Senin, 31 Desember 2012

POHON KERING DI PUNCAK BUKIT MERAH

Senja memintamu sendiri,
Berdiri tanpa sebait lagu mengusik telinga, hanya segenggam kenangan di pelupuk mata. Beberapa helai bulu matamu pergi beterbangan bersama gelisahnya angin malam. Satu-satu kenangan itu menjauh, meninggalkanmu dalam hening. Berjatuhan meninggalkan ranting-ranting kering yang tak pernah lagi tersentuh gerimis, kehilangan kata demi kata darinya yang dulu masih lirih merindukan teduhmu memelukinya. Berdua saja saat itu, tak ada mereka yang kau ceritakan padanya, hanya kau dan dirinya.
"Kopinya masih hangat,"
"Hatiku tak lagi berundak, kau telah mendakinya sepanjang musim kemarau,"
"Dari atas bukit ini aku bisa melihat banyak hal...," melihat mereka yang sibuk membicarakan diri mereka sendiri, meninggi-ninggikan mau mereka dan...Aku nelangsa melihatmu mengering, seorang diri mengelus dada, menunggu tumpukan rindu mereka datang bagai gerimis di musim kemarau, tak kunjung memberimu pelipur sepi.

Aku hanya sekejap menuruni hatimu, yang katamu tak lagi berundak, sekedar untuk memperkenankanmu bermandi bintang kala malam begitu legam. Sekejap saja..., persis di saat bintang-bintang itu jatuh pada bahu tuamu yang tiba-tiba silau kupandangi dari sini. Aku hanya turun sebentar agar bisa memandangmu dan menjauhi kilau bintang-bintang yang menyilaukan pandanganku darimu. Beberapa langkah menjauhi hatimu, yang katamu tak lagi berundak, namun melelahkan untuk kuturuni. Sampai aku berhenti sejenak disamping hamparan ilalang, menghela nafas dan melirikmu nun jauh diatas sana.
"Aku ingin merasakan pelukanmu dalam pestamu diatas sana," apakah kau akan memelukku erat-erat di depan bintang-bintang terang yang menyilaukan pandanganku darimu beberapa saat tadi, akankah?

Ilalang dan semiir angin malam begitu membuatku menggigil ketakutan disini. Kupeluk diriku sendiri erat-erat, kupeluk ilalang-ilalang ini erat-erat. Ini hanya malam dan hamparan ilalang, aku tak boleh tercabut dari akarku yang tertanam pada pohon tua diatas sana. Aku tak punya apa-apa, tapi akarku mulai tumbuh menjalar pada hatimu.
"Ini hanya pesta semalam," semusim saja malam kelam dihiasi bintang-bintang perak, nanti penghujan akan datang dengan awan-awan gelap yang mengusir kilau bintang-bintang itu. Aku tak seharusnya meratap dari kejauhan sini, darimu yang tak akan mendengarku. Aku akan mendaki hatimu lagi setelah pesta usai!
Aku tak mau melihat ke atas lagi, aku tak ingin mengingat malam yang penuh bintang ini. Biarlah...biar aku menghalau resah sejenak dengan ilalang-ilalang yang mulai menerima ketakutanku, mengajakku berbicara dan tertawa.

"Kenapa daun-daunmu mengering dan kau biarkan luruh?" sampai dari bawah sana yang kulihat hanya merah pucat. Aku panik, apakah tak kukenali lagi bukit tempatmu menua bersamaku waktu itu? Batang-batangmu begitu kering, aku tak berani menyentuhmu, aku takut kau hancur berkeping-keping. Dimana matamu? Apa yang tersisa dari matamu malam ini, kenapa semua hilang? Mulutku terus mengeluarkan tanya tanpa mampu kubendung. Aku panik, terasing dari apa yang baru saja kutinggalkan disaat tawamu begitu memekakkan telingaku.
"Pesta sudah usai," bintang-bintang itu membawa begitu banyak khabar tentang mereka yang terus berpesta sepanjang musim. Tak ada malam disana, tak ada gelap. Aku ingin bersinar seperti mereka, memuja pagi seolah malam tak pernah kukenali.
Semua yang kau dengar dari pesta semalam kau ceritakan padaku tanpa jeda. Aku mendengarmu dari bawah tubuh tuamu yang kian mengering. Terbata kau ceritakan semua hal yang tak kukenali, tak satu pun ku mengerti. Aku hanya mendengarkanmu, mencoba mencerna satu-satu maumu.

Kita terpisah...,
Sejak itu kita berpisah, kau berpesta terlalu lama dengan bintang-bintang semalam yang datang membawakan sekeranjang penuh isi dunia yang membuatmu berhenti menengok serabut akarku di hatimu. Dan aku memilih mundur, menjauh dari hatimu yang kian berundak, menjulang jauh disana. Aku sudah memilih untuk tetap disini, ditempat yang dulu pernah membuat kita berani mengumpulkan ranting-ranting pohon untuk kita susun satu persatu menjadi sebuah rumah kayu yang mungil. Sebidang tanah yang dulu hamparan hijau rumput-rumput muda, yang membuat kita mendendangkan gemericik air disamping rumah kayu, tempat kita menghidupkan telaga dari sebentuk mau untuk tinggal disini bersama sederhana dan sesuatu yang tidak banyak kita miliki.

Kau berlari menjauhi kita, berlalu pada masa dimana aku kembali dengan seikat ranting di punggung membungkuk yang mendaki hatimu, yang katamu tak lagi berundak. Menjelang pagi yang tak pernah mengenal malam, selalu berkilatan, terang dengan banyak warna dan tawa. Apakah kelak kau akan menengokku kembali disini? Aku masih berharap dalam sibuk menata jalan-jalan berbatu di hamparan hijau yang kau tinggalkan dalam doa-doa yang terbata. Aku berhenti disini, berhenti mengumpulkan mau ketika bersamamu adalah kecukupan yang tak terkira. Diam saja disini bersama sisa-sisa adamu yang mengering, terus menjatuhkan daun-daun keringmu yang dulu dipenuhi hijau mau kita bersama. Masih disini, berbicara seorang diri pada bukit memerah yang kau merahkan dengan kejenuhan untuk tetap tinggal denganku. Membiarkan akar-akar lembutmu dihatiku tetap tersisa sedikit diantara semua belukar yang mulai menjalar, hendak membuatku terkubur. Mengering, memerahkan bukit yang dulu dipenuhi mau.

Baca Selengkapnya - POHON KERING DI PUNCAK BUKIT MERAH

Minggu, 30 Desember 2012

RINDU PUISIMU

Siang ini kudapati lagi puisinya untukmu,
Rindu dan cintanya berbaris rapi, rebah pada dadamu yang gelisah.
Puisinya menghapus peluh dan setetes airmatamu yang hendak tumpah.
Seluruhnya untukmu....semua puisi itu untukmu!

Dari sini aku tertunduk, mencari kata yang mungkin bisa jadi puisi dari jari-jariku yang mulai jenuh menuliskan tentang kau ; kau yang entah siapa, kau yang mungkin tak ku kenali meski ingin kukenal.

Jemariku berhenti menuliskan tentangmu, tentang rindu-rinduku yang mungkin sampai pada hatimu, lalu membuatmu menuliskan berpuluh-puluh puisi untukku, seperti dia menuliskan puisi untukmu.

Aaahhh...hujan diluar sana begitu membuatku rindu pada puisi, rindu dimauimu dan resah menanti puisi-puisi darimu berhamburan datang dari luar jendela, tempatku memandangmu yang kian tak terlihat.
Aku rindu puisi, rindu puisi darimu.....

Baca Selengkapnya - RINDU PUISIMU

Sabtu, 29 Desember 2012

LUBANG-LUBANG KOYAK SELIMUT PUCATKU

Mana jarum dan benang hitam itu, mana?
Jangan menghilang...lubang ini harus dijahit
Biar dulu tubuhku telanjang, nyalang dimakan matanya
Setelahnya biarkan tubuh ini memucat di bawah selimut tuaku

Aku tak mau ada lubang menganga disana
Hingga matanya menelisik masuk menakar rapuhku
Sudah kuberikan tubuhku, sudah...jangan lagi kau koyak
Perkenankan aku meratap dalam gelap hangat selimut usangku

Aku berdoa dalam takut memuncak dari dalam sini,
Jijik memeluk tubuhku sendirian...tak mampu terjual
Sibuk mendamaikan dosa dengan doa, "Aku bukan siapa-siapa,"
Hanya selimut pucat ini tempatku bicara pada airmata usai terlacur

Rekatlah duhai lubang-lubang koyak,
Sembunyikan aku lagi sebelum mereka kembali membeli tubuhku
Biar kupanggil semua malaikat, "Aku lelah menyulam nista,"
Memucatlah bersama doa-doaku yang tak kunjung sampai, sembunyikan aku!

Baca Selengkapnya - LUBANG-LUBANG KOYAK SELIMUT PUCATKU

GAUN MERAH DI DALAM KACA BENING

Sekali lagi aku disini,
Menunggu satu rindu enggan beranjak
Barangkali kelak menjadi milikku sendiri
Yang kuseduh dengan ratusan rindu yang kemarin tak jenak

Satu malam lagi di balik kaca bening,
Memulas merah pada pipi yang ceruk dimakan tuanya malam
Bersolek dalam hati tak berwarna, memucati takdir yang pening
Gaunku merah, datanglah padaku...,bawa aku menjauhi malam

Malam ini saja, sekali ini...
Jangan undang nyalimu karena sekal dadaku
Buang dulu mau kalau desahku yang membawamu kemari
Bergaun merah di dalam kaca bening, sekian malam mengharapmu membawaku berlalu

Baca Selengkapnya - GAUN MERAH DI DALAM KACA BENING

Jumat, 28 Desember 2012

LORONG-LORONG HITAM

Lorong-lorong hitam tumbuh di dadaku
Lembab dalam malam-malam memucat, senyap
Memerah pada bibir kelu penuh luka berdarah
Entah kapan mulai terbata mengeja bait-bait doa

Aku terlahir dari sebentuk noda
Berujar muak akan lelahnya menyapa dosa
Semalam bergumul dalam telanjangnya topeng diri
Seperti apa kelak ku asuh rumah-rumah tak berpintu?

Lorong-lorong hitam menghela takdir
Kususuri lamat-lamat dalam diam membuncah
Lenguhkah yang membuatku berani menamai hidup
Ataukah takdir tertulis yang hendak ku bentak?

Aku hanya setitik cahaya,
Hidup dari rindu-rindu semalam tanpa nama
Bermimpi dari sebait rayuan, lalu dihantam nyata
Tak ada arah untuk nista pada raut muka, selain percaya...inilah hidup yang dipilihkannya,

Baca Selengkapnya - LORONG-LORONG HITAM

Kamis, 27 Desember 2012

SAMPAI

Tak ada apa pun yang ingin kusimpan di bawah hitam garis mataku ; tidak suara angin malam yang memintaku meratapimu, tidak juga ejekan detik waktu yang memakimu...tidak ada apa pun.

Aku sudah melepasmu saat tubuh tegaknya datang menopang sebagian mau diriku yang beterbangan kesana kemari pada saat diammu membunuh burung-burung liar di musim migrasi.

Lepas begitu saja dalam diam yang tak kunjung pecah dengan teriakan. Kubenamkan dalam-dalam pada merahnya airmata yang tumpah di bawah gerimis pagi ini,
"Arus air dari depan rumah usang di kaki bukit itu membawakan sepasang sandal jepit untuk telapak kaki kotorku..,"
Mengajak kedua kakiku berlari-lari kecil di bawah gerimis, berlari lirih dalam lirik lagu tentang gembiranya diri yang sampai di tempatnya berpulang.

Baca Selengkapnya - SAMPAI

Rabu, 26 Desember 2012

ODE DI HALAMAN BELAKANG

Tak lagi ada yang membuat rumput-rumput hijau dihalaman belakang terkejut, bahkan kalau tak satu pun khabarmu memburu pagi untuk segera naik. Embun dulu yang datang, lalu matahari, sebentar kemudian senja, dan gelap malam...seperti itu sepanjang waktu. Kau, beberapa cerita, sekian rindu menunggu, kerap terbungkam dan lalu jejakmu luruh dibawa deras hujan.

Seperti biasa...sampai pagi berdebum pada dadaku yang rebah, mengadu pilu pada halaman belakang yang terus mekar ; di datangi rindu-rindu baru, di ajak berlarian pada jalan-jalan panjang berujung teduh rindang pohon Akasia, dibasuh lirih bening air dari parit di bahu rumahnya.

Tiba-tiba aku tersadar,
"Sepanjang itukah waktu kutinggalkan untuk menikmati mauku padamu?"
Selama sibukku memasukkan senyum, tatap mata, bisik dan mimpi-mimpimu pada kotak kayu di gudang belakang rumah yang bertumpuk-tumpuk, meninggi...menjauhi dadaku yang masih rebah di halaman belakang.

Baca Selengkapnya - ODE DI HALAMAN BELAKANG

Selasa, 25 Desember 2012

DUA CANGKIR KOPI PANAS

Disinilah kita berbeda,
Sepagi ini kau sibuk menyalakan tungku pemanas di sudut bibir mereka agar senyum mereka menyala bersama pagi yang beranjak,
"Tangannya menyentuh langit! Aku juga mau mengusap langit..,"

Sementara dari dalam jendela besar ini, dibawah selimut lembut yang menadah doa-doaku dari semalam, hening dan kabut ini masyu' kunikmati,
"Sebentar lagi akan kuseduh dua cangkir kopi," diam berlama-lama melihatmu yang belum juga lelah berjinjit.

Menikmatimu dari sini dengan kaki selonjor;menikmati berisiknya harimu dengan kepalaku yang ditumbuhi hijaunya padi-padi baru dan sedikit kemilau bentukmu dari seberang dua cangkir kopi panas di atas meja.
Ya, dua cangkir kopi panas.

Baca Selengkapnya - DUA CANGKIR KOPI PANAS

Senin, 24 Desember 2012

RINDU KEMBANG-KEMBANG KOPI

Rinduku menumpuk di pelupuk mata,
Sewaktu semerbak wangimu mengajak bermimpi
Menemui senjamu dan abu-abu yang berkecamuk
Bernyali menuliskanmu dalam sajak-sajak panjang

Huruf-hurufku berurai di atas selimut,
Kelelahan merangkai kisah, enggan berjudul
Entah siapa yang lebih dulu menjauh, entah kapan
Hanya sekejap merajai tapak-tapak kaki pada takdir

Aku memilih rindu pada kembang-kembang kopi,
Kerap datangku terlambat menengokmu mekar di hati
Tak ada jenuh dalam kembang-kembang semerbakmu disana
Masih mewangi pada musim bertumpuk kabut, "Tetap mekar untukku,"

Baca Selengkapnya - RINDU KEMBANG-KEMBANG KOPI

Minggu, 23 Desember 2012

MENGHAPUSMU BERSAMA HUJAN

Hujan diluaran tak mau berhenti,
Deras menuruni garis halus di ujung mataku
Basah...hangat..., sederas robohnya kenangan
Disini, pada hujan diseberang raga...aku menyerah

Sempat kusemai rumah kecil disamping sungai,
Tanpa mimpi menggantung di langit nun jauh disana
Lerai dari beratnya langkah kaki tanpa pemberhentian
Rumah kecil yang hangat dengan pelukan, menolak usai

Itu kemarin,
Hujan telah berujar tentang resah
Saat jemari tangan hanya menggenggam angin
Ketika disampingku tak pernah lagi ada malam

Kukirimkan rela untuk menjauh,
Darahnya yang mengental pada nadi memintaku pulang
Menghapusmu bersama hujan diluaran...memperkenankanmu pupus
Kembalilah pada mimpi-mimpimu yang sulit kutengok, "Aku lelah berharap,"

Baca Selengkapnya - MENGHAPUSMU BERSAMA HUJAN

Sabtu, 22 Desember 2012

MENENGOK RUMAH ANGKUHMU

Dalam nafas tersengal, kaki-kaki kecilku berlari sekencang-kencangnya. Memaksa segera bertemu jalanan setapak di dalam lidah kelu pada mulutmu. Tak kuhirau sekawanan burung gereja yang riang gembira bercanda dengan semilir angin di atas sana. Beberapa butir pasir kubawa dalam genggaman, erat kugenggam. Ada beberapa kerlip bintang-bintang juga dalam genggamanku, bintang yang malam-malam itu kita ambil dan letakkan satu demi satu disamping kita yang duduk bersandar menghabiskan kisah. Tak sekali pun kuperlambat lariku, kencang, semakin kencang. Aku ingin segera sampai pada rongga mulutmu.

Entah berapa kali hujan membasahi tubuhku, tak kuhitung juga sejak kapan telapak kakiku pecah dimakan panasnya amarah. Kalau pun kedua kakiku habis tak berbentuk ketika di hadapanku adalah rongga mulutmu, aku bersedia untuk tidak peduli. Entah kemana kau kutuju, hanya kakiku yang memerintah otakku berlari sejadi-jadinya. Kutinggalkan saja hatiku disana, dibawah rindang pohon Akasia yang tumbuh meninggi terus tepat di dadaku. Aku akan menjenguk hatiku nanti setelah sampai langkahku padamu.

Berhenti!!! Aku sudah sampai. Aahh...ternyata seperti ini dirimu. Penuh luka menganga yang sibuk kau jahit disana sini dengan dadamu yang membusung. Rumah yang dulu sering kau ceritakan padaku pun tidak beratap, tak ada akar-akar Canna yang menggenggam tanahnya. Tak ada senyummu di dinding-dinding berlubang rumahmu. Tak ada apa-apa, hanya ketakutanmu yang bungkam dari malunya tak berarti. Bahkan bintang-bintang di genggaman tanganku pun tak sudi menempel. Pantas saja hatiku tak mau kuajak berlari menemuimu, "Jangan bawa aku! Hatinya pun sudah lama hilang dariku. Pergilah sendiri dengan mata, mulut, tangan, kaki dan telingamu...kau hanya perlukan itu untuk mengasihani kepala bodohnya yang terlalu keras untuk tubuh tuanya sendiri,"

Baca Selengkapnya - MENENGOK RUMAH ANGKUHMU

Jumat, 21 Desember 2012

TIGA PULUH MENIT LAGI

Tak lama lagi,
Malam berakhir dimakan pagi
Menjauhi lorong-lorong gelap
Terlambat, tapi tak lagi menyelinap

Dalam kalapnya lelap
Bayangan-bayangan itu menguap
Kau tergopoh-gopoh mengemasi diri
Aku terbawa angin, memunguti hati

Tiga puluh menit lagi kita lenyap
Dimaui alam untuk terlelap pada senyap
Kau memilih memelihara megahnya sunyi
Dan kau pulangkan sukmaku pada matinya hari-hari

Kau membuat kita berakhir disini
Dalam raut muka tak saling menatap, bias dalam kemilau pagi
Dan aku belum juga lelah berharap...
Hanya terpaksa menyesap karma, berlalu bersama rinduku yang jenuh kau sesap

Baca Selengkapnya - TIGA PULUH MENIT LAGI

Kamis, 20 Desember 2012

PEREMPUAN DALAM GELAS KOSONG

Kemarilah,
Duduk disini bersamaku membaca garis tangan
Letakkan tanya di kepala pada sejarah, biar terdiam
Senja tak mungkin lagi menunggu takdir berseru

Lihat...
Di garis ini kemarin kutundukkan ketakutan
Persis disamping mengeringnya jengah sendiri
Di sebelahnya kuhempaskan amarah yang meredup

Mereka jauh disana,
Jatuh satu-satu dalam keramatnya kesumat
Tergali tanah pekuburan tak bernisan, terasing
Berlarian menjauhi masyuknya tubuh tanpa nama

Perempuan ini masih disini,
Merajut benang-benang retas tak bersimpul
Bola matanya terus menghitung ujung-ujung bercabang
Dalam gelas kosong ini kau melihatnya, "Kenapa tidak kau rengkuh?"

Baca Selengkapnya - PEREMPUAN DALAM GELAS KOSONG

Rabu, 19 Desember 2012

SATU KATA DIBAWAH BANTAL

Aku pecah di sudut malam
Meraung dalam lenguh menyakitkan
Tertunduk pada jalan-jalan setapak
Kapan lirih desau angin membawamu pulang?

Kalau puluhan cerita itu berkeping
Jatuh memilih tanah basah di seberang daratan
Tak satu pun musim penghujan menyisakanmu untukku
Bahkan sepenggal kata yang tertinggal dibawah bantal

Satu kata saja,
Hingga bisa kubuatkan berkisah-kisah cerita
Untuk kita, mereka dan aku yang masih tersasar
Tersesat dibawah tunggu dan mau dalam belantara resah

Baca Selengkapnya - SATU KATA DIBAWAH BANTAL

Kamis, 13 Desember 2012

HURUF-HURUF DI UJUNG BIBIRNYA

Satu-satu tumbuh padamu
Disesaki gerimis musim ini
Berakar pada basahan tanah
Mendongak untuk langit kelabu

Berbunyi lirih,
Entah menyebut apa, mungkin namaku
Terbata dibaca luruhnya haru
Biarlah berkisah untuk dendam

Dari puluhan maunya kembali
Waktu memasungnya dengan hening
Bibirnya diam terkatup, melupa janji
"Aku sudah beranjak," menjaga jarak dari riak

Baca Selengkapnya - HURUF-HURUF DI UJUNG BIBIRNYA

Rabu, 12 Desember 2012

KEMBALI PADA REDUP

Malam tak pernah punya penguasa
Pada tubuh-tubuh telanjang tergadai
Rindu tersebut diantara lenguh terasing
"Aku memanggilmu," memintamu ada menyudahi

Gelap merubuhkan bungkamnya rasa
Tak satu langkah kaki menghadap padaku
Dingin menghidupi tetes hujan di pelupuk mata
Hendak kemana kubawa pulang keterasingan ini?

Untuk ketelanjangan yang kesekian,
Ku kembalikan kehilangan pada tempatnya
Dalam pejam mata tanpa doa, hanya ketakutan
"Kau mengembalikanku pada malam-malam yang ingin kuingkari,"

Baca Selengkapnya - KEMBALI PADA REDUP

Selasa, 11 Desember 2012

AKU PERGI, MAK

Berlalu dalam malam-malam menakutkan
Menuduh dirimu pengkhianat pada takdir
Terus meludahi merahnya darahmu di tubuhku
Aku pergi, Mak...berlari mencari jalan pulang

Noktah hitam itu melekat di dada
Penuh merampas rongga-rongga rindu
Tak setitik pun tentangmu, hanya tentang kehilangan
Bersandar tapi terus tersungkur, meminta untuk diakhiri

Jangan kau tanya sejak kapan aku mati,
Sedari rahimmu meracuni jalan kelahiranku
Sedari adaku tak lebih dari sampah menjijikkan
Aku memilih mati untuk hari tanpa doamu pada namaku

Baca Selengkapnya - AKU PERGI, MAK