Seharusnya aku tidak bangun secepat ini.
Mataku belum ingin melihat wajah mereka lagi. Mataku belum ingin melihat
dagunya yang menjulang ke langit. Belum juga ingin menikmati ujung bibir
kirinya yang tersenyum sekenanya. Aku lelah. Aku hanya ingin mengingatmu. Aku
merindukan kita di stasiun tua sore itu. Duduk berdua denganmu pada bangku-besi
berwarna pucat dengan lalu lalang ego yang datang dan pergi. Aku merindukan kita! Lengan kita melekat
begitu liat. Kau terus mengusap tanganku, menenangkan hatiku yang terus
berteriak.
“Kita akan selalu ada disini, Bian,”
“Aku ingin kita selamanya ada disini,”
“Selamanya aku dan dirimu akan ada disini,”
Mata
kita kosong, entah melihat apa dari semua keramaian yang tak sedikit pun
mengusik keheningan di dalam hatiku, juga hatimu. Kereta yang datang dan pergi
sedari pagi, orang-orang yang diburu langkah, tawa-tawa yang timbul tenggelam,
semuanya hanya keheningan dalam
kegelisahan kita.
“Pulanglah, Bian….”
Tubuhku
lunglai begitu mendengar kata-katanya. Kugenggam jemarinya erat-erat. Airmataku
makin tak mau berhenti menetes. Diraihnya tubuhku dalam pelukannya. Aku
menangis lagi dalam pelukannya. Tak terhitung lagi berapa kali bahunya basah
oleh airmataku. Aku tak pernah bisa berkata-kata di depannya.Tiap kali aku
terluka, tiap kali aku runtuh, tiap kali airmataku deras mengucur, dia selalu
mendatangiku. Memelukku erat-erat, memakaikan sweater pada tubuhku dan
membawaku kesini, duduk berlama-lama di stasiun tua ini.
Di kota ini aku tak punya siapa-siapa, tak
satu pun sanak saudara juga teman yang kumiliki. Tak ada alasan yang mampu membuatku
bertahan lebih lama lagi di kota ini. Tapi aku memilikimu. Laki-laki yang
tiba-tiba menghampiriku ketika siang itu aku memunguti serpihan harga diriku
yang jatuh berserakan di depan pasar induk. Aku tak melihatmu, tak seorang pun melihatku
mengumpulkan airmata yang menggenang di antara kedua kakimu yang tiba-tiba
terhenti. Kau datang menggenggam jemari tanganku, mengangkat tubuh lemasku
menepi di satu sudut sepi.
“Beban ini terlalu berat untuk bahumu,”
Di
ambilnya semua barang bawaan yang menenggelamkan bahuku karena berat yang berlebihan. Di ambilnya sapu tangan dari saku
celananya, lalu di usapkannya perlahan pada kedua mataku yang terus meneteskan
airmata. Kejadian seperti itu terus berulang beberapa kali. Setelah kejadian di
pasar induk, kita masih sering bertemu. Masih dengan mata yang meneteskan
airmata dan tubuh yang lunglai tanpa harga diri ; di halaman rumah kostku
dengan tiga ember baju kotor bukan milikku yang harus ku cuci, di dalam sebuah
mall ketika aku berjalan di belakang tubuh mereka dengan wajah menunduk, pada
puluhan mangkok-mangkok berisi mie rebus, di antara brosur-brosur tv kabel di
bawah panasnya matahari dengan perut berteriak-teriak. Kau ada.
Aku tak pernah memanggilmu. Tak sekali pun aku pernah
memintamu hadir. Tapi kau ada. Datang dengan sebungkus nasih campur dan segelas
air mineral, mengajakku makan dari suapan tanganmu.
“Kau tahu Bian, makan langsung dengan
tangan, terlebih ketika kita bisa menyuapi orang yang kita sayangi, bisa membuat
malaikat-malaikat di atas sana menangis lho,”
Aku tak ingin terhibur dengan kalimatmu, aku
hanya ingin menyesap keberadaanmu di dekatku. Kau juga tiba-tiba datang melepas
kaos oblongmu, duduk disampingku yang sedang berusaha menyelesaikan setumpuk
pakaian kotor dan dengan begitu semangatnya menemaniku mencuci. Dan yang tak
mungkin bisa kulupakan begitu saja adalah ketika tanpa kutahu darimana arahmu
datang, tiba-tiba kau sudah memeluk bahuku dari samping dan mengajakku bicara
tanpa bisa kuhentikan saat hatiku runtuh di tengah-tengah mall, di belakang
tubuh-tubuh mereka dengan kepala menunduk dan beberapa kantong belanjaan milik
mereka di kedua tanganku.
“Kamang…,”
“Iya sayang,”
Pelukannya
terasa begitu hangat dan erat. Aku suka
bau tubuhnya
“Apakah aku terlalu cengeng?”
“Kalau kau tidak cengeng, kita tidak akan
pernah bertemu, Bian. Seringlah menangis, biar kita bisa makin sering bertemu,”
Stasiun beranjak sepi. Malam datang
menghampiri kita. Beberapa menit lagi keretaku akan tiba. Kamang membetulkan
kancing-kancing sweaterku. Menatap lurus padaku, mengajak mataku bicara.
Lampu-lampu tua di langit-langit bangunan stasiun kereta tua ini begitu
temaram, seperti mengerti betul betapa redupnya hatiku.
“Aku akan meninggalkanmu, Kamang,”
“Kau tidak akan pernah bisa meninggalkan
aku, Bian,”
“Aku tidak kuasa, Kamang,”
“Kita tidak akan pernah berpisah Bian,
ingat itu,”
Keretaku
tiba. Tak banyak waktu yang ku punya untuk menghalau keberangkatan.
“Terimakasih telah menjagaku sekian lama
disini, Kamang”
“Aku akan terus menjagamu,
Bian…selamanya,”
Aku
meninggalkannya, menjauh dan berlalu. Kembali menuju tempat yang tak pernah ku
datangi sebelumnya untuk pulang. Tanpamu.
Disini pun aku sendiri, tak memiliki dan
di miliki siapa pun. Mencoba membuat senyum dengan tubuh berbeda. Membenci airmata
dan tak lagi ingin menangis. Mencoba menjadi mereka, menjadi penyebab luka,
bukan penikmat luka. Dulu aku memunguti harga diriku yang mereka buang
seenaknya di tempat-tempat yang tak kukenali. Sekarang aku menciptakan airmata
untuk mereka. Tertawa sekeras-kerasnya ketika airmata mereka menetes dan
membuang harga diri mereka di tempat-tempat yang tak mereka inginkan. Aku
berbeda. Tiap malam memulas wajah tanpa alasan untuk berduka. Sepanjang hari
sibuk menginjak-injak kepala mereka dengan keangkuhan dan harga diri yang tak
pernah kulepaskan lagi untuk alasan apa pun. Tertawa penuh kepuasan ketika
wajah-wajah mereka berhasil kubuat pucat. Aku sibuk menjadikan diriku orang
yang berbeda. Berubah menjadi orang-orang yang dulu kubenci.
Malam ini…malam setelah sekian lama tanpa
dirimu, aku duduk seorang diri di sebuah stasiun kereta yang berbeda, di kota
lain. Stasiun kereta yang sepi. Aku
merindukan kita. Tak ada dirimu lagi di sampingku sejak aku menginjakkan
kaki di kota ini. Aku masih berharap kita bisa bertemu lagi. Sesekali aku
datang ke stasiun kereta ini karena merindukanmu. Duduk berlama-lama,
mencarimu. Mungkin kau akan datang dengan kereta malam, atau mungkin kau
tiba-tiba ada di sampingku. Sekian rinduku padamu tertumpuk, menyesaki pikiran
dan hati. Dulu aku tidak pernah memintamu datang, tapi kau selalu tiba-tiba
hadir di hadapanku. Aku pasti bisa membuat dirimu hadir kembali untukku. Banyak
malam kuhabiskan di stasiun kereta ini, malam-malam yang membawaku kemari
dengan rindu dan keinginan untuk sekali lagi bertemu denganmu. Meski sekian
malam yang terus berlalu, belum juga mampu menghadirkanmu lagi di hadapanku.
Seperti malam ini, aku datang ke stasiun kereta
ini karena begitu merindukanmu ; menginginkanmu ada disini. Aku masih ingin
bersabar menunggumu. Sesekali kupandangi lantai bermotif bunga di stasiun ini,
sesekali kulihat lama-lama lampu-lampu benderang yang bergantungan di atas
sana. Stasiun ini sudah sangat sepi, kereta malam baru akan datang dua jam lagi
selepas tengah malam. Lapak-lapak pedagang sudah rapi tertutup sedari beberapa
jam lalu. Hanya ada aku dan beberapa petugas stasiun yang kadang-kadang
terlihat, juga beberapa orang yang sesekali kutangkap sosoknya. Aku
terperangkap keheningan lagi. Malam ini akan kuhabiskan lagi tanpamu. Malam ini
masih akan sama seperti malam-malamku kemarin di stasiun kereta ini, sendiri. Diam. Sepi. Dingin. Aku tersentak.
Dirimu ada disana. Di seberang tempatku duduk. Kau duduk dengan kemeja warna
hitam polos lengan panjang yang kau naikkan sampai siku. Ya, itu dirimu!
Akhirnya kau datang untukku. Tunggu dulu…, kau tidak sendirian, ada perempuan
duduk berdekatan denganmu disana. Seorang perempuan kurus berambut hitam lurus yang
memeluk tubuhmu erat-erat. Ah, itu pasti bukan dirimu. Siapa perempuan itu? Kenapa
kau memeluknya begitu erat? Hei, apakah kau tidak mengenaliku yang sedari tadi
duduk sendiri menunggumu dari seberang tempatmu duduk?
Kau mengusap punggung perempuan itu, membelai
helai demi helai rambut hitamnya seperti dulu kau memelukku. Aku beranjak
mendekatimu dengan tubuh bergetar, menghampiri kalian. Bulu kudukku berdiri,
stasiun ini terasa sangat menakutkan malam ini. Entah kenapa hening yang terasa
seperti membawaku pada suasana yang begitu mencekam. Aku sudah di dekatmu, berdiri
beberapa langkah dari tempatmu duduk. Aku belum punya keberanian untuk menyela
pembicaraan mereka.
“Aku merindukanmu, Kamang,”
“Aku juga, Bian,”
“Kenapa kau tak segera menemuiku?”
“Aku selalu ada beberapa jarak darimu,
Bian,”
“Kau tak pernah datang lagi padaku. Aku
mencarimu, terus menunggumu,”
“Selama ini aku tak bisa mendekatimu. Itu
tidak mungkin untuk ku lakukan,”
Pelukan
mereka mulai berjarak. Malam kian hitam, tak ada satu pun bunyi-bunyian yang
mengganggu konsentrasiku untuk mendengar pembicaraan mereka. Mata perempuan itu
basah dengan airmata. Kau menatap sambil menggenggam jemarinya. Semilir angin
malam mulai membuatku menggigil.
“Kau tak perlu mencariku, apalagi menunggu
berlama-lama di stasiun kereta ini Bian. Aku tak perlu kau undang untuk bisa
datang di hadapanmu,”
“Tapi…,”
Helai-helai
rambutku mulai berlarian bersama angin malam. Aku tak lagi ingin membelakangi
mereka. Nama perempuan itu persis sama dengan namaku. Aku ingin lebih
memperhatikan sosoknya.
“Aku tak akan pernah ada untuk senyum dan
kebahagianmu, Bian. Lupakah kau bahwa selama ini kita hanya bisa bertemu ketika
airmatamu menetes dalam hati yang sakit?”
Perempuan
itu aku! Kau bicara denganku ; memanggil namaku, memelukku, meremas jemariku,
membelai helai-helai rambutku.
“Aku adalah airmatamu, Bian. Butir-butir
bening yang menetes dari kedua mata indahmu. Kamang yang selalu ada ketika
hatimu rebah sewaktu kekalahan-kekalahan itu membuatmu tak mampu berdiri,”
Tubuhku
tersungkur di lantai bermotif bunga-bunga di stasiun kereta yang hening dan
dingin. Airmataku menetes satu-satu. Kau memelukku erat, sangat erat. Aku tak
lagi ingin menghentikan airmataku. Aku hanya ingin menangis, selamanya
menangis. Dalam tawa yang kuciptakan sejak berlalu darimu dan sampai di kota
ini, aku tetap Bian yang selalu sendiri, Bian yang kesepian. Bian yang menipu
diri dengan tawa. Bian yang sekian lama kehilanganmu, kehilangan airmatanya.