Di tengah ratusan kuncupnya kembang-kembang kopi, aku menanak usia dalam segenggam berita tentang aroma surga,
"Semalam seperti rindu-rindu usang yang kau ratapi," seperti muak dengan riak ombaknya, tapi gelisah teraniaya suara deburnya.
Semalam seperti tiba-tiba harus pulang pada luas lautan, dengan rambut tergerai jauh menyeberangi dadamu,
"Bagaimana bisa kutinggalkan begitu saja risau di tempat gelisahnya begitu berisik?"
Sekian jera yang memukul keras tempurung kakinya, seperti keharusan yang memuakkan,
"Tubuhmu terlalu angkuh untuk menemaniku duduk tanpa alasan disini...," di bawah rindang kembang-kembang kopi yang melembabkan hati, sekedar mengingat sepi di bibir lautan, manakala kita begitu ketakutan untuk bicara.
Aku masih ingat betul bagaimana pagi di bibir laut pada matamu yang syahdu mengajak pulang,
"Kita terpendar, sibuk berkelakar dan meratap, tapi aku tak pernah lupa jalan-jalan setapak untuk membawamu pulang pada rumah tua di samping telaga yang dindingnya kian lembab...," Aku tidak pernah lupa.
Baca Selengkapnya - MENGINGAT JALAN-JALAN PULANG