Jumat, 31 Agustus 2012

MENGHIDUPIMU DENGAN KOTORAN

Sudahlah, jangan menyusu lagi padaku!
Aku harus segera merajuk dalam bilik hitam itu
Meninggikan kemaluannya, menyihirnya jadi anjing
Dan membiarkannya merampas habis air susuku darimu

Jelang pagi akan kubisikkan dongeng tentangnya
Agar tumbuh tawamu bersama kantuk pengantar mimpi
"Tak ada lagi cerita lain yang bisa kusampaikan padamu," 
Masih tentang airmata dan cairan kemaluannya yang kita makan

Lepaskan puting susuku,
Aku tak mau lagi menyusuimu!
Untuk apa menghidupimu dengan kotoran dari tubuhku
Dengan apa kubunuh takdirmu kalau tiap malam kau membuatku hidup?
Baca Selengkapnya - MENGHIDUPIMU DENGAN KOTORAN

Rabu, 29 Agustus 2012

MEMAKI KEMARIN UNTUK PULANG

Aku pulang
Membawa diri tanpa kantung mata
Sudah kutinggalkan dia pada malam menjelang pagi 
Disana, dalam tubuh berpeluh keringat dengan wajah pucat

Aku tetap akan pulang,
Mungkin tak akan sampai pada pintu rumahmu
Setelah sebagian diriku hilang berantakan dilahap malam
Dengan mereka yang mencabik lembar demi lembar kain di tubuhku

Untuk kelelahan menolak noda, Aku belum menyerah!
Kaki-kakiku masih mampu menjarah pongah, meski tubuhku telanjang
Mataku akan terus menampar birahimu, walau malam terus melacurkanku
Aku harus pulang ; memaki kemarin dengan tubuh gemetar, merubuhkan gentar! 
Baca Selengkapnya - MEMAKI KEMARIN UNTUK PULANG

Selasa, 28 Agustus 2012

AKU TIDAK SUKA MENJAHIT!

Aku tidak suka memasukkan benang ke lubang kecil jarum, mengikat simpulnya, lalu menusuk-nusukkannya pada selembar kain yang terpisah dan menyatukannya kembali. Berkali baju yang hanya satu-satunya ini terkoyak waktu, berkali-kali lagi harus sobekan yang melulu di bagian ini kupaksa bersatu lagi.

Aku tidak suka...
Manakala pada batas langit dan aspal di jalan bebas hambatan sewaktu siang menggila panasnya menjadikanmu titik hitam, tapi membuatku harus maklum dalam penantian di jeda waktu yang memuakkan.

Lalu sewaktu aku hendak berpaling, genangan airmata dan rasa sakitmu yang membutuhkanku, sekali lagi menawarkan semua rasa pahit di pangkal lidah. Sampai begitu kurang ajarnya kelancanganmu memandulkan insting binatangku.

"Aku jendela pagimu,"
Bius lokal! Aku terbuai dan efek biusnya melumpuhkan nalar, merobohkan pagar-pagar beton di raut mukaku. Dan lahirlah kebodohanku ; memilih berpura-pura semua akan segera baik-baik saja.  Padahal di saat bersamaan tiga perempat rasaku terlanjur menguap tanpa paksaan,
"Aaahh...aku tidak suka menjahit!"
Baca Selengkapnya - AKU TIDAK SUKA MENJAHIT!

Senin, 27 Agustus 2012

GERIMIS YANG MANDUL DI TANGANMU

     Gerimis datang pada hidung, menutup rindu yang berkabut dalam segunung kealpaan tanpa kehadiran. Entahlah, apakah malam akan tetap jadi sebuah penantian, tapi yang pasti terasa pada kantung mataku adalah puluhan nanti dan tunggu tanpa pelukan. 
Sebenarnya sejak jejak wajahmu mencabuti satu persatu harapan yang kemarin tumbuh karena kusemai dengan mau, sudah mulai kubiasakan untuk berhenti melukiskan rumah kecil di kaki bukit yang terhibur gemericik larinya air dari tebing di depan mata. 
"Kita akan bercocok tanam disini sampai terlahir anak-anak janji yang memanggilmu Niang,"
Ya, kita akan....bukan kita harus.
Aku menyukai "harus" yang sering memaksa kakiku berjalan tegak lagi saat lelah mendera, saat asa membentur dinding-dinding keras ; melumpuhkan mau. Tapi itu hanya aku, bukan dirimu. 

     Gerimis datang lagi membasahi helai-helai rambut, ingin menawar hitam disana dengan suara ritmisnya, melenakan. Aku tidak mau terlena! Dan hilanglah gerimis memangkas semua candu yang menidurkan akal sehatku.
"Aku sudah terlanjur sampai di kaki bukit,"
Tempat cat minyak warna-warni itu membawa imajiku kesini, terlanjur. Aku bukan jam dinding yang jarum-jarumnya bisa berulang di putar maju atau bahkan mundur ke belakang sekian masa. Jadi aku akan tetap tinggal disini, mulai memberikan ruang untuk air dari tebing di atas sana datang melewati rumah kecilku tiap detik semaunya.  Akan kumulai melahirkan anak-anak janji yang dulu hanya kau candukan di belakang telingaku, disini. Tidak lagi dengan penantian, karena aku bersiap melahirkan diriku pada harap dan mimpi yang mandul di tanganmu.
Baca Selengkapnya - GERIMIS YANG MANDUL DI TANGANMU

Selasa, 21 Agustus 2012

MALAM INI AKU PULANG

Malam ini sudah kuputuskan untuk membawamu pulang pada lembar-lembar halaman buku cerita yang tak pernah habis kubaca.
Kulekatkan erat pada jemari tangan, agar tak sepatah katamu berjatuhan di aspal hitam, begitu saja terlindas ketidaktahuan.
Sesekali saja ku tengok ke belakang ; cemas kehilanganmu.
 "Takdirmu betah menamai nisan kematianku,"
Dan satu per satu keberanianku untuk menjaga kita di lumpuhkan keangkuhanmu yang sibuk memagut abu-abunya langit malam.
"Aku bersiap pulang...,"
Bersiap menguburmu pada kelelahan ; dalam waktu yang tak lagi genap kita nikmati bersama secangkir kopi hitam.
Baca Selengkapnya - MALAM INI AKU PULANG

Senin, 20 Agustus 2012

KAU, AKU DAN SEBUAH MEJA

Untuk sementara waktu kita akan seperti ini ; saling tertunduk di seberang meja.
Mungkin kita akan saling mencari, di laci sebelah mana janji-janji itu dulu kita simpan.
"Dimana dirimu?"
"Aku tak bisa membauimu,"
Kita hanya terhalang meja!
Kau di seberang sana, meremas-remas jemarimu.
Aku di sisi lain meja, menghalau jarak yang hanya selangkah darimu.
Hanya sebuah meja! Sebidang diam yang terlalu kita percayai mendiamkan resah.
Baca Selengkapnya - KAU, AKU DAN SEBUAH MEJA

Jumat, 03 Agustus 2012

ZIARAHI AKU TANPA JENGAH

Ada pagi di balik punggungmu
Tempat aku menyimpan halaman
Satu-satu akarnya tumbuh meraut waktu
Lalu masa berhenti berkejaran melepas angan

Aku menuduh kaki mencuri rupa
Rebahlah apa yang dimaui diri menjadi duri
"Angkasa, dimana aku bermula disebut nama?"
Setangkup diam mengelabui garis-garis pelangi 

Entah siapa yang menghendaki pilihan,
Biar saja tanda seru membubuhkan amarah 
Tak satu pun budak berteriak mengutuk pasungan
Aku meminta sendiri berpulang pada tempatnya, "Ziarahiku tanpa jengah,"




Baca Selengkapnya - ZIARAHI AKU TANPA JENGAH

Kamis, 02 Agustus 2012

MUAK DENGAN AIRMATA

     Aku mencarinya dalam mulut terbata-bata, tak mampu menyebut namanya dengan seksama. Kuajak angin berbicara, kemana kenanganku dengannya yang membuat tegak hati menyeru rindu? Sekejam inikah rasa menguap dari setiap inci kulit yang masih menangkapi udara?
Aaahh...aku terlampau sering melupakan ujung-ujung bibirku yang berkarat menimbun kehilangan demi kehilangan dari sesuatu yang tak pernah kukenali. Ya, tidak juga dirimu. Kita yang kau bawa ke pesisir pantai, tempat kau dan aku melarung semua bilur-bilur luka, menggantinya dengan senda gurau, lalu sedikit harapan dan setumpuk lagi mimpi yang berkilat-kilatan ; menyilaukan kesadaran. 
     "Sejak memutuskan tidur, doaku hanya satu : aku muak membuka mata untuk airmata!"
Baca Selengkapnya - MUAK DENGAN AIRMATA