kosong
Saling terikat di ruang hampa
Lalu tiba-tiba bergemuruh dengan sombong,
"Silahkan masuk...dia patung, hatinya tak bisa meneteskan airmata. Anggap saja tak ada,"
Baca Selengkapnya - BERANDA

Senin, 18 Maret 2013

PEREMPUAN YANG NAMANYA DIHAPUS PAGI

Tubuh telanjangnya gemetar
Malam meminta matanya terjaga
Semalaman lagi menjajakan kemaluan
Bersolek mengundang birahi datang bertamu

Tersenyum diantara desah di atas ranjang
Menarikan tarian jalang pada sepanjang malam
Diludahi cairan cinta dalam jiwa tak mengenal rasa
Pelakon tanpa naskah garis takdir di telapak tangan

Pagi yang baru bangun menghentaknya
Cemas membuat batang lehernya tercekik
Jemari tangannya panik mencari selembar selimut, berharap dosa tak terlihat
"Aku perempuan jalang yang menangis seusai melacur, pagi akan menghapus namaku!"

Baca Selengkapnya - PEREMPUAN YANG NAMANYA DIHAPUS PAGI

SETELAH LENGUH MENINGGALKAN TUBUH TELANJANGNYA

Matanya tak pernah terpejam
Terang benderang, tak sehitam bilik kamar
Mimpi-mimpi berserakan di atas ranjang bisu
"Dia akan membawaku pulang padamu, Tuhan...,"

Tubuh telanjangnya menggigil
Dibangunkan khianat, seusai rayuan serupa janji
Doa-doa tak pernah setia menjauhkan noda dari dosa
"Aku menanak nista demi setapak jalan untuk berpulang...,"

Setelah lenguh berhamburan dari mulut mereka,
Air mata tak pernah bisa terhenti, tidak setelah dicampakkan
Dari tubuh satu ke tubuh yang lain, setelah semua usai....
Sekali lagi terbeliak, "Aku masih melacur untuk cinta yang kukira ada...,"

Baca Selengkapnya - SETELAH LENGUH MENINGGALKAN TUBUH TELANJANGNYA

Minggu, 17 Maret 2013

RINDU YANG TAK PERNAH SAMPAI

Rindu tiba di kelopak mata
Butir beningnya menetes satu-satu
Tak terbendung seperti senja mengetuk
Melimpah ruah, menghuni hati tak bertuan

Harap terlalu sering menakuti
Sekian jarak memintal resah seorang diri
Ratapan tak juga mampu membuatmu tergerak
Kerap menyakitkan, menghidupi benih tanpa hujan

Setia bersembunyi di lipatan kening
Doa-doa menjadi tersangka tiap kali terucap
Biasnya pun enggan berbekas di hari yang lapang
"Rindu ini tak pernah sampai, tak pernah bisa kau namai...,"

Baca Selengkapnya - RINDU YANG TAK PERNAH SAMPAI

Sabtu, 16 Maret 2013

PAGI TAK PERNAH INGKAR

Dari mulutmu yang bungkam, sebelah kiri tubuhku kian jalang merauti ceceran pertanda-pertanda yang telanjang di mataku,
"Aku suka manakala pagi tak pernah ingkar benderang setelah malam tak lebih dari desah rindu pada baumu,"

Hingga retak cangkir kopiku; penuh dengan wajah tuamu yang melolong, memohon untuk tak beranjak tapi terus menjual malam pada wajah-wajah berderet di dalam botol-botol kusam yang tak pernah bisa membuatmu tertidur, "Entah untuk apa menamai resah dengan nama belakangmu...," kalau sedari awal pun tak pernah ada sumpah di atas selembar puisi yang huruf-hurufnya tak bisa kubunyikan.

Baca Selengkapnya - PAGI TAK PERNAH INGKAR

Jumat, 15 Maret 2013

PEREMPUAN YANG MEMBELI PELUKAN

Malam datang di pelupuk mata
ada gelisah menanti dekapanmu
doa terucap dengan bibir terkatup
"Berikan sekali ini saja, perkenankan aku pulang...,"

Tubuhmu berkilatan disiram keringat
diburu setumpuk mau di atas telanjang tubuhku
harap tak pernah terbungkam, membara dalam gairah
"Kau laki-laki kesekian, tempatku mengharap pelukan...,"

Biar sekian malam kuhabiskan di bilik-bilik mesum
merayu manja pada tipis telinga mereka bersama doa
terlacur pada malam-malam yang kian membuatku terasing
"Kubayar pelukan dari sekian senggama dengan tubuhku, aku ingin secepatnya pulang...,"

Baca Selengkapnya - PEREMPUAN YANG MEMBELI PELUKAN

Kamis, 14 Maret 2013

PENYAIR TELANJANG

Pengobral dosa itu telanjang
menyusui berpuluh laki-laki cabul
dengan puting susu milik anak yatimnya
"Puisimu kotor, melulu tentang sundal!"

Anak yatim bermata perak itu meratap
ibuku pulang dengan sisa sperma di kemaluannya
tiap pagi menangis di sudut kontrakan, memaki diri
"Sundal itu ibu yang rahimnya ku huni tanpa keberatan,"

Penyair yang puisinya melulu tentang selangkangan itu berteriak,
"Tiap pagi kulihat sundal itu membacakan doa-doa suci di telinga anak yatimnya,"
mencuci butir-butir beras itu berpuluh kali dengan airmata dan kemarahan terpendam
Biar saja puisiku tak memakai kutang dan celana dalam, biar tetap telanjang mata hatiku!

Baca Selengkapnya - PENYAIR TELANJANG

Rabu, 13 Maret 2013

SEMALAM SAJA

Angka-angka pada kalender di dinding hitam itu lelah di tengah perjalanannya. Satu-satu turun menapaki keningnya. Sejenak berhenti di kedua matanya. Ada lautan tanpa ombak disana, hanya desau angin tanpa kalimat yang terbaca samar,
"Ini hari yang kemarin," setumpuk tanya menceraikan jawab dengan kertas kosong yang tak pernah lagi mau mendudukkan berlembar-lembar kisah bungkam.
"Kenapa kau menuruni keningnya?"
"Dadaku sesak menghuni lipatan keningnya, aku ingin melihat matanya,"

Angka-angka pada kalender di langit-langit malam lelap di peluk gelapnya malam yang mendung. Berpuluh batang rokok dan secangkir kopi pahit membawa sejarah dari kedua matanya pada bangku lembab di halaman belakang,
"Aku masih menunggu diamnya membunuhku sekali lagi," membakar lagi nyaliku hingga menjadi abu, di hembus angin dan semuanya kembali tak berbekas.

Seperti lelucon-lelucon tentang cinta yang hanya semarak di malam ini, semalam merajuk dengan sekeranjang penuh mimpi, lalu esoknya kebingungan memulai arah perjalanannya.

Baca Selengkapnya - SEMALAM SAJA

Selasa, 12 Maret 2013

BERAKHIR DI MALAM TERAKHIR

Hitam membuatmu enggan mendekat
Sejengkal jarak dipilih, Aku masih ingin tersenyum
Kasak-kusuk di belakang punggung
Setiap airmata menjijikkan, Itu bukan karenaku!

Hitamku semakin gulita
Dirasuki cemooh dari dalam dada
Pernah hendak kusentuhkan hatimu disana
"Apakah pernah sempat kau tanyai malam?"

Kakiku memilih berlalu,
Menolak untuk semakin usang tanpa arti
Diminta dada yang merunduk untuk segera berlari
"Aku berakhir di malam terakhir, memutus rindu dari rasa yang terus dijarah...,"

Baca Selengkapnya - BERAKHIR DI MALAM TERAKHIR

Senin, 11 Maret 2013

IBU YANG MENYUSUI TELUR

Perempuan-perempuan berwajah pucat itu menuruni ranjang dengan mata harimau di kedua dadanya; terbit dari secuil surga yang semalam dijarah .

Lelaki mereka masih tertanam lunglai pada peradaban semalam; lembab kelelahan menidurkan pohon karet yang ada di selangkangannya.

Buih-buih ombak menyisir hutan hitam diatas matanya,
"Ibu, sejak kapan kau menyusui telur-telur yang tak pernah menetas dengan kedua payudaramu?"

Baca Selengkapnya - IBU YANG MENYUSUI TELUR

Minggu, 10 Maret 2013

KABUT PADA MATA KAKI

Seperti kabut yang membutakan mata kaki,
Kau ada tapi tersamar, enggan menggaduhkan halaman rumahmu.
Seperti secangkir kopi panas yang menemani pagi,
Aku ada tapi pasti pergi setelah kabut malu bertamu.

Seperti apa sebenarnya kita ada,
Begitu cepat menyejukkan musim panas dengan canda sesaat?
Tak ubahnya kembang-kembang kopi yang mekar di samping jendela, memabukkan...
Lalu buru-buru kembali bersembunyi ketika mereka membangunkanmu?

Baca Selengkapnya - KABUT PADA MATA KAKI

Sabtu, 09 Maret 2013

LABIRIN

Mungkin di kening Yang mengumpulkan hening Atau di telapak tangan? Tempat kemarin berserakan "Kau hanya menanyai labirin, berkemaslah...,"
Baca Selengkapnya - LABIRIN

Jumat, 08 Maret 2013

HITAM DI DINDING KAMAR

Angin tak lagi malu menerobos punggung daun-daun kopi yang sepanjang musim kemarin kau paksa bersembunyi pada tuhan yang lebih tinggi,
"Semerbak wangimu sudah lebih dulu sampai," dalam secangkir ratapanku yang menjungkirbalikkan doa.

"Aku tak akan meperlihatkanmu pada mereka," tak mungkin kupertaruhkan duniaku pada malam di dinding kamarmu yang sudah lebih dulu hitam jauh sebelum kita saling menanyakan nama.

Lalu aku, kembang-kembang kopi, juga hitam di dinding kamar, bersamaan melepas sebaris kalimat dalam nafas yang menunda embun membekas,
"Bagaimana bisa yang ada kau tiadakan dengan kelakar hanya karena warna hitam yang tak pernah kau jinakkan, sementara jejakmu sangat mudah dipunguti malam?"

Baca Selengkapnya - HITAM DI DINDING KAMAR

Kamis, 07 Maret 2013

SEJAK HARI ITU AKU TAK LAGI MENANAM BIBIT BUNGA

Sejak hari itu aku tak lagi menanam bibit bunga di halaman rumahmu,
"Ini sudah musim kembang-kembang berbunga,"
Ya, meski sudah dekat waktunya untuk kuncup kembang-kembang berbunga. Indah dengan warna-warninya. Tapi sejak hari itu aku sudah tak lagi menanam bibit bunga di musim penghujan.

Tak mengapa,
Aku akan diam disini beberapa waktu; melongok halaman rumahmu..., mencari tahu dengan hati akankah kau mencari warnaku di halaman rumahmu.
"Mungkin akan ada namaku disana," tertulis dalam warna kusam dan huruf-huruf yang gemetar, terbaca olehku ketika namamu terlanjur menjadi kenangan karenamu.

"Aku hanya ingin namaku kau tulis dengan rindu dan cinta yang tak lagi malu kau akui...," mekar di halaman rumahmu sendiri.
Itu saja yang ingin kukenang darimu.

Baca Selengkapnya - SEJAK HARI ITU AKU TAK LAGI MENANAM BIBIT BUNGA

Rabu, 06 Maret 2013

MENGANTARKAN KENANGAN PULANG

Sekian gelisah hanya lelucon
Puluhan tanda tanya tak ubahnya malam
Ditertawakan pesta pora perayaan warna-warni
Terbiarkan dalam kesendirian, dilarikan tanpa jawab

Pernah teringat dulu penuh rindu
Lalu tersadar, seluruh hanya dariku
Tak satu pun kau damaikan demi bertautnya rasa
"Rasa itu tak pernah dilahirkan hatiku yang tunggal,"

Hanya kedua tanganku yang mengumpulkan mungkin
Sampai tiba di sekian hari tentang kemustahilan
Lalu terlepaslah rasa ketika kenangan meminta pulang
"Kau mengajakku meninggalkan rasamu yang tak pernah ada untukku,"

Baca Selengkapnya - MENGANTARKAN KENANGAN PULANG

Selasa, 05 Maret 2013

CERITA YANG TAK PERNAH KAU BACAKAN

Buku tebal ini masih di tanganku,
Keramat untuk kubuka halaman-halamannya
Apalagi kubaca dengan bunyi lirih sekali pun
Hanya diam saja merasai keringat dingin di telapak

Cerita ini, entah kapan bisa berkisah
Hurufnya terus luruh satu per satu, kosong
Judulnya mulai luntur dengan air mata dan hening
Aku akan mengingatmu sebagai pisau yang menyayat setiap kataku

Pernah kutunggu untuk meluangkan waktu
Menghilangkan prasangka, namun nyata terlihat
Aku hanya badut penghibur di waktu awan hitam turun
Menadah setiap butir airmatamu sebagai kenangan terindah

Lalu terusir huru-hara tawa yang kau candu
Hanya hitam dan sepi, begitu senyummu mencibir
Terlalu bodoh untuk duduk di samping bangunan tahtamu
Rela menjauh dari cerita yang kutunggu, namun tak pernah ingin kau bacakan

Baca Selengkapnya - CERITA YANG TAK PERNAH KAU BACAKAN

Senin, 04 Maret 2013

TUHAN-TUHAN YANG LAHIR DI PAGI HARI

Wajah mereka tumpah pada dinginnya tanah pagi, terantuk kepada tuhan yang meninggi-tinggikan dagunya,
"Kami menuhankanmu," sejak kami membaca namamu dari buku-buku tebal yang halaman-halamannya tak berisi satu huruf pun.

Sementara yang lain sibuk berkasak-kusuk dengan sudut bibir memaki langit,
"Sebentar lagi kita menjadi tuhan,"
Kitalah yang selalu bisa rapat menjaga lingkaran dengan dada membusung, dengan nama besar yang kita curi dari orang-orang bodoh.

Pagi selalu melahirkan tuhan-tuhan baru, tuhan yang berisik dengan kesombongan mereka.
"Terimakasih sudah menemaniku menghabiskan secangkir lagi kopi pahit denganku Tuhan," terimakasih sudah memberiku mata dan telinga yang terus terbuka, juga hati yang tak pernah jenuh memintamu menemaniku setiap pagi. Terimakasih.

Baca Selengkapnya - TUHAN-TUHAN YANG LAHIR DI PAGI HARI

Minggu, 03 Maret 2013

SEJAK KITA BERTEMAN DI ATAS RANJANG

Sejak kedua kaki kita memilih berteman di atas ranjang, langit kerap mengajakku melihat sekitar dengan hati,
"Aku bisa marah kalau tidak kau susuri jarakku dengan tubuhmu...,"
Waktu itu aku tak mampu menemuimu, aku sibuk membetulkan letak daguku.

Sejak punggung kita saling bercumbu; memilih untuk memberikan ruang pada samudera, laut bergelung-gelung membawa khabar dalam lipatan ombaknya,
"Pergilah, jangan terus menjahit hati di hadapanku. Aku sakit melihatmu...,"
Saat itu aku tak mungkin menanyakan seperti apa khabarmu, aku harus membetulkan senyumku.

Tidak mengapa kalau kita yang akhirnya berteman di atas ranjang membuat penantian sekian lama menjadi hal konyol; untuk hari-hari yang terlanjur berkhianat, setelah pertemuan yang hampir terjadi menjadi mustahil..., bukankah ini hanya tentang dua orang diatas ranjang yang akhirnya memilih untuk berteman dengan punggung berciuman?

Baca Selengkapnya - SEJAK KITA BERTEMAN DI ATAS RANJANG

Sabtu, 02 Maret 2013

PEREMPUAN YANG INGIN MENJADI PUISI

Aku ingin menjadi puisi
Penuh dengan banyak kata indah
Terbaca untuk sekian makna tersembunyi Aku hanya sampah, busuk mengundang serapah...,

Tubuhku bisa menjadi puisi
Mereka datang untuk memujaku
Tiap malam menginginkanku, melepas birahi
Aku sundal binal, harus merayu agar kemaluan kaku...,

Aku ingin mereka menjadikanku puisi
Menjadikan tubuh telanjangku bait-bait indah
Membuat desah birahiku jadi hentakan dalam puisi
Puisikan aku seperti bisikan nakalmu di telinga sebelum kemaluanmu muntah!

Baca Selengkapnya - PEREMPUAN YANG INGIN MENJADI PUISI

Jumat, 01 Maret 2013

MEMBACAMU DALAM SATU KATA

Aku senang memandangmu dari dalam sini,
Memandangmu yang sedang bermain-main dengan huruf di telapak tangan; menata huruf-huruf itu dengan senyum dan menjadikannya cerita yang tak pernah kering untuk langit.

Aku senang mencuri baca cerita itu dari langit malam,
Menghalau gelap untuk sekedar menangkap satu kata dari ceritamu pada langit yang sudah memenuhi berpuluh-puluh halaman; mendapatimu dalam sebuah kata saja dan menimangnya dalam dada yang kekeringan.

Aku senang mendapati tubuhku rebah di sini dengan sebuah kata yang huruf-hurufnya tak ditemani titik dan koma; hanya satu kata...,
Menyimpannya dengan begitu rapi, menjaganya agar tak beterbangan dan membuat mataku kelelahan untuk mencarinya lagi dalam gelapnya langit malam.
"Sisakan satu kata saja untukku...,"setidaknya untuk bisa membuatku terhibur dengan seluruh cerita yang kau kisahkan untuk langit..., tidak untukku yang tak pernah mampu membacamu dengan satu kalimat panjang.

Baca Selengkapnya - MEMBACAMU DALAM SATU KATA