Kamis, 12 Juli 2012

STASIUN KERETA YANG TERUS MENETESKAN AIRMATA


     Seharusnya aku tidak bangun secepat ini. Mataku belum ingin melihat wajah mereka lagi. Mataku belum ingin melihat dagunya yang menjulang ke langit. Belum juga ingin menikmati ujung bibir kirinya yang tersenyum sekenanya. Aku lelah. Aku hanya ingin mengingatmu. Aku merindukan kita di stasiun tua sore itu. Duduk berdua denganmu pada bangku-besi berwarna pucat dengan lalu lalang ego yang datang dan pergi. Aku merindukan kita! Lengan kita melekat begitu liat. Kau terus mengusap tanganku, menenangkan hatiku yang terus berteriak.
     “Kita akan selalu ada disini, Bian,”
     “Aku ingin kita selamanya ada disini,”
     “Selamanya aku dan dirimu akan ada disini,”
Mata kita kosong, entah melihat apa dari semua keramaian yang tak sedikit pun mengusik keheningan di dalam hatiku, juga hatimu. Kereta yang datang dan pergi sedari pagi, orang-orang yang diburu langkah, tawa-tawa yang timbul tenggelam, semuanya hanya keheningan  dalam kegelisahan kita.
     “Pulanglah, Bian….”
Tubuhku lunglai begitu mendengar kata-katanya. Kugenggam jemarinya erat-erat. Airmataku makin tak mau berhenti menetes. Diraihnya tubuhku dalam pelukannya. Aku menangis lagi dalam pelukannya. Tak terhitung lagi berapa kali bahunya basah oleh airmataku. Aku tak pernah bisa berkata-kata di depannya.Tiap kali aku terluka, tiap kali aku runtuh, tiap kali airmataku deras mengucur, dia selalu mendatangiku. Memelukku erat-erat, memakaikan sweater pada tubuhku dan membawaku kesini, duduk berlama-lama di stasiun tua ini.
     Di kota ini aku tak punya siapa-siapa, tak satu pun sanak saudara juga teman yang kumiliki. Tak ada alasan yang mampu membuatku bertahan lebih lama lagi di kota ini. Tapi aku memilikimu. Laki-laki yang tiba-tiba menghampiriku ketika siang itu aku memunguti serpihan harga diriku yang jatuh berserakan di depan pasar induk. Aku tak melihatmu, tak seorang pun melihatku mengumpulkan airmata yang menggenang di antara kedua kakimu yang tiba-tiba terhenti. Kau datang menggenggam jemari tanganku, mengangkat tubuh lemasku menepi di satu sudut sepi.
     “Beban ini terlalu berat untuk bahumu,”
Di ambilnya semua barang bawaan yang menenggelamkan bahuku karena berat yang  berlebihan. Di ambilnya sapu tangan dari saku celananya, lalu di usapkannya perlahan pada kedua mataku yang terus meneteskan airmata. Kejadian seperti itu terus berulang beberapa kali. Setelah kejadian di pasar induk, kita masih sering bertemu. Masih dengan mata yang meneteskan airmata dan tubuh yang lunglai tanpa harga diri ; di halaman rumah kostku dengan tiga ember baju kotor bukan milikku yang harus ku cuci, di dalam sebuah mall ketika aku berjalan di belakang tubuh mereka dengan wajah menunduk, pada puluhan mangkok-mangkok berisi mie rebus, di antara brosur-brosur tv kabel di bawah panasnya matahari dengan perut berteriak-teriak. Kau ada.
      Aku tak pernah memanggilmu. Tak sekali pun aku pernah memintamu hadir. Tapi kau ada. Datang dengan sebungkus nasih campur dan segelas air mineral, mengajakku makan dari suapan tanganmu.
     “Kau tahu Bian, makan langsung dengan tangan, terlebih ketika kita bisa menyuapi orang yang kita sayangi, bisa membuat malaikat-malaikat di atas sana menangis lho,”
 Aku tak ingin terhibur dengan kalimatmu, aku hanya ingin menyesap keberadaanmu di dekatku. Kau juga tiba-tiba datang melepas kaos oblongmu, duduk disampingku yang sedang berusaha menyelesaikan setumpuk pakaian kotor dan dengan begitu semangatnya menemaniku mencuci. Dan yang tak mungkin bisa kulupakan begitu saja adalah ketika tanpa kutahu darimana arahmu datang, tiba-tiba kau sudah memeluk bahuku dari samping dan mengajakku bicara tanpa bisa kuhentikan saat hatiku runtuh di tengah-tengah mall, di belakang tubuh-tubuh mereka dengan kepala menunduk dan beberapa kantong belanjaan milik mereka di kedua tanganku.
     “Kamang…,”
     “Iya sayang,”
Pelukannya terasa begitu hangat dan erat. Aku suka bau tubuhnya
     “Apakah aku terlalu cengeng?”
     “Kalau kau tidak cengeng, kita tidak akan pernah bertemu, Bian. Seringlah menangis, biar kita bisa makin sering bertemu,”  
     Stasiun beranjak sepi. Malam datang menghampiri kita. Beberapa menit lagi keretaku akan tiba. Kamang membetulkan kancing-kancing sweaterku. Menatap lurus padaku, mengajak mataku bicara. Lampu-lampu tua di langit-langit bangunan stasiun kereta tua ini begitu temaram, seperti mengerti betul betapa redupnya hatiku.
     “Aku akan meninggalkanmu, Kamang,”
     “Kau tidak akan pernah bisa meninggalkan aku, Bian,”
     “Aku tidak kuasa, Kamang,”
     “Kita tidak akan pernah berpisah Bian, ingat itu,”
Keretaku tiba. Tak banyak waktu yang ku punya untuk menghalau keberangkatan.
     “Terimakasih telah menjagaku sekian lama disini, Kamang”
     “Aku akan terus menjagamu, Bian…selamanya,”
Aku meninggalkannya, menjauh dan berlalu. Kembali menuju tempat yang tak pernah ku datangi sebelumnya untuk pulang. Tanpamu.
     Disini pun aku sendiri, tak memiliki dan di miliki siapa pun. Mencoba membuat senyum dengan tubuh berbeda. Membenci airmata dan tak lagi ingin menangis. Mencoba menjadi mereka, menjadi penyebab luka, bukan penikmat luka. Dulu aku memunguti harga diriku yang mereka buang seenaknya di tempat-tempat yang tak kukenali. Sekarang aku menciptakan airmata untuk mereka. Tertawa sekeras-kerasnya ketika airmata mereka menetes dan membuang harga diri mereka di tempat-tempat yang tak mereka inginkan. Aku berbeda. Tiap malam memulas wajah tanpa alasan untuk berduka. Sepanjang hari sibuk menginjak-injak kepala mereka dengan keangkuhan dan harga diri yang tak pernah kulepaskan lagi untuk alasan apa pun. Tertawa penuh kepuasan ketika wajah-wajah mereka berhasil kubuat pucat. Aku sibuk menjadikan diriku orang yang berbeda. Berubah menjadi orang-orang yang dulu kubenci.    
     Malam ini…malam setelah sekian lama tanpa dirimu, aku duduk seorang diri di sebuah stasiun kereta yang berbeda, di kota lain. Stasiun kereta yang sepi. Aku merindukan kita. Tak ada dirimu lagi di sampingku sejak aku menginjakkan kaki di kota ini. Aku masih berharap kita bisa bertemu lagi. Sesekali aku datang ke stasiun kereta ini karena merindukanmu. Duduk berlama-lama, mencarimu. Mungkin kau akan datang dengan kereta malam, atau mungkin kau tiba-tiba ada di sampingku. Sekian rinduku padamu tertumpuk, menyesaki pikiran dan hati. Dulu aku tidak pernah memintamu datang, tapi kau selalu tiba-tiba hadir di hadapanku. Aku pasti bisa membuat dirimu hadir kembali untukku. Banyak malam kuhabiskan di stasiun kereta ini, malam-malam yang membawaku kemari dengan rindu dan keinginan untuk sekali lagi bertemu denganmu. Meski sekian malam yang terus berlalu, belum juga mampu menghadirkanmu lagi di hadapanku.
     Seperti malam ini, aku datang ke stasiun kereta ini karena begitu merindukanmu ; menginginkanmu ada disini. Aku masih ingin bersabar menunggumu. Sesekali kupandangi lantai bermotif bunga di stasiun ini, sesekali kulihat lama-lama lampu-lampu benderang yang bergantungan di atas sana. Stasiun ini sudah sangat sepi, kereta malam baru akan datang dua jam lagi selepas tengah malam. Lapak-lapak pedagang sudah rapi tertutup sedari beberapa jam lalu. Hanya ada aku dan beberapa petugas stasiun yang kadang-kadang terlihat, juga beberapa orang yang sesekali kutangkap sosoknya. Aku terperangkap keheningan lagi. Malam ini akan kuhabiskan lagi tanpamu. Malam ini masih akan sama seperti malam-malamku kemarin di stasiun kereta  ini, sendiri. Diam. Sepi. Dingin. Aku tersentak. Dirimu ada disana. Di seberang tempatku duduk. Kau duduk dengan kemeja warna hitam polos lengan panjang yang kau naikkan sampai siku. Ya, itu dirimu! Akhirnya kau datang untukku. Tunggu dulu…, kau tidak sendirian, ada perempuan duduk berdekatan denganmu disana. Seorang perempuan kurus berambut hitam lurus yang memeluk tubuhmu erat-erat. Ah, itu pasti bukan dirimu. Siapa perempuan itu? Kenapa kau memeluknya begitu erat? Hei, apakah kau tidak mengenaliku yang sedari tadi duduk sendiri menunggumu dari seberang tempatmu duduk?
     Kau mengusap punggung perempuan itu, membelai helai demi helai rambut hitamnya seperti dulu kau memelukku. Aku beranjak mendekatimu dengan tubuh bergetar, menghampiri kalian. Bulu kudukku berdiri, stasiun ini terasa sangat menakutkan malam ini. Entah kenapa hening yang terasa seperti membawaku pada suasana yang begitu mencekam. Aku sudah di dekatmu, berdiri beberapa langkah dari tempatmu duduk. Aku belum punya keberanian untuk menyela pembicaraan mereka.
     “Aku merindukanmu, Kamang,”
     “Aku juga, Bian,”
     “Kenapa kau tak segera menemuiku?”
     “Aku selalu ada beberapa jarak darimu, Bian,”
     “Kau tak pernah datang lagi padaku. Aku mencarimu, terus menunggumu,”
     “Selama ini aku tak bisa mendekatimu. Itu tidak mungkin untuk ku lakukan,”
Pelukan mereka mulai berjarak. Malam kian hitam, tak ada satu pun bunyi-bunyian yang mengganggu konsentrasiku untuk mendengar pembicaraan mereka. Mata perempuan itu basah dengan airmata. Kau menatap sambil menggenggam jemarinya. Semilir angin malam mulai membuatku menggigil.
     “Kau tak perlu mencariku, apalagi menunggu berlama-lama di stasiun kereta ini Bian. Aku tak perlu kau undang untuk bisa datang di hadapanmu,”
     “Tapi…,”
Helai-helai rambutku mulai berlarian bersama angin malam. Aku tak lagi ingin membelakangi mereka. Nama perempuan itu persis sama dengan namaku. Aku ingin lebih memperhatikan sosoknya.
     “Aku tak akan pernah ada untuk senyum dan kebahagianmu, Bian. Lupakah kau bahwa selama ini kita hanya bisa bertemu ketika airmatamu menetes dalam hati yang sakit?”
Perempuan itu aku! Kau bicara denganku ; memanggil namaku, memelukku, meremas jemariku, membelai helai-helai rambutku.
     “Aku adalah airmatamu, Bian. Butir-butir bening yang menetes dari kedua mata indahmu. Kamang yang selalu ada ketika hatimu rebah sewaktu kekalahan-kekalahan itu membuatmu tak mampu berdiri,”
Tubuhku tersungkur di lantai bermotif bunga-bunga di stasiun kereta yang hening dan dingin. Airmataku menetes satu-satu. Kau memelukku erat, sangat erat. Aku tak lagi ingin menghentikan airmataku. Aku hanya ingin menangis, selamanya menangis. Dalam tawa yang kuciptakan sejak berlalu darimu dan sampai di kota ini, aku tetap Bian yang selalu sendiri, Bian yang kesepian. Bian yang menipu diri dengan tawa. Bian yang sekian lama kehilanganmu, kehilangan airmatanya.      
Baca Selengkapnya - STASIUN KERETA YANG TERUS MENETESKAN AIRMATA

Selasa, 10 Juli 2012

BANGKU TUA DI TAMAN KOTA

Gerimis, Taman Kota

Tak ada banyak orang sore ini, tak ada siapa pun menemani bangku tua yang diam di guyur gerimis. Dingin yang dibawa gerimis membuat gurat tua di wajahnya berseloroh,
“Tak akan ada yang datang menemanimu menghamburkan kata,”
Kelabunya langit mengajaknya muram ; tubuhnya gemetar memanggil kemarin. Ah, mungkin dia masih tersesat.

Taman ini tidak begitu jauh dari jendela rumahnya, aku bisa melihatnya menghabiskan batang demi batang rokok kreteknya dari sini saat bulan bulat sempurna. Dia yang kuingat adalah aku yang lelah mengabdi pada sepinya malam-malam dingin.
Kami saling menghibur dari kejauhan ; berbicara pada kerlap-kerlip bintang tanpa menahu nama.
Begitu seterusnya, sampai tumpahan airmatanya menghangatkan tubuhku yang merindu. Entah apa yg ditangisinya, kami tak pernah bertukar kata, hanya punggungnya memenuhi dadaku saat kami bertemu malam itu. Selalu begitu...kaki dan tanganku mulai berkarat setelah sekian gerimis, embun, panas matahari dan airmatanya menggenangi diamku. Besok akan kukhabarkan pada jemari kakinya tentang bunyi-bunyian kerikil hitam yang menghuniku.



Taman Kota, masih gerimis

Pohon-pohon tua makin perkasa mengubur sejarahku;tunggu menunggu dalam bisunya rindu. Aku tak lagi bisa melihat jendela rumahnya dengan mata yang mulai rabun. Tangan dan kaki-kakiku yang keropos di huni karat tak lagi mampu meraba jejaknya. Sedikit sisa nafas kubiarkan melarung waktu, disini...
“Aku merindukan aroma puluhan batang rokok kreteknya yang membuatku melirik runduk dadanya dalam sedannya hening,” ....masih disini, pada gerimis di Taman Kota yang muram.
Baca Selengkapnya - BANGKU TUA DI TAMAN KOTA

Minggu, 08 Juli 2012

SUDAH DI RANJANG SEMALAM

Sudah...
Sudah kuhabiskan amarah semalam
Pada tubuhnya yang tak mengenalku
Ku adukan resah dalam amukan gairah

Sudah juga, kubakar setia dengannya
Di atas ranjang yang memuntahkan akad
Melepas ikatan dari bungkamnya khianat
Biar berhamburan merubuhkan sumpahmu

Sudah kau ambil seluruh mauku
Terlanjur melahirkan wajah-wajah merah
Terlacur sejak sumpah tak lebih dari serapah
Dan kusudahi semua di ranjang semalam dengannya

Dengannya meludahi ikatan akad
Semalaman bergumul dalam tubuh telanjang
Membunuh kita sejak kemaluanmu menemuinya
Sudah habis semua di ranjang semalam, terkubur tanpa kelak
Baca Selengkapnya - SUDAH DI RANJANG SEMALAM

Sabtu, 07 Juli 2012

RAUT MUKAKU YANG BERSERAKAN DI BAWAH SERINGAINYA

     Aku mencari senyumku sejak pagi menemukanku dengan cintanya yang (katanya) menggebu-gebu. Kucari pada bola mata hitam kelamnya yang menghunjamkan mendung di langit hatiku yang tadinya biru muda. Dimana semalam senyumku tertinggal?

Kupijakkan langkah kaki di atas nadinya yang berdenyut menggumam, aah bukan...itu bukan gumaman. Sebenarnya suara apa yang sepertinya tidak asing tapi masih saja belum bisa kusebutkan namanya itu. Aku mendekatinya. Mungkin senyumku ada pada suara berisik itu. 

Mulutnya terbuka lebar, taringnya yang runcing berkilat-kilatan di timpa airmataku. Aku tak bisa tertawa, tak kunjung bicara, tak juga berbisik. Raut mukaku berjatuhan, berserakan di bawah seringainya yang menertawakan ketidakberanianku berucap. Aku bisu.
Baca Selengkapnya - RAUT MUKAKU YANG BERSERAKAN DI BAWAH SERINGAINYA

Jumat, 06 Juli 2012

PEREMPUAN TANPA PINTU BERPULANG

Aku pulang,
Menapaki jalanan suram
Telanjang sendiri meningkahi dunia
Segenggam airmata menetes sedari namaku disebut

Aku ingin pulang,
Menjauhi malam-malam berduri
Dibubuhi hitam noda dari pergumulan khianat
Berurutan dosa mengukir kelabu pada sejarahku

Kemana kuteruskan langkah,
Kalau berpuluh tunggu kurajut di neraka
Kemana kubawa tubuh yang tak kering dari noda,
Kalau pintu-pintu berpulang memasungku di ranjang

Aku harus pulang,
Merebahkan karamnya karma perkawinan kelamin
Merubuhkan diri pada teduh surga yang lelah mendekat
Perkenankan aku pulang sebelum langkah kaki terpenggal lagi







Baca Selengkapnya - PEREMPUAN TANPA PINTU BERPULANG

Rabu, 04 Juli 2012

NISAN DALAM DADA

Matanya menghentikanku
Memaksa tulang belakangku menunduk
Takdir pecah berantakan, berkeping-keping
Aku takut...

Kakiku berlari mencarimu
Merebahkan tubuhku pada hening malam
Angin menghantam nama-nama, hilang tak berjejak
Tumpah airmataku...

Aku menunggumu datang,
Membawa segenggam sejarah tentang kelak
Terus meneguhkan hati, mengubur nisan dalam dada
"Aku lelah berseru ; aku mati malam ini,"

 



Baca Selengkapnya - NISAN DALAM DADA